Showing posts with label Petualangan. Show all posts
Showing posts with label Petualangan. Show all posts

2.7.10

Gua Seropan, antara studi dan rekreasional (part 3)

Lupakan dulu pertanyaan-pertanyaan pada tulisan sebelumnya. Saatnya kembali ke sisi petualangan. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, persiapan menuju lorong upstream dilaksanakan. Tiga buah tabung selam dan dua set peralatan diving dikeluarkan. Dua set tersebut digunakan untuk dua orang saja, sisanya mengenakan life vest agar tidak tenggelam. Fin, masker dan snorkel sudah cukup untuk menjelajari rute berat ini, dan tentunya ditambah alat dasar caving. Sambil mempersiapkan peralatan, kami mencuri-curi waktu dengan memasak beberapa sereal sebagai pengganjal perut agar tidak terlalu kedinginan saat melintasi rute upstream ini. Karena seperti perkiraan sebelumnya bahwa rute atas airnya lebih dingin karena kelembaban nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan area sekitar downstream dan chamber.
Hanya butuh setengah jam untuk mempersiapkan peralatan, kami lalu beranjak turun ke bendungan. Secara berurutan diawali oleh Mada, Shinat, Irsyad, Danang dan saya. Sebagai permulaan, Mada berenang lebih awal untuk melihat batas ketinggian lorong stalaktit dengan permukaan air. Kami menunggu dan melihatnya dari kejauhan. Tidak lama terlihat ia mengalami masalah, tersedak air sungai! sepertinya ia kaget dengan rapatnya jarak antara stalaktit dengan permukaan air. Jaraknya sekitar 15cm, sehingga jika melewati area tersebut yang terlihat dari tubuh kita hanya mulai dari hidung hingga kepala. Memakan waktu sekitar 20 menit bagi kami melewati lorong tersebut. Dan tubuh sudah mulai menggigil.
Usai melewati lorong tersebut, kami ditakjubkan oleh bentukan alam yang berbeda dengan area sebelumnya. Pemandangan yang bisu, yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang berani dan mampu. Sebuah chamber dengan tonjolan stalaktit dan stalagmit dengan teras-teras yang terlapisi oleh tanah cokelat. “Seperti di negeri cokelat!” khayalku. Saya mencoba mendekat memegang setiap lapisan tanah tersebut, bentuknya sangat halus dan dari tingkatan gumpalannya termasuk jenis lanau, yang lebih halus dari lempung. Andai saja rasa tanah-tanah tersebut manis, milyaran semut pastilah mendirikan kerajaan cokelatnya disini. Lupakan khayalan tersebut dan kembali pada realita saat ini yang menggigil oleh dinginnya air.
Lima puluh meter kedalam, terdengar suara bising seperti genset. Pikiran saya tertuju pada turbin-turbin yang memancang dari atas gua, seperti kata cerita sang pemilik base camp. Dan benar ternyata tiang-tiang besi berdiameter 50cm menancap jauh kedalam bumi yang berfungsi menyedot air sungai gua ini. Bunyi suaranya memecah kesenyapan dan gelapnya gua ini. Tidak jauh, sekitar 50 meter dari tiang-tiang tersebut, lorong terhenti oleh dinding gua, aliran sungai sudah tidak terlihat lagi, dan kami belum mampu untuk menjelajahinya lebih dalam karena peralatan yang belum memadai disertai kondisi air yang zero visibility. Kembali ke chamber utama, mematikan cahaya yang tersisa, kami pun tidur pulas. Keesokan harinya diujung mulut gua, cahaya kecil mulai terlihat. Tampak seorang lelaki tua memanggul cangkulnya yang telah berkarat. Kami telah sampai di luar dan kembali ke basecamp untuk siap-siap kembali ke kota Yogyakarta tercinta.

14.5.10

Gua Seropan, antara studi dan rekreasional (part 2)

Kami telah berada persis di depan pintu masuk gua, istirahat sejenak sambil membuka gembok yang mengunci mulut gua tersebut. Gua tersebut sengaja dikunci oleh warga agar tidak ada orang yang sembarang masuk ke dalam. Karena sungai bawah tanah yang berada didalam gua sangat diandalkan oleh warga untuk kebutuhan hidup, maka warga menjaga-jaga agar sungai tersebut tidak dirusak ataupun diracuni oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibat kelebihan beban maka kami berinisiatif untuk membawa perlengkapan dengan cara 2 kali bolak-balik. Beberapa barang kami tinggal di mulut gua yang selanjutnya akan diambil setelah barang yang pertama selesai diangkut kedalam.


ketika berada di lorong upstream

Tak terasa waktu telah menunjukkan sekitar pukul 17.00 WIB. Jarak dari mulut gua hingga entrance sekitar 200 meter, melaluinya harus melewati lorong-lorong yang sempit hingga kami menunduk dan jongkok. Kadang dibeberapa titik terdapat genangan air yang membuat kami terpaksa untuk basah-basahan. Belum lagi beban yang berat tersebut ditambah dengan masuknya air hingga basah membuat beban semakin berat saja. Perjalanan begitu terasa disetiap detiknya, bentukan lorong dengan dekorasi stalaktit dan stalagmit serta beberapa chamber kecil membuat kami berada di dunia yang berbeda, penuh dengan hiasan alam. Sungguh indah.


di sekitar sum

Perjalanan begitu lambat hingga sekitar 45 menit kemudian kami tiba di entrance, ruang utama. Entrance ini lumayan besar dengan luas sekitar 20 x 9 meter dan tinggi langit-langit sekitar 12 meter. Kami beristirahat sejenak melemaskan otot yang sejak tadi menegang karena membawa beban yang berat. Cahaya sekunder yang berasal dari senter led saya nyalakan, menambah penerangan yang sebelumnya hanya diterangi oleh senter biasa. Ada perbedaan yang saya rasakan, ternyata napas kami tersengal-sengal. Sangat terasa sekali jika kita berada di ruangan hyper-CO2, dimana udara karbondioksida memiliki kapasitas yang lebih besar daripada oksigen. Gejala yang akan ditimbulkan adalah pusing dan sedikit mual. Setidaknya butuh sekitar 1 jam bagi kami untuk beradaptasi dengan kondisi udara seperti ini.


stalaktit

Sembari menyesuaikan diri, kami mempersiapkan peralatan yang akan dibutuhkan. Di depan terlihat bendungan yang memisahkan aliran sungai gua pada upstream dan downstream. Di bagian downstream, aliran sungai sangat deras. Hingga ketika saya mencoba bermain disana justru seringkali terbawa arus dan harus berpegangan erat pada batu-batu yang tajam. Kegiatan pertama adalah reconnaissance aliran downstream, dimana terdapat sebaran tulang belulang hewan. 4 orang kawan telah berada di sisi downstream bendungan, tak mau ketinggalan saya pun bergegas melewati bendungan tersebut.


turbin yang menembus gua

Tidak mudah ternyata, pada sisi landai bendungan terdapat air tipis yang tidak dalam, namum memiliki arus yang sangat kuat membuat kaki saya selalu terpental dan harus menginjak bendungan tersebut lebih kuat. Tiba di ujung bendungan saya bergabung dengan mereka. Turun perlahan meluruskan kaki sembari mengecek kedalaman sungai. Lumayan dalam ternyata, sekitar sebatas pinggang hingga dada. Namun pada beberapa titik ada yang hanya sebatas betis saja.

arus downstream

Tidak jauh, kami hanya menyusuri sungai sejauh 60 meter. Namun temuan yang kami lihat justru sangat mencengangkan. Di setiap dinding maupun tonjolan batu yang berada di tengah sungai terdapat singkapan-singkapan fosil tulang hewan vertebrata seperti kuda nil, babi hutan, kerbau dll. Mulai dari tulang tibia, femur, vertebrae, semuanya dapat terlihat pada singkapan tersebut. Seolah-olah mereka muncul dari dasar sungai memperlihatkan eksistensi mereka di gua ini. Sedikit menarik bagi mereka yang hanya rekreasional menelusuri gua Seropan ini. Namun bagi kami selaku akademisi yang kebetulan temuan tersebut sangat terkait dengan bidang keilmuan kami, hal ini merupakan fenomenal.
Rasa penasaran langsung membayang begitu mata kami melihat singkapan tulang tersebut. Apakah ini? Bagaimana? Darimana? Banyak hal yang menggelantung dipikiran kami. Dengan hati-hati kami coba menyentuhnya dan memegang serta melihat langsung secara utuh dimensi dari beberapa temuan tulang tersebut. Berdiskusi dan berasumsi asal dan proses terbentuknya singkapan tulang tersebut di sungai ini. Mencoba berhipotesis secara spontanitas, menggali dan mempertajam kembali ingatan keilmuan yang didapat ketika kuliah dulu. (berlanjut...pegel ngetiknya..)

12.5.10

Gua Seropan, antara studi dan rekreasional (part 1)

8 mei 2010 lalu saya beserta 4 orang kawan yaitu Madha, Shinat, Icad dan Danang menapaki Gua Seropan yang berlokasi di desa Semuluh kecamatan Semanu kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakata. Keindahan gua ini tercipta dari stalagtit yang menggoreskan eksotisme 3D ornamen dan aliran sungai bawah tanah yang memanjakan mata. Di gua karst yang terbentuk di kedalaman 60 meter di bawah permukaan tanah ini terdapat air terjun yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik dengan menggunakan microhydro technology. Banyak potensi yang dapat digali, seperti tinggalan arkeologis yang tersisa dalam setiap lapisan dinding gua tersebut.

Perjalanan berawal dari kampus tercinta FIB UGM, kami berkumpul mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Tujuan utama kami kesana adalah menemani salah seorang kawan yang akan meneliti sebaran fosil tulang hewan yang terdapat di sekitar area downstream sungai bawah tanah Seropan dan cave diving untuk mengungkap sebaran fosil tulang hewan yang terdapat di area upstream Seropan. Perjalanan tidak begitu lama hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Yogyakarta. Sebelum mencapai lokasi, kami sempat mampir di Alfamart kota Wonosari untuk belanja kebutuhan logistik selama di dalam gua.

Tiba di basecamp, kami sowan ke pemilik basecamp (rumah warga) dan disuguhi teh hangat. Selang beberapa menit datanglah 4 orang mahasiswa dari fakultas geografi UGM yang barusaja selesai melakukan penelitian tanah di sekitar gua Seropan. Mereka lalu berkumpul bersama kami menikmati manisnya teh ala desa Semuluh. terjadi pembicaraan yang hangat antara kami dan mereka, terutama Madha yang telah kenal dengan beberapa mahasiswa geografi tersebut. Sengaja kami tidak beergegas menuruni gua karena kami harus mengepak dan men-setting peralatan yang dibutuhkan. Tak terasa bahwa peralatan yang kami bawa ternyata sangat berat2 semua, terutama tiga buah tabung oksigen yang akan digunakan untuk cave diving. Belum lagi peralatan selam yang beratnya setara dengan satu buah tabung oksigen dan peralatan caving yang dibalut dengan 2 tackle bag.

di basecamp


Shinat dan tabung selamnya

Ada hal menarik dari caving kali ini yaitu berpadunya dua aliran caver dalam satu kegiatan yaitu caver american style dan european style. Apa perbedaannya? Caver European Style menggunakan clothing yang full melindungi seluruh body atau dinamakan coverall, sedangkan Caver American Style lebih cenderung menggunakan clothing yang simple dengan setelan kaos oblong dan celana pendek. Saya cenderung memilih American Style karena masalah klasik yaitu tidak ada coverall yang sesuai dengan ukuran badan saya yang kecil mungil,..hehe..

Tak terasa sudah 2 jam kami di basecamp. Saatnya bagi kami pamit kepada pemilik rumah untuk beranjak ke medan yang akan kami tempuh yaitu Gua Seropan. Madha, Shinat, Icad, Danang dan saya berurutan menuruni setiap anak tangga sebelum tiba di mulut gua. Lumayan melelahkan pada trekking pertama karena kami harus menuruni sekitar 60-an anak tangga, belum lagi dengan membawa beban yang super berat. Saya kedapatan ditugasi membawa satu set perlengkapan diving milik Shinat, beberapa bungkus logistik dan tentunya ransel saya sendiri. Sedangkan yang lain membawa 3 buah tabung selam, 2 tackle bag dan bawaan masing-masing.

American Style alias serba terbatas

Rutinitas seperti ini seringkali dijumpai pada mereka yang menekuni kegiatan penelusuran gua. Membawa beban yang berat yang didalamnya berisi peralatan akses naik dan turun gua, logistik makanan dan set pakaian. Belum lagi jika penelusuran bersifat keilmuan, harus menambah beberapa item yang dibutuhkan seperti skala mulai yang tongkat hingga yang kecil, writeboardmini, meteran, kompas dan kamera. Kebutuhan tersebut merupakan standar kegiatan yang diwajibkan. Beban berat seperti diatas bukanlah halangan untuk penggiat gua karena akan ada timbal baliknya ketika telah berada di dalam. Pada umumnya mereka yang menelusuri gua menganggap kegiatan tersebut sebagai rekreasional, yaitu menikmati keindahan gua melalui bentukan stalaktit, stalagmit serta indahnya entrance dan chamber yang dipenuhi teras ornamen-ornamen lintang. Sedangkan secara spesifik, penelusuran gua dapat bersifat keilmuan dilihat dari segi geografi, geomorfologi, geologi, arkeologi, mikrohidro dan masih banyak lagi cabang ilmu yang dapat diperoleh ketika penelusuran gua.

Mahasiswa selaku pembelajar dan penggiat alam, seringkali membenturkan dua pandangan tersebut menjadi satu. Hal ini biasa dijumpai oleh mahasiswa yang memiliki bidang keilmuan yang terkait dengan gua seperti yang telah dijelaskan diatas. Proses tersebut dimulai ketika mereka mulai memasuki ranah skripsi. Padahal sebelumnya cenderung kegiatan caving lebih kepada rekreasional saja. (berlanjut..pegel ngetiknya)

1.12.09

Freesoloing Climbing

See this For the Madness..Lol..

If a climber wants to risk his life, that's his decision, but to encourage anyone to solo is to reserve a place in hell. Consequently, talking about free soloing makes me a little edgy. It also makes my palms sweat. I've soloed just enough to know both the beauty and the horrors of the venture, and am leery of over- or understating either side.

Scrambling unroped over easy terrain is a required part of climbing. 'Third classing" routes approaching your technical limit is not. Yet climbers do solo, and will continue to solo. So to ignore the topic altogether, to withhold information that possibly could save a person's life, seems recklessly mean and narrow-minded. Instead, I will pass on all that I can, hoping to limit the genuine risks.

No one argues that soloing is climbing in its purest form. That so few soloists fall suggests that sober, calculated judgement prevails over the naive notion of the foolish daredevil going off half-cocked. Herman Buhl, Reinhold Messner, Royal Robbins, and more recently, John Bachar and Peter Croftsome of the true legends of our sport-all have reputations fashioned, in part, from soloing. Still, while we laud these climbers, a definite taboo shrouds their exploits. Certainly, difficult soloing is reserved for the full-blown expert, for those who eat, sleep, and drink climbing. But even for accomplished soloists the practice is a minefield full of clear and subtle dangers. The likelihood is much overstated, but one should never get lured into soloing through peer pressure or dubious ambitions, like achieving fame. It's undeniable that many active climbers routinely solo easy, or even moderate, routes. A few solo desperate routes (5.11 and up). But I've also known plenty of world-class climbers who never solo, no matter how easy the terrainand if anything, their reputations have grown from their forbearance. The point is, soloing is one aspect of the sport where you cannot, or should not, emulate other climbers.

What then, is the lure? By dint of the frank jeopardy involved, soloing evokes feelings of mastery and command, plus a raw intensity that even a million-dollar-a-year ball player will never experience: not in the Super Bowl; not in the World Series; not on center court at Wimbledon. And therein lies the snare. Following a particularly rewarding solo, when everything has clicked, the climber feels like a magician. These feelings can actually foster a sham sense of invincibility. Hence, it's not unheard-of that a narrow escape is followed by an eagerness to push things just a tiny bit further, and so on, until the soloist is courting doom. And he'll most assuredly find it if he doesn't quickly back off. The whole insidious business is closely tied to anything that is exhilarating, deadly, and fiendishly addictive. Whenever desire overrides judgement, bad things happen. If the soloing fool is fortunate, he'll have a harrowing close call, and he won't be the first to swear, "Never again!"

On the other hand, soloing has provided me with some of the sharpest, and greatest, experiences of my climbing career. Particularly on longer routes, the charged mix of fear and focus strips away any masks, exposing the most fundamental self. It's one way of finding out, once and for all, who you really are. It's also a sure way to die if so much as a single toehold pops. Understand this: The potential penalties simply are too high to rationalize risking your life to scale a section of stone. Wrap your reasoning in rarefied language, and maybe you'll touch on a vague truth. It's also true that my friend Tobin Sorrensona talented, beautiful, and outrageous young mandied while soloing the North Face of Mount Alberta. His death, at age 24, showed me the unforgiving side of the game, minus all the poetry and shimmering sunsets. It was a personal revelation of another, perhaps more significant kind. You just want to slog home and hug your child, kiss your wife, call your momtell someone you care about how much you love them. So when you're at the base, gazing up at the rock, review the soloist's code: "If there is any doubt about it, forget it!" If you do cast off, make certain you're doing so for your own good reasons.

How To Rock Climb: Sport Climbing by John Long. 1997. Falcon Guide

26.11.09

History of Aid Climbing

Did you know about Aid Climbing?? Check this out!!...

Some climbing historians date the origin of aid climbing to June 1492, when France's Charles VIII ordered his chamberlain, Antoine de Ville, and a handful of companions to scale Mont Aiguille (6,783 feet). To reach the summit of what was previously believed to be an unassailable peak, the de Ville party used aid in the form of wooden ladders.

Most climbers, however, view the 1786 ascent of Mont Blanc, which also required wooden ladders, as the true beginning of aid climbing. In the eighteenth and nineteenth centuries, it was not uncommon for guides and porters to lug heavy wooden ladders to the base of difficult rock steps.

Artificial aids were scorned by many climbers, and as alpine clubs were organized, opposition grew to what mountaineer Geoffrey Winthrop Young termed "publicity stunting and mechanical acrobatics."

Despite such vocal opposition, history is replete with accounts of artificial climbing on many important first ascents prior to the twentieth century. In Yosemite, aid was used by Scotsman George Anderson to ascend the "inaccessible" Half Dome in 1875. In an engineering feat that took six weeks, he drilled bolts in the granite dome and strung a rope ladder to the summit. The oft-photographed Devil's Tower in Wyoming received its first ascent in 1893 via a 350-foot wooden ladder hammered into cracks.

Aid climbing really started to take hold after the turn of the twentieth century, spurred by improvements in equipment, especially pitons and carabiners. Used in conjunction with the climbing rope, better equipment permitted better technique. Europeans, who had been responsible for most of these advances, could now attack steeper, more difficult faces. Some of the great spires of the European Alps were climbed, though not without a price. The death toll soared as climbers tried to push their equipment beyond its limits.

It would take a Swiss-born blacksmith named John Salathé to upgrade the equipment for the next climbing breakthrough. Salathé moved to California and began a climbing career at age forty-six. He discovered that the soft iron pitons imported from Europe were no match for the hard granite cliffs of Yosemite. One day he was climbing a crack that narrowed to almost nothing. Upon closer investigation, he saw a blade of grass growing out of the minute crack. "If a blade of grass can come out," he thought, "a piton can go in." But when he tried to drive in an iron piton, it just bent.

Using his knowledge as a metal worker, Salathé hand-forged a piton from strips of high-strength carbon steel salvaged from discarded Model A axles, creating the first hard steel pitons in the world. Then he returned to the tiny crack. As he later told the story in his heavy Swiss accent, "I took my piton and I pound and pound, and it goes into the rock." Salathé, whom Yvon Chouinard would call "the father of big-wall climbing," was now able to nail up hitherto hopeless cracks and thus avoid the need for bolts. Even today, fifty years later, Salathé's Lost Arrow design is regarded as the best for small pitons.

The effect was to revolutionize both free climbing and aid climbing. Freed of the burden of lugging extra backup pitons to replace ruined ones, climbers were able to carry more food and water, allowing them to attempt longer and more arduous faces. The twelve years after the introduction of Salathé's pitons saw every major cliff in Yosemite climbed: Lost Arrow Spire in 1946; Sentinel Rock in 1950; the great Northwest Face of Half Dome in 1957; El Capitan in 1958. It was the realization of what climber-photographer Galen Rowell would call "Yosemite's potential as the ideal locale for testing human limits on rock."

In the early fifties, California climber Chuck Wilts invented the knife-blade piton, using chrome-molybdenum aircraft steel for the first time. These pitons, smaller than anything available at the time, could fit in cracks no wider than a dime.

Although most of Europe's major rock faces had been ascended by the time climbing caught on in the United States, Americans now took the lead in aid climbing, especially on big walls. In 1957, when Royal Robbins, Jerry Gallwas, and Mike Sherrick climbed the Northwest Face of Half Dome, it catapulted Yosemite to the forefront of big-wall aid climbing, a position it would hold for several decades.

In 1958, in a monumental engineering feat that received a lot of attention, Warren Harding and various partners conquered the South Buttress of El Capitan, the most difficult and technical aid climb in the world. Three years later, Royal Robbins, regarded as the finest aid climber in the world, teamed up with Chuck Pratt and Tom Frost to climb the Salathé Wall on El Capitan, named for their innovative predecessor.

Many climbers today still regard the Salathé Wall as the finest rock climb in the world. And although it has been climbed without aid, most climbers still employ aid moves to scale this classic route.

Royal Robbins and his peers were far from done. In 1964, Robbins, Yvon Chouinard, Frost, and Pratt completed the extremely strenuous North America Wall on El Capitan, which was immediately given the title ''most difficult aid climb in the world." It seemed that each time Yosemite climbers found a new climb, it acquired that reputation.

Yvon Chouinard, like John Salathé, had a huge impact on both equipment design and ethical standards. His invention of the rurp (realized ultimate reality piton), a tiny postage-stamp-sized piton that could fit in a crack no wider than a blade of grass, helped to reduce the need for placing bolts. Chouinard also designed the chock, a piece of hardware that fits securely in a crack or behind a flake, greatly reducing the damage that results from repeated piton placements. In fact, it was Chouinard who spearheaded the movement toward clean climbing that took hold in the seventies.

If Royal Robbins was the most prolific aid climber of the sixties, Jim Bridwell was the dominant force of the seventies and eighties. His ascents of aid routes with names like "Sea of Dreams," "The Big Chill," and "Zenyatta Mondatta" are among the most difficult aid climbs in existence. Perhaps the zenith of aid climbing was Bridwell and team's 1978 ascent of the "Pacific Ocean Wall" on El Capitan. A climb that demanded several tricky aid placementsmainly rurps,
copperheads, and hooksit set the standard for today's strenuous aid climbs.

Also in 1978, free climber Ray Jardine began marketing the Friend, a spring-loaded camming device that gripped a crack to provide a bombproof anchor. Friends and other camming devices have promoted clean climbing and permitted safer climbing of loose, dicey rock.

Today's aid climbers use a variety of protective devices, including cams, chocks, hooks, copperheads, and yes, pitons. Despite significant advances in the quality of climbing equipment, the sport's risk hasn't been totally eliminated. Aid climbers routinely risk falls of a hundred feet or more in their quest for height.

What does the future hold for aid climbing? Clean climbingthat is, without pitonswill continue to grow in step with environmental awareness. As equipment continues to improve, some longer aid climbs will cease to be multiday events, and fewer bivouacs will be needed. And perhaps someone will invent a new gizmo that will replace the destructive but heretofore necessary piton.

Just as long as they don't come up with something that eliminates the actual climbing."

8.9.09

Lawu in loneliness

perjalanan kadang menakutkan, namun disetiap harapan membuat kita berani melawan ketakutan itu

Cinta Alam...
Cinta Kehidupan...
Tanpa melupakan kebesaran Tuhan...


pagi itu jam menunjukkan pukul 08.15 wib. ku angkat tas carrier yang telah ku persiapkan untuk pendakian. salam sebentar kepada mas Budi penjaga Basecamp Cemoro Kandang, lalu ku langkahkan kaki menuju puncak. langkah awal perjalanan ini diawali dengan beratnya beban tas yang menekan punggung hingga memerah. terasa sekali bahwa aku sudah lama tidak berkegiatan seperti ini. matahari masih berada di ufuk timur, tertutupi oleh rimbunnya dedaunan Cemara Gunung dan gesekan dahan Cantigi. kicau burung Perjak keras terdengar disertai kokok ayam hutan.

langkah demi langkah ku lalui, menanjak dan selalu menanjak. sedikit tanah datar yang ku lalui untuk sejenak memanjakan kaki. ku dengakkan kepala untuk melihat jalur, terlihat didepan ratusan anak tangga berbahan tanah dan berkelok-kelok sedang menunggu hentakan kakiku. sementara tubuh ini meronta-ronta datangnya seteguk air mineral sebagai pelepas dahaga. cerahnya cuaca dan terangnya matahari pagi ternyata tidak mampu menerangi jalan yang ku lalui, selalu temaram dan menakutkan. seperti sore hari. karena cahayanya tidak mampu menembus tebalnya dedaunan hutan.

ku lihat jam telah pukul 9.20 wib, tidak lama lagi aku akan tiba di pos 1. istirahat sejenak mendinginkan tubuh yang hampir memuai menahan beban tanjakan. ku lanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di pos 1 Taman Sari Bawah pada pukul 9.40 wib. sepi kosong yang ada hanya ringkikan pohon yang saling bergesek. warung yang ada di pos ini pun tutup. tidak lama aku istirahat di pos ini, mengingat waktu yang masih sangat panjang untuk ke puncak. hanya sebentar minum dan memelihara ke-narsis-an ku, foto-foto.

pukul 9.50 wib langkah kaki sudah menjauhi pos 1. situasi masih sama seperti sebelumnya. Cemara gunung, beringin, dan karet hutan selalu menemani sepanjang perjalanan. semak dan perdu pun tidak hentinya mencolek tubuh yang letih ini. sepanjang perjalanan selalu ku bayangkan bagaimana para pendahulu kita ketika masa Majapahit memilih tempat seperti ini untuk dijadikan petilasan. sementara kondisi geografis dan geomorfologis tidak menunjang untuk landasan sebuah kebudayaan. hayalku terusik ketika seekor burung Kerak melintas di depan. seketika bulu kuduk ku berdiri. entah apa yang terjadi padahal sebelumnya tidak terlintas rasa takut pada diriku. apa mungkin Sunan Lawu dapat menembus batin khayalku hingga meresponnya dengan kedatangan burung tersebut.

mencengangkan, masih saja merinding sementara baru ku sadari tidak ada seorang pendaki pun yang telah ku temui. aku seorang diri. perlahan kaki ku langkahkan setelah burung itu menghilang dari bingkai penglihatanku. sedikit mengurangi ketakutan saat angin datang membuka dahan-dahan dan sinar matahari masuk menerangi jalan, bagai lukisan master pelukis alam Saseo Ono. tak berapa lama pos 2 Taman Sari Bawah terlihat dari kejauhan dan angin datang seakan menyambut kedatanganku. tak lama aku disini, sekitar 15 menit saja. dari sini, sesekali ku lihat jelas puncak Lawu gagah menjulang sebelum tertutup kembali oleh tebalnya kabut.

mendung mendapatiku ktika mulai melangkahkan kaki menuju pos 3 Cokro Srengenge. ku lihat jam tangan menunjukkan pukul 11.38 wib. tingkat kesulitan agak berkurang karena jalur yang landai namun sedikit bervariatif. ku berjalan melewati jurang-jurang dengan vegetasi rapat dan basah. mungkin sebelum aku tiba disini, hujan telah mendahuluiku. tak terasa betis dan paha ku basah, meredakan hangat yang semenjak tadi membelai tubuhku. celana Claw yang melapisi ku pun ikutan basah tak kuasa menahan terjangan air yang berasal dari pucuk-pucuk semak. istirahat ku sebentar dibawah papan peringatan bertuliskan "Hati-hati, Awas Jurang". ku menengok jalan ke depan terbentang jalur yang dinamakan Jurang Pangarip-arip. jalur ini terbentuk berdasarkan kontur morfologi punggungan yang di sebelah kirinya merupakan jurang yang sangat dalam. terpeleset sedikit akan terjatuh dan meninggalkan suara teriakan yang kelam.

kuberanjak dan bergerak melewati jalur tersebut. perlahan dan pasti sambil berdoa keselamatan kepada yang kuasa. dalam kesendirian ternyata manusia begitu lemah, hanya setitik kecil dalam jutaan buku di perpustakaan megah. di kejauhan kulihat kota Karanganyar begitu kecil, seperti kumpulan titik berwarna disertai garis yang menggambarkan jalan. terhitung tiga kali aku istirahat tak kuat menahan beban tas yang berisi tenda, pakaian dan survival kit. ketika istirahat, ku hanya diam mendengarkan suara angin dan gesekan pohon. tarian Rustania, Puspa dan ilalang hutan yang bergerak mengikuti irama angin turut memanjakan mata ini.

beberapa kali ku pejamkan mata hanya untuk mendengar suara ultrasonik yang dikeluarkan binatang-binatang hutan. alangkah indah alam ini ku rasakan ketika itu, tetes air mata tak mampu kuredam dalam kekaguman ini. seakan ku ingin berhenti hidup dan kembali sebagai semak belukar yang mengisi alam raya ini. kekagumanku berhenti seketika saat mencapai pos 3. tubuhku terasa dingin dan kerongkongan sakit karena tidak teraliri air. rupanya aku terlena saat istirahat dengan tidak menenggak setetes air pun. yang kutakutkan hanyalah dehidrasi. salah satu awal dari gejala hypothermia dan edema. dengan cepat ku ambil jaket penghangat dan air mineral dari tas. ku masuk kedalam bilik kecil yang bertuliskan Cokro Srengenge. Berlanjut.....


20.7.09

Etika Panjat Tebing

1. Menghormati adat istiadat masyarakat setempat.

2. Tidak mencemari sumber air penduduk setempat.

3. Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan erosi.

4. Tidak mengganggu tanaman serta satwa penduduk.

5. Membatasi sedikit mungkin penggunaan bubuk magnesium.

6. Membatasi pemakaian pengaman bor dan setiap penggunaan bor harus dapat dipertanggungjawabkan.

7. Tidak diperbolehkan menambah pengaman pada jalur yang sudah ada dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kesulitan.

8. Diperbolehkan mengabaikan pengaman yang ada pada jalur dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat kesulitan.

9. Tidak melepas pengaman yang terpasang pada jalur pemanjatan.

10. Jika jalur baru belum selesai dibuat, harus diberi tanda yang jelas.

11. Jika jalur baru akan diselesaikan oleh orang lain, harus seijin pembuat jalur pertama.

12. Apabila ada pemanjat pada suatu jalur maka sebaiknya tidak ada pemanjat lain pada jalur tersebut.