Showing posts with label Akademika. Show all posts
Showing posts with label Akademika. Show all posts

27.11.09

STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD X-XI

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Latar Belakang
Keadaan geografi pulau Jawa yang memiliki gunung-gunung api dan sungai membuat tanah menjadi subur. Potensi ini didukung oleh curah hujan yang rata-rata cukup banyak (±2000 mm per tahun), khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya, menyebabkan rata-rata kelembaban udara yang cukup tinggi pula. (Sutikno:1993) Pada masa Jawa Kuna terdapat beberapa kerajaan seperti Kerajaan Mataram Kuna, Singasari dan Kadiri dan Majapahit. Mayoritas masyarakat kerajaan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini didasari oleh tanah-tanah di pulau Jawa yang relatif subur. Hal ini karena banyaknya gunung-gunung api serta curah hujan yang tinggi. Kerajaan pada masa lalu sepertinya memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Pendapatannya kerajaan-kerajaan agraris diperoleh dari pengumpulan hasil bumi, upeti dari raja bawahan dan denda dari putusan peradilan dan pajak (Dwiyanto: 1993).

Akan tetapi karena curah hujannya relatif tinggi menyebabkan lahan pertanian penduduk dari masa jawa kuna bahkan sampai saat ini sering terjadi banjir. Kerugian yang diderita oleh petani sangat besar karena untuk mengolah sawah sangat menyita waktu dan tenaga. Karena para petani harus melewati tahapan dalam mengolah lahannya (Abu: 1990). Banjir yang terjadi tidak hanya berpengaruh terhadap pertanian saja, melainkan juga menyangkut bidang lain seperti perdagangan dan religi. Adanya banjir juga mengurangi pendapatan kerajaan dari sektor pajak (Djoko Dwiyanto: 1992). Dampak banjir dibidang perdagangan adalah macetnya jalur lalu lintas air, sehingga pedagang tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Pada bidang religi adalah banyaknya tempat atau bangunan suci yang rusak dan hancur akibat terkena banjir.
B. Rumusan Masalah
Banjir merupakan fenomena yang terjadi dimana suatu wilayah atau sistem pengairan tidak mampu menampung limpahan air. Sawah atau lahan pertanian biasanya terletak di tepi sungai atau memiliki sungai sebagai pengairan. Sehingga jika sistem pengairan tidak mampu menampung air maka akan terjadi banjir dan sawah akan terkena dampaknya. Jika sebuah lahan pertanian terkena banjir maka segala tanaman akan basah dan layu sehingga akan mati. Dengan kondisi ini, maka petani akan dirugikan oleh adanya banjir. Sehingga akan menghambat pertanian. Selain itu dampak banjir juga berpengaruh pada bidang perdagangan, bidang religi bahkan pendapatan kerajaan dari sektor pajak juga ikut terpengaruh. Oleh karena itu para korban banjir pasti akan mencari solusi atau strategi untuk penanggulangan bahaya banjir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi penanggulangan banjir pada masyarakat jawa kuna. Adapun pertanyaan yang muncul untuk memecahkan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir yang terjadi pada masa Jawa Kuna abad V-XI?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran Induktif. Metode penalaran induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan adalah prasasti dan data sekunder lainnya yang diperoleh dari skrisi, buku dan artikel. Tahap yang kedua adalah pengolahan dan analisis data-data yang telah diperoleh. Tahap yang ketiga atau tahap yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.


STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD V-XI
(Kajian Terhadap Prasasti Tugu Abad 5 M, Bakalan 934 M, dan Kamalagyan 1037 M)
Meskipun air dari sungai mempunyai manfaat yang besar, baik untuk pertanian, lalu lintas dan kebutuhan manusia yang lain, akan tetapi keberadaan sungai itu sendiri perlu mendapatkan perhatian khusus didalam pengelolaannya. Pengelolan sungai disamping untuk memenuhi kebutuhan manusia juga dimaksudkan untuk menghindari adanya bahaya yang dapat ditimbulkan dari sungai tersebut, yaitu bahaya banjir. Banjir merupakan peristiwa alam yang terjadi akibat melimpahnya air yang ada dipermukaan. Sebab-sebab banjir dikarenakan tidak mempunyai sungai untuk menampung air, kurangnya tingkat peresapan tanah, dan lebih rendahnya permukaan daratan dari pada permukaan air. Selain pada masa kini ternyata banjir juga pernah terjadi pada masa Jawa Kuna. Berikut ini adalah prasasti-prasasti yang memuat informasi tentang penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna, diantaranya prasasti Tugu abad ke-5 M, prasasti Bakalan 934 M dan Prasati Kamalagyan 1037 M. Adapun kutipan dari masing-masing prasasti adalah sebagai berikut:
A. Prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh raja Punawarman:
1. Pura rajadhirajena guruna pinabuna
2. Khata khyatam purim prapya candra bhagarnnavam yayau…
7. dvavincena nadi ramya gomati nirmaludaka
8. pitamahasya rajarser widaraya cibiravanim
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
1. Dulu raja yang mulia yang mempunyai lengan yang kuat
2. Menggali sungai bernama Candrabhaga buat mengalirkannya kelaut, setelah (kali ini) sampai di istana yang termasyur…

7. Menggali sungai Gomati permai dan berair jernih
8. Setelah sungai itu mengalir ditengah-tengah kediaman sang pendeta nenekda (Sang Purnawarman)
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Pembuatan saluran di Gomati dan Candrabhaga dapat diinterpretasikan sebagai usaha raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara didalam upaya mengendalikan aliran sungai dan mengatasi banjir yang disebabkan oleh meluapnya air di daerah tersebut sehingga perlu dibuat saluran untuk mencegah terjadinya banjir. Interpretasi ini didasarkan pada analogi dari isi prasasti yang menyebutkan penggalian saluran air yang dilaksanakan pada bulan Caitra yang merupakan bulan pertengahan Maret hingga pertengahan April. Bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan dan permulaan musim kemarau. (Ph. Subroto: 1985). penggalian ini kemungkinan untuk menanggulangi banjir sebagai akibat berdasarkan pengalaman banjir pada musim hujan, yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.
B. Prasati Bakalan 934 M atau Prasasti Wulig
8. “…Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. Pagehaken ikang dawuhan katrini I halunan
10. I wuatan wulas I wuatan tamya
11. irikana dawuhan muang umajara kamu tepangu
12. pullakna dawuhan telyenu Ikana weluran
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
8. “…Rarakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. memerintahkan membuat bendungan di tiga tempat, yaitu di kahulunan
10. di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya
11. di sana bendungan itu dan memberitahu (mereka) memegang teguh itu dari keinginan untuk
12. mengalirkan air dan menyatukan 3 bendungan disana
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Prasasti ini berisi perintah Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil untuk membuat tiga bendungan di daerah Kapulungan , Wuatan wulas , dan Wuatan Tamya. Dalam prasati ini memang tidak disebutkan bahwa bendungan dibuat untuk penanggulangan banjir. Namun berdasarkan kondisi geografis di pulau Jawa memiliki curah hujan tinggi dimungkinkan salah satu fungsi dari pembangunan bendungan ini adalah untuk penanggulangan banjir
C. Prasasti Kamalagyan 1037 M yang dikeluarkan pada masa Raja Airlangga:
7. “… Sambandha, cri maharaja madamel dawuhan ring waringin sapta imahnikanganak ri kamala
8. gyan punyahatu tan swartha, kahaywaknaning thani sapasuk hilir lasun palinjwan. Sijanatyesan panjiganting talan. Dacapangkah. Pangkaja. Tka ring simarasirna. Kala, kalagyan, thani jumput. Wihara ca
9. Ia, kumulan, parahyanganm parapatan, makamukyabhuktyan. Sang hyang dharma ringicanabhawana mangaran I surapura, samangkana kwehnikang thani kawahan kededetan cariknya denikang kanten tmahan bangsawan amgat ri wa
10. ringinsapta, dumadyakan unanikang drabyhaji mwanghilang nikang carik kabeh, aphan dulabha kawnanganikatambakaning bangsawan amgat de parasamya makabeh, tan pisan nambak parasamya…”
13. “ring parapuhawang prabanyaga sangkaring dwipantara, samanunten ri hujung galuh ikang anak thani sakawahan kadedetan sawahnya, atnyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah sawahnya kabeh an pinunya
14. ri tambak hilinikang bangawan amgat rig waringin sapta de cri maharaja…”
(Brandes: 1913 dalam Wulandari: 2001)
Artinya:
7. “…(demikianlah) sebabnya Sri Maharaja membangun bendungan Waringin Sapta di desa Kamala
8. gyan untuk kesejahteraan desa Lasun, Palinjwan, Sijatatyesan, Panjiganting Talan, Dacapangkah, Pangkaja, hingga semua tempat (sima) itu musnah, kala, kalagyan, thani jumput, wihara, ca
9. Ia, kamulan, Parhyangan, Parapatan, tempat suci yang bernama Icanabhawana di Surapura, begitulah pemberian (pembuatan bendungan) yang berkali-kali terkoyak oleh bengawan yang bercabang di Wa
10 ringin sapta, tiba-tiba semua milik raja menjadi hancur, tidak hanya sekali pembuatan tnggul oleh pejabat setempat…”
13. yang menghubungkan antara pulau, berkumpul semua di Hujung Galuh, penduduk desa yang sawah tanahnya terkena banjir menjadi senag hatinya karena berakhirnya banjir itu sehingga hasil sawahnya dapat dimiliki dengan
14. ditanggulnya aliran sungai Waringin Sapta oleh Sri Maharaja…”
(Wulandari: 2001)
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya mungkin banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah sima yang mengalami banjir yaitu Kala, Kalagyan, Thani Jhumput, Wihara Cala, kamulan, dan parapatan (Soekmono 1973). Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan), yang menurut Soebroto ialah sungai Brantas. Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan (Soebroto: 1985).
Melihat dari isi prasasti tersebut, prasasti kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang.
Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai tehadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gcunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat setempat. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan ini, Maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tanggul yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis terhadap tiga prasasti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masa jawa kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air, seperti pada prasasti yang menjadi kajian pada makalah ini. Dari isi ketiga prasasti tersebut dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga dapat terhindar dari bahaya banjir.
2. Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu. Rifai, Dkk. 1990. Teknologi Pertanian Sebagai Tanggapan Terhadapa Lingkungan di Cianjur. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Subroto, Ph. 1985. Sistem Pertanian Masyarakat Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis. Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. Dalam Prof. Sartono Kartodirjo “700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai”. Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Wimbo Widayati. W. 1998. Upaya Pelestarian Pada Masyarakat Jawa Kuna Berdasarkan Prasasti Abad V-XV M. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wulandari Naning. 2001. Upaya Peningkatan Hasil Pertanian Pada Masa Jawa Kuna Abad IX-XV. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

SISTEM PENGUBURAN MEGALITIK DI GUNUNG KIDUL (Kajian Situs Kajar, Sokoliman, dan Bleberan)

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Peninggalan Tradisi megalitik di Daerah Istimewa Yogyakarta ditemukan didaerah kabupaten Gunung Kidul. Peninggalan tersebut berupa kubur-kubur peti batu, batu-batu tegak , arca-arca menhir serta lumpang batu. Penelitian terhadap tinggalan di daerah ini telah dilakukan oleh Vanderhop tahun 1935. Kubur batu di Gunung Kidul ditemukan di daerah Kajar, Wono Budo, Playen, Bleberan, Sokoliman, Gunung Abang dan Gunung Gondang. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Salah satu konsepsi kepercayaan yang sangat menonjol dalam masyarakat prasejarah di Indonesia adalah sikap terhadap kehidupan sesudah mati. kepercayaan yang berlatar belakang animisme dan dinamisme tersebut mempunyai anggapan bahwa roh seseorang dianggap mempunyai kehidupan dialamnya tersendiri sesudah meninggal, sehingga perlu diadakan upacara-upacara sebelum dikuburkan. Konsepsi kepercayaan yang paling menyolok dalam kaitannya dengan upacara kematian adalah sistem penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Sistem penguburan tersebut biasanya dilakukan secara langsung (Primer) maupun tidak langsung (sekunder) dengan menyertakan bekal kubur berbentuk benda-benda pusaka, senjata, perhiasan, dan mungkin juga makanan yang diletakkan dalam periuk-periuk sekitar mayat. Bekal kubur tersebut kadang-kadang juga berupa binatang (anjing, babi) dan manusia yang khusus dikorbankan dengan maksud agar arwahnya dapat ikut serta dengan roh si mati ke alam baka. Kehidupan di alam arwah dipandang sama keadaannya dengan dunia orang hidup, oleh karena itu kesejahteraan arwah harus tetap terjadi untuk menjaga kelangsungan hubungan dengan orang-orang yang ditinggalkan agar dapat terus berlangsung dengan baik (Soejono:1984 dalam Haris Sukendar: 1993).
Sistem religi di Indonesia mulai dikenal sejak adanya pola penguburan sederhana, yaitu menguburkan mayat dekat dengan tempat tinggal sehingga bercampur dengan peninggalan-peninggalan lain seperti alat-alat litik, cangkang-cangkang kerang dan sebagainya. Indikator yang dapat dijadikan petunjuk adanya sistem penguburan didasarkan pada temuan sisa rangka baik yang ada di lingkungan alam terbuka maupun yang ada di gua-gua atau ceruk. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Permasalahan dan Tujuan
Pentingnya upacara kematian dalam proses hidup manusia telah menyebabkan berkembangnya sistem-sistem penguburan yang berlangsung pada masyarakat prasejarah. Akibatnya pada masa perundagian atau masa akhir prasejarah di Indonesia telah dikenal berbagai bentuk dan sistem penguburan yang beragam. Bukti-bukti tentang adanya berbagai bentuk dan sistem peguburan tersebut telah ditemukan disejumlah situs arkeologi yang terbesar diberbagai tempat di Indonesia.
Permasalahan yang muncul dari hal diatas, sehingga penulis berinisiatif untuk menyusun makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah sistem penguburan di situs-situs megalitik di wilayah Gunung Kidul?

Tujuan pokok dari tulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana sistem penguburan megalitik di wilayah Gunung Kidul.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran induktif. Metode penalaran Induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap yang pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan merupakan data-data sekunder yang berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas dalam makalah ini sebagai obyek kajian analisis serta data-data mengenai sistem-sistem penguburan yang ada pada masa prasejarah sebagai acuan dalam proses analisis. Tahap yang kedua adalah tahap pengolahan data. Data-data yang telah diperoleh dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada. Tahap yang ketiga atau yang terakhir adalah tahap penarikan kesimpulan.


Landasan Teori
Menurut Soejono (1969) sistem penguburan di Indonesia dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sebagai berikut:
1. Penguburan langsung (tunggal dan ganda), yang mencakup:
a) Kubur primer tanpa wadah
b) Kubur primer tertutup (dengan wadah)menggunakan: Sarkofagus, Peti Kubur Batu, Kalamba/Waruga, Kamar batu, Struktur seperti Dolmen, dan Tempayan
2. PenguburanTertunda
a) Kubur sekunder tanpa wadah (lengkap dan selektif)
b) Kubur Sekunder tertutup (dengan wadah), menggunakan: Tempayan dan Sarkofagus (lengkap dan selektif).
3. Penguburan kombinasi (tunggal dan ganda)
a) Kubur primer tanpa wadah + kubur sekunder tanpa wadah
b) Kubur primer tanpa wadah + kubur sekunder tertutup (dengan wadah)
4. Penguburan terbuka (kadang-kadang diikuti dengan pengebumian selektif)
Selanjutnya Soejono mengatakan bahwa rangka-rangka pada kubur primer biasanya menunjukkan peletakan mayat dalam berbagai posisi yang terdiri atas 3 sistem utama yaitu sebagai berikut:
1. Posisi terlentang dengan berbagai cara penempatan anggota badan bagian atas.
2. Posisi terlipat atau semi terlipat, termasuk dorsal (terlentang) dan menyamping.
3. Posisi jongkok
4. Posisi sujud (sangat jarang)
(Soejono:1969: dalam Bagyo Prasetyo dkk: 2004)

B. Temuan Kubur di Gunung Kidul
Kompleks kubur peti batu di Gunung Kidul telah diteliti oleh J.L Moens pada tahun 1934, kemudian dilanjutkan oleh van der Hoop pada tahun berikutnya. Peti kubur tersebut antara lain terdapat di Kajar, Sokoliman, dan Bleberan. Pada kubur peti batu di Kajar ditemukan 35 individu bertumpukan pada kedalaman 80 cm dengan bekal kubur beberapa alat dari besi , antara lain arit. Temuan lain berupa cicin perunggu, dan sebuah mangkuk terakota. Pada salah satu rangka ditemukan sebialah pedang besi yang telah patah, dipegang ditangan kiri, sedangkan pada pedang itu sendiri melekat bekas-bekas tenunan kasar. Kubur peti batu yang ditemukan di Bleberan berisi 3 manusia bertumpukan dalam posisi terlentang dengan kepala di sebelah utara. Tiga buah benda besi terletak di atas dada rangka yang paling atas., cincin tembaga,pisau besi, dan beberapa manik-manik tersebar di antara rangka-rangka tersebut. (R.P. Soejono: 1984 dalam Goenadi: 1989). Ekskavasi yang dilakukan van der Hoop pada tahun 1935 di daerah Kajar, Sokoliman, Bleberan, Wonobudo, Gunung Abang dan Gunung Gondang ditemukan peti kubur batu berisi beberapa individu yang dikubur dengan posisi lurus. Bersama kerangka manusia juga ditemukan pula benda-benda dari besi dan fragmen perunggu, manik-manik serta benda-benda dari gerabah. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Penelitian selanjutnya adalah pada bulan November 1985 dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta terhadap peti kubur batu di Sokolima. Dalam penelitian tersebut digali 3 kubur peti batu yang berkode D22A, D22B, dan D24B yang keaadaannya dianggap paling baik meskipun seluruh kubur tersebut terdiri atas pecahan gerabah(kereweng), tulang manusia, tulang hewan, fragmen logam, manik-manik, dan arang (Goenadi dan Haris Sukendar: 1986 dalam Goenadi 1989). Dari analisis terhadap temuan fragmen tulang manusia (setelah dianalisis) diketahui bahwa dari kubur D22A terdapat individu dan dari D22B ditemukan 5 individu, sedangkan dari D24B tidak dapat diidentifikasikan karena pecahannya sangat kecil. Hasil analisis tulang hewan terdapat 3 jenis hewan yaitu: Babi, banteng, dan rusa (Goenadi:1989).

C. Analisis Kubur
Pola hubungan Anatomis antara berbagai jenis tulang yang membentuk rangka dapat menujukkan posisi, sikap, bentuk perlakuan mayat/rangka (perlakuan pertama atau perlakuan kedua), dan orientasi mayat ketika dikubur. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua penguburan di Gunung Kidul dilakukan dengan sistem penguburan langsung. Tulang-tulang yang ditemukan di situs-situs Gunung kidul ditemukan utuh walaupun sudah rapuh dan dalam posisi tertumpuk. Tidak ada indikasi adanya penguburan tertunda, ciri-ciri mayat yang dikubur tertunda akan memperlihatkan gejala susunan tulang yang tidak berhubungan secara anatomis (Soeprijo: 1982 dalam Lutfii: 2006), tidak berartikulasi, atau tidak lengkap (Soejono: 1977 dalam Lutfi: 2006), atau hanya diwakili oleh bagian-bagian tertentu dari rangka (Lutfi: 2006).
Selain itu, bukti yang menguatkan penguburan dilakukan secara langsung adalah semua penguburan dilakukan dengan wadah yang berupa peti kubur batu. Disebut peti kubur batu karena wadah kubur ini berbentuk seperti peti yaitu terdiri dari sebuah alas yang dibatasi dengan dua dinding memanjang dan dua buah dinding melebar serta dilengkapi dengan sebuah tutup. Masing-masing bidang terbuat dari lempengan-lempengan batu. Tidak ada temuan yang memperlihatkan penguburan sementara, seperti penguburan yang dilakukan didalam tempayan.
Berdasarkan data-data penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dalam satu wadah kubur ditemukan lebih dari satu rangka dengan posisi mayat diletakkan secara membujur lurus dengan keadaan terlentang namun karena terbatasnya data yang didapat tidak diperoleh keterangan secara lengkap mengenai sikap-sikap tubuh si mayat ketika dikubur.
Penguburan di Gunung Kidul juga dilengkapi dengan berbagai benda penyerta sebagai bekal kubur. Bekal kuburnya antara lain benda-benda dari besi dan fragmen perunggu, manik-manik, benda-benda dari gerabah tulang hewan, fragmen logam, dan arang. Adapun pengertian bekal kubur adalah berbagai perlengkapan atau jenis benda yang biasanya disertakan bersama mayat dalam satu penguburan (Joukowsky: 1980 dalam Lutfi: 2006), baik yang dilakukan pada penguburan langsung maupun tidak langsung, mencakup benda-benda upacara, perhiasan, hewan peliharaan, dan mungkin saja manusia (budak atau musuh) yang sengaja dikorbankan (Soejono:1977 dalam Lutfi: 2006). Bekal kubur umumnya diletakkan disisi atau berdampingan dengan mayat, atau dapat pula diartikan sebagai benda-benda yang diposisikan secara sengaja bersama mayat, tetapi bukan merupakan bagian dan struktur kubur atau peralatan yang digunakan untuk membawa mayat (Clark: 1975 dalam Lutfi 2006).

D. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem penguburan megalitik pada masa prasejarah yang dilakukan di Gunung Kidul adalah sistem penguburan langsung (Primer) dengan menggunakan wadah yang berupa peti kubur batu. Penguburan juga dilengkapi dengan bekal kubur yang berupa benda-benda dari besi, fragmen perunggu, manik-manik, benda-benda dari gerabah tulang hewan, fragmen logam, dan arang. Di gunung kidul tidak ditemukan sistem penguburan sekunder atau penguburan tidak langsung. Hal ini tampak pada temuan tulang atau rangka manusia disitus megalitik Gunung Kidul, tidak ada yang ditemukan dalam wadah sementara seperti periuk.
Melihat dari temuan-temuannya dapat diketahui bahwa dalam prosesi penguburannya sudah ada upacara-upacara sebelum dikubur. Hal ini dapat dilihat dari bekal kuburnya yang berupa tulang hewan dan benda-benda gerabah, dimana keduanya merupakan perlengkapan pada upacara-upacara pada masa prasejarah bahkan sampai pada masa Hindu masih ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA
.
Lutfi Yondri. 2006. Analisis Kubur Prasejarah Temuan Dari Gua Pawon. Kars Citatah, Kabupaten Bandung. Dalam Arkeologi Dari Lapangan Ke Permasalahan. Jawa Barat
Nitihaminoto Goenadi. 1989. Bentuk-bentuk Gerabah Kubur Peti Batu Sokoliman: Hubungan Dengan Tahap Penguburan. Berkala Arkeologi.
Prasetya Bagya, Dkk. 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Proyek Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi. Jakarta
Sukendar Haris. 1993. Benda-Benda Logam pada Tradisi Megalitik di Indonesia (Kajian Peranan dan Fungsi). AHPA IV. Jakarta: Puslit Arkenas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


17.8.09

Apa itu Motif Wadasan??

Pernah dengar motif wadasan?? Mungkin hanya sebagian orang yang tahu dengan motif wadasan, dari sebagian yang tahu mungkin hanya sebagian lagi yang mengerti makna dari motif tersebut. Bagi yang belum tahu, akan saya jelaskan sedikit mengenai wadasan. Saya ambil contoh di Cirebon, karena motif ini berkembang luas di Cirebon.

Motif hias wadasan adalah istilah Cirebon untuk menyebut motif karang. Adapun istilah untuk menyebut motif karang adalah gunungan. Motif gunungan memiliki makna suci yang mengarah pada gambaran kehidupan di alam baka, sebuah kehiduppan yang kekal abadi. Motif gunungan merupakan motif Indonesia asli yang keberadaannya terus bertahan walaupun penetrasi Hindu dan Islam di Indonesia berifat intensif. Pada saat berlangsungnya pengaruh hindu, motif gunungan digambarkan sebagai gunung Meru tempat bersemayamnya para dewa. Motif wadasan pada kepurbakalaan Islam di Cirebon berfungsi simbolik dan dekoratif. Fungsi simbolik motif ditunjukkan oleh letak motif tersebut pada bagian utama benda-benda sakral. Pada benda kelompok ideoteknik misalnya motif tersebut berada pada makam-makam keluarga sultan yang bagian utamanya berupa nisan. Pada benda kelompok sosioteknik motif hias wadasan terdapat pada kereta-kereta kerajaan yang bagian utamanya adalah badan kereta, pada kain batik milik kerajaan bagian utamanya adalah motif batik itu sendiri. Adapun pada benda kelompok teknomik motif hias wadasan ini terdapat pada tamansari milik keluarga kerajaan yang bagian utamanya berupa bukit-bukit buatan. Dengan demikian motif hias wadasan sebalum abad 18 M adapat dikatakan berfungsi sebagai simbol status kebangsawanan.

Fungsi dekoratif motif hias wadasan selain sekaligus melekat pada fungsi simboliknya juga ditunjukkan oleh letak motif tersebut pada bagian pelengkap benda-benda sakral. Dalam konteks benda yang ditempati selain sebagai unsur estesis, motif hias wadasan juga mempunyai kegunaan lain yaitu menggambarkan obyak sesuai konteksnya. Beberapa contohnya yaitu pada Kereta Singa Barong motif hias wadasan hadir untuk menggambarkan bukit karang. Pada hiasan dinding, motif hias wadasan berperan untuk menggambarkan tempat berpijak makhluk hidup yang digambarkan diatasnya.

Setelah abad 18 M motif hias wadasan mengalami pergeseran fungsi, dari simbol status kebangsawanan menjadi tidak. Hal ini dapat diartikan bahwa motif hias wadasan hanya berfungsi dekoratif. Pergeseran ini ditunjukkan dengan adanya beberapa benda purbakala di Cirebon yang mengalami kesinambungan pembuatannya hingga masa kini. Batik-batik kraton setalah abad 18 mulai dibatikkan oleh pembatik di luar kraton. Dengan begitu motif hias wadasan dikenal masyarakat awam, sehingga konsumennya pun meluas, apabila dahulu hanya menjadi konsumsi keraton maka saat ini sudah menjadi milik publik.

Irmawati Johan (1986:367-375) dalam artikelnya di PIA IV, menjelaskan bahwa motif wadasan merupakan bentuk kosmologi yang hakekatnya adalah suatu usaha untuk mengekspresikan gunning Sembang sebagai gunung Meru, tempat eksistensi raja Cirebon sebagai penguasa jagad kecil dan sebagai wakil tuhan didunia dan menjadi perantara rakyat untuk mendapat berkat dari tuhan.

Referensi
Irmawati Johan. Aspek Simbol dari Motif Hias Wadasan di Cirebon. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1986.

25.7.09

Arkeolog pasti memahaminya

Salah satu daur hidup yang dialami oleh mahasiswa arkeologi adalah mengalami ekskavasi. Hal ini wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa jurusan arkeologi. Seringkali kegiatan ini dinantikan oleh mahasiswa. Oleh karena lebih bersifat praktis dan aplikatif. Selain itu juga interaksi antar mahasiswa menjadi semakin intens sehingga kadangkala terjadi semacam cinta lokasi ataupun timbul persahabatan diantara seluruh peserta ekskavasi. Hal itu pasti terjadi pada diri seorang arkeolog. Momen-momen yang tidak bisa dilupakan saat mengikuti kegiatan survai lapangan, ekskavasi hingga pada proses pembuatan laporan. Ternyata setiap tindakan dan kegiatan yang pernah dilakukan saat ekskavasi tersebut masih saja terngiang dipikiran saya. Seperti misalnya saat diskusi bersama setiap malam, begadang mengerjakan laporan maupun bercanda saat sore menjelang setelah selesai ekskavasi. Apa yang saya alami saat ini mungkin juga hampir sama dengan setiap mahasiswa arkeologi yang pernah menjalaninya. Mengapa hal itu dapat terjadi? Salah satu hal yang dapat menjelaskan yaitu bahwa manusia merupakan makhluk sosial, segala ide dan tindakan sangat dipengaruhi oleh manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Daya kognitif manusia terbentuk karena adanya respon terhadap lingkungannya. Ketika ingatan kognitif tersebut hilang, maka ia akan muncul kembali ketika jiwa merasa kosong atau cenderung statis. Ingatan tersebut kembali mencuat karena manusia cenderung untuk mencari sesuatu yang baru. Hal inilah yang terjadi, ingatan tersebut seperti cakram yang berputar. Ketika manusia merasa bahagia maka kampas tersebut akan terus mengikat cakram agar jiwa tersebut tidak cepat berubah atau berjalan lamban. Namun saat berada dalam kesepian atau keadaan sedih, maka manusia akan melepaskan kampas tersebut sehingga cakram akan berputar cepat. Saat putaran cakram mengalir cepat inilah daya kognitif yang terekam pada masa lalu sering mencuat kembali. Arkeolog pasti memahaminya.

16.7.09

Keprihatinan terhadap eksplorasi sumberdaya arkeologi bawah air

Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel Gesekan Kepentingan di Jalur Terang

Eksplorasi Sumber daya Arkeologi di Indonesia seringkali menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakselarasan antara undang-undang BCB dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Disamping itu masih adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan di dalam kasus-kasus tersebut. Dalam kasus diatas terjadi benturan antara Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 dengan Undang-Undang Nomor 5/1992. Dalam Undang-Undang Nomor 5/1992 yang berhak memberi izin pengangkatan benda bersejarah adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sedangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 yang menjadi ketua panitia adalah Menteri Kelautan dan wakilnya ialah Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Dalam kasus seperti ini seharusnya diperlukan kordinasi yang cukup matang agar tidak terjadi benturan antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Hal ini menandakan lemahnya operasional dari penegakan hukum dan perundangan di Indonesia. Selain itu pemerintah juga harus tanggap terhadap sumberdaya Arkeologi yang banyak terdapat di Indonesia yang sebagian besar dalam kondisi tidak terawat dan cenderung memprihatinkan.
Pengelolaan sumber daya arkeologi di Indonesia cukup memprihatinkan. Terutama sumber daya arkeologi yang terdapat didalam laut. Selain karena minimnya sumber daya manusia yang kompeten dalam penyelaman arkeologi, anggaran yang terbatas juga merupakan faktor yang menyebabkan jarangnya eksplorasi sumber daya arkeologi di dalam laut. Ketidakmampuan instansi dalam negeri inilah yang menyebabkan penggalian bawah laut banyak dilakukan oleh pihak asing.
Penyelaman oleh pihak asing ini seringkali menimbulkan masalah. Seperti yang terjadi di Cirebon dalam kasus diatas. karena seringkali terbentur masalah perizinan dan kepemilikan artefak tersebut. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan Arkeolog lokal agar diciptakan undang-undang dan Keputusan-Keputusan lain tentang sumber daya arkeologi yang lebih spesifik dan selaras antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya.

BEHAVIORAL ARCHAEOLOGY antara Schiffer dan Binford

Behavioral Archaeology mulai berkembang pada awal tahun 1970-an dengan Schiffer sebagai penggagasnya. Behavioral Archaeology timbul karena definisi tentang kebudayaan sudah terlalu banyak sehingga melahirkan beberapa perspektif sehingga menjadikannya tidak konsisten. Maka dari itu muncullah Behavioral Archaology. Menurut Behavioral Archaeology, arkeologi didefinisikan sebagai studi objek material yang tanpa melihat waktu dan spasial untuk menguraikan dan menjelaskan tingkah laku manusia. Dan benda arkeologis adalah merupakan produk dari manusia. Sehingga dari tinggalan-tinggalan itu dapat diketahui tingkah laku manusianya.Wilayah riset Behavioral Archaeology meliputi :
1. Formasi dari data arkeologi
Hal ini yaitu berkaitan dengan bagaimana suatu data arkeologi terbentuk dan terdeposisikan.
2. Rekonstruksi, identifikasi dan menguraikan tingkah laku manusia.
Hal ini meliputi dimana, kapan dan apa tingkah lakunya berdasarkan tinggalan arkeologis.
3. Penjelasan tingkah laku manusia
Berdasarkan temuan-temuan, dapat diketahui mengapa tingkah laku manusia terjadi.
Karena penelitiannya tidak berdasarkan waktu dan tempat maka dalam Behavioral Archaeology, terdapat 4 strategi yaitu :
1. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data masa lampau.
Misalnya dengan data-data tinggalan masa prasejarah, sejarah dan masa klasik. Berdasarkan data prasejarah, seperti bentuk dan kuantitas alat batu dapat memberikan pengetahuan tentang tingkah laku manusianya. Melalui bukti sejarah (tulisan) bagaimana tingkah laku manusia masa lampau dapat diketahui dsb.
2. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Misalnya dengan data etnoarkeologi dan eksperimental arkeologi. Data etnografi sangat mendukung mengenai hal ini, dengan melihat masyarakat atau suku-suku pedalaman yang masih tertinggal. Data ini sekiranya masih relevan untuk dianalogikan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sedangkan dalam eksperimental arkeologi, seorang arkeolog pendukung Behavioral Archaeology dapat melihat bentuk-bentuk artefak dan membayangkannya bagaimana ia dibuat, teknik pembuatannya seperti apa, selanjutnya dicoba untuk memeragakan cara pembuatannya. Sehingga kira-kira dapat diketahui tingkah laku manusia masa lampau dalam membuat suatu artefak.
3. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa lalu.
Studi ini mengenai bagaimana tingkah laku manusia yang terjadi saat ini dengan melihat ke belakang dalam jangka waktu yang panjang, misalnya masa prasejarah, klasik dll. Adakah kausal yang melatarbelakanginya dan evolusinya hingga masa kini.
4. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Pada titik ini dimana hal ini merupakan yang berbeda dari yang lainnya. Bahwa Behavioral Archaeology mempelajari tingkah laku manusia masa kini dengan melihat artefak-artefak dari masa kini. Misalnya dengan melihat pola-pola susunan rak pada swalayan-swalayan masa kini yang memperlihatkan kecenderungan masyarakat yang menginginkan kepraktisan dalam berbelanja dan sebagainya.

Penggagas utama Behavioral Archaeology yaitu Schiffer. Dalam pandangannya bahwa tinggalan arkeologis yang kita temukan merupakan cerminan dari sistem tingkah laku dimasa lalu yang telah terdistorsi. Para pendukung Behavioral Archaeology memandang bahwa kebudayaan adalah gejala mental dan bahwa kebudayaan tercerminn pada meteri dan tingkah laku yang dihasilkannya.


Argumen Pribadi

Berdasarkan tulisan Binford yang berjudul “Behavioral Archaeology and the ‘Pompeii Premise’”. Saya jadi tahu bahwa terjadi ketidaksepahaman diantara para ahli dalam menentukan paradigma arkeologi. Begitu juga dengan pemahaman tentang premis Pompeii. Premis Pompeii merupakan sebuah anggapan tentang hubungan antara tinggalan arkeologi dengan kehidupan manusia masa lampau yang mana bahwa tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam suatu ekskavasi merupakan cerminan langsung dari kehidupan manusia di masa lampau yang terhenti pada suatu saat di masa silam. Premis inilah yang didalam tulisan Binford sering perdebatkan. Disini dituliskan bahwa ketidaksukaan Binford kepada Schiffer yang menganut paham Behavioral Archaeology. Yang mana Binford merupakan penganut paham Processual Archaeology. Didalam tulisannya Binford itu para ahli arkeologi seharusnya tidak perlu membanding-bandingkan pendapatnya dan bahwa diri merekalah yang paling benar karena hal ini justru akan melemahkan posisi ilmu arkeologi.
Perbedaan aliran ini seharusnya dijadikan sarana untuk saling bahu-membahu meningkatkan kualitas ilmu arkeologi ini dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihannya. Terlebih saya melihat bahwa Binford dalam tulisannya selalu terlihat merendahkan pandangan-pandangan ahli lain selain dirinya. Ada yang menarik dari tulisan Binford saat ia menentang kajian etnoarkeologinya Ascher yaitu bahwa etnografi prasejarah yang biasa dipakai untuk merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu tidak sesuai dengan penelitian arkeologi pada umumnya. Tetapi anehnya dalam Positivisme Arkeologinya bahwa ia menyadari pendekatannya mengalami masalah yang serius sehingga ia menyarankan untuk studi terhadap tradisi/tingkah laku yang masih berlangsung hingga saat ini. Yaitu dengan studi etnoarkeologi, modern material culture dan eksperimental arkeologi.
Menarik melihat siapa-siapa yang menunjuk bahwa “ia” lah yang menemukan premis Pompeii. Sebenarnya menurut saya apa yang disebut dengan premis Pompeii sepertinya jarang terjadi. Karena seluruh tinggalan-tinggalan masa lampau yang terdeposisi pasti akan tertransformasi oleh suatu proses yang disebutkan oleh Schiffer yaitu proses non-budaya. Proses ini yang mengakibatkan tinggalan masa lampau hilang dan rusak bahkan tak berbekas. Karena dalam proses non-budaya terjadi misalnya proses pelapukan, pelarutan, kimia dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang notabene memiliki iklim yang cocok untuk proses-proses diatas.
Pandangan Binford mengenai kaum rekonstruksionis juga salah, kaum rekonstruksionis justru benar bahwa mereka merekonstruksi cara kehidupan masa lampau yang dengan itu akan diketahui proses budayanya. Dan justru metode-metode yang Binford uraikan sangat sulit untuk dicerna dan terlalu memaksakan. Disisi lain Binford kadang tidak konsisten seperti yang disebutkan mengenai studi etnoarkeologi tadi.
Selanjutnya yaitu bahwa Binford secara jelas merendahkan kaum induktifis, saya menilai bahwa arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau berdasarkan benda-benda tinggalannya. Yang mana jika kita meneliti suatu data empiris maka pendekatan kita bersifat induktif. Saya menilai pendekatan yan bersifat induktif masih sangat penting dan berperan dalam perkembangan arkeologi.
Namun saya setuju dengan pendapatnya Binford mengenai artefak, menurut ia bahwa arti artefak dapat ditelusuri berdasarkan fungsinya dimasa lalu dan bukanlah ide-ide si pembuatnya, sebagaimana umumnya penafsiran dalam sisitem klasifikasi kita. Jelas ini merupakan pandangan yang brilian, sesuai dengan pendapat saya. Artefak dibuat oleh pembuatnya pasti memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sebuah artefak dibuat karena ada kepentingan yang bergerak dibelakangnya.
Mengenai pendapat Schiffer tentang cara ia melihat proses-proses transformasi dan proses-proses formasi telah baik. Schiffer melihat bahwa transformasi C yang mempunyai potensi pendistorsian, dan menurut saya memang benar seperti itu. Karena suatu artefak yang telah berpindah-pindah baik spasial maupun fungsional jelas menjadikannya terdistorsi, sehingga sulit untuk menentukannya. Begitu pula tentang pendapat saya bahwa Behavioral Archaeology sepertinya hampir sama dengan arkeologi tradisional seperti memiliki pendekatan yang sama yaitu induktif. Tetapi banyak juga perbedaannya.

1.7.09

HIASAN MACAN ALI SEBAGAI PERLAWANAN KESULTANAN CIREBON TERHADAP MATARAM

Seni merupakan hasil karya manusia yang dibuat berdasarkan kreatifitas. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu (http://id.wikipedia.org). Karya seni sangat sulit untuk dinilai. Biasanya penilaian dilakukan secara subyektif. Karya seni selain merupakan benda seni juga merupakan hasil gagasan manusia untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Kadang kala dapat berupa pesan emosi, situasi serta politik. Karya seni yang seperti itu tidak hanya dipandang sebagai hasil seni saja, namun memiliki simbol terhadap konteks pada masanya. Seperti yang akan dijelaskan dibawah yaitu mengenai gambar macan ali yang terdapat di Kesultanan Cirebon.
Macan ali merupakan gambar atau penggambaran sebuah macan yang di tulis dalam kaligrafi sehingga huruf-huruf kaligrafi tersebut membentuk sebuah bentuk macan. Hal ini terjadi karena Islam tidak membolehkan umatnya untuk menggambar makhluk hidup. Sehingga penggambaran macan ali melalui kaligrafi ini merupakan siasat agar tidak melenceng dari Islam. Penggambaran macan ali di Kesultanan Cirebon terdapat di bendera kesultanan. Pada bendera tersebut terdapat beberapa pola hias dalam bentuk kaligrafi. Kaligrafi merupakan sebuah gagasan dalam dunia Islam untuk berkreasi melalui ayat-ayat Alquran maupun kalimat syahadat. Kreasi tersebut dibentuk dengan penggambaran-penggambaran motif maupun bentuk makhluk hidup. Penggambaran Macan ali merupakan hasil kreasi manusia yang dibuat berdasarkan gagasan dengan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga Macan ali dapat dikatakan sebagai hasil karya seni.
Adapun yang terdapat didalam bendera Kesultanan Cirebon yaitu:
1. Terdapat tulisan “bismillah” dan ayat Alquran untuk menunjukkan kaegungan Allah SWT.
2. Dua bintang yang mengandung 8 sisi, yang melambangkan Muhammad dan Fatimah as.
3. Diantara “bismillah” dan dua bintang terdapat dua gambar, singa kecil dan besar, dan pedang bercabang dua, yang melambangkan pedang Zulfikar milik Imam Ali as.
4. Setelah Zulfikar terlihat singa besar, yaitu Asadullah, alias Singa Tuhan. Didalam bahasa Indonesia, singa Ali itu diterjemahkan dengan “Macan Ali”
5. Di dalam panji, tergambar lambing lima orang manusia suci sebagai sumber petunjuk dan hidayah. Raja-raja IslamJawa sangat meyakini hakikat nur Muhammad sehingga dalam setiap peperangan selalu mengharapkan keberkahan. Karena itu, logo-logo Ahlulnait as selalu tampak dalam setiap bendera raja-raja Cirebon, Jawa Barat (Iqbal, 2006:118).
Kedatangan agama Islam dengan pola-pola baru dan anjuran agar tidak melukiskan segala bentuk manusiawi dan hewani, justru memperkaya imajinasi para seniman zaman dulu. Anjuran ini tidak selalu ditaati, tradisi kuno masih saja dipertahankan dan diperkaya dengan pola yang berciri Timur Tengah, Persia dan India. Sebagai contoh dapat disebut desain Singa Putih, suatu ragam hias yang berkali-kali muncul kembali, yang sebetulnya berasal dari harimau putih, tetapi yang lambat laun berubah menjadi Singa Persia, atau malah Singa Tiongkok. (http://cerbonan.wordpress.com).
Islam di Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau (http://id.wikipedia.org). Kesultanan Cirebon didirikan oleh Pangeran Cakrabuana dan berjaya pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Islam di Cirebon berkembang melalui daerah pesisiran. Perkembangan Islam sangat pesat karena Cirebon juga merupakan daerah pesisiran. Pada saat itu banyak kapal yang datang dari India Islam, Timur Tengah dan Cina Islam di Cirebon sedikit berbeda dengan Islam di Demak dan Mataram. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh budaya Hindu yang cenderung Hindu Sunda. Hal ini dapat terlihat pada lambang keraton yang berupa Harimau Putih (http://moroturu.blogspot.com).. Begitu pula dengan tingkatan Islamnya, di Cirebon laku kejawen tidak banyak dilakukan. Berbeda dengan Demak dan Mataram yang memang pengaruh Hindu Jawa nya sangat kuat sehingga banyak ditemukan laku kejawen.
Islam di Mataram dan Demak
Islam pada kedua kerajaan ini sangat dipengaruhi oleh Hindu Jawa. Hal ini dapat dilihat dari mitos, karya sastra maupun kesenian yang masih menyisakan budaya-budaya hindu. Misalnya pada menara masjid Kudus yang memiliki bentuk seperti candi-candi masa Majapahit. Selain itu juga pada masjid Demak yang beberapa kayunya berasal dari sisa keraton Majapahit. Hal ini juga terkait bahwa raja pertama Kesultanan Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit (susiyanto.wordpress.com). Sedangkan di Mataram, Sultan agung membagi islam kedalam 2 bagian yaitu Islam pesantren dan Islam keraton. Islam pesantren merupakan lingkungan Islam dengan budaya berbahasa Arab sedangkan Islam Keraton merupakan lingkungan budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat pada lingkungan istana kerajaan (Simuh, 2000:1)
Macan ali sebagai simbol perlawanan
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia tidak selamanya berjalan dengan mulus. Kadangkala terjadi perselisihan diantara kerajaan islam tersebut. Selain itu keislaman tidak saja menjadi hal pengikat namun dapat saja menjadi perenggang hubungan antar kerajaan. Hal ini bisa saja terkait karena perbedaann aliran keislaman ataupun pengaruh dari luar seperti perbedaan akulturasi dengan budaya setempat. Peristiwa ini dapat kita lihat pada masa Islam antara Kesultanan Cirebon dengan Mataram dan Demak. Pandangan secara umum hubungan antara kesultanan tersebut berjalan dengan baik. Namun jika dilihat lebih dalam terdapat beberapa hal yang justru bertentangan. Seperti misalnya pengaruh budaya, di Mataram budaya Hindu Jawa sangat mempengaruhi sedangkan di Cirebon sangat dipengaruhi oleh budaya Sunda.
Hal ini dapat kita lihat pada hiasan macan ali. Hiasan ini terletak pada panji atau bendera kesultanan. Bendera merupakan lambang kerajaan yang merupakan manifestasi filosofis suatu kerajaan. Sehingga bendera merupakan identitas suatu kerajaan didalam lingkupnya dengan kerajaan lainnya. Kesultanan Cirebon memiliki hiasan macan ali pada bendera kesultannnya. Hal ini tentunya memiliki tujuan-tujuan tertentu yang mengkomunikasikan simbol tersebut kepada masyarakatnya serta kerajaan lainnya. Namun simbol ini dapat saja dipahami secara berbeda oleh individu yang berbeda.
Hiasan macan ali yang berada pada bendera Kesultanan Cirebon mendapatkan pengaruh dari budaya Hindu Sunda yang seringkali menampilkan gambar Harimau putih dalam hiasan seninya. Kesultanan Cirebon terletak lebih dekat dengan wilayah Sunda daripada dengan wilayah Hindu Jawa. Hiasan Macan ali banyak ditemukan di wilayah yang beraliran syiah yang merupakan salah satu aliran islam yang pastinya merupakan aliran Islam murni yang tidak terpengaruh oleh budaya lokal. Kerajaan Cirebon dan Mataram sering berbenturan mengenai hal perbatasan wilayah serta budaya. Misalnya pada masa Panembahan Ratu, Kesultanan Mataram ingin memasukkan Cirebon kedalam daerah taklukan. Namun karena kekuatan dalam bidang keagamaan, Sultan Mataram menjadi merasa segan. Saat itu wilayah kesultanan Cirebon mencakup Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang (http://cerbonan.wordpress.com).
Dari parameter diatas maka dapat disimpulkan bahwa hiasan macan ali pada panji atau bendera Kesultanan Cirebon memiliki simbol sebagai perlawanan Kesultanan Cirebon terhadap Mataram. Perlawanan tersebut dinilai dari dua segi yaitu budaya dan agama. Dari segi budaya, Kesultanan Cirebon tidak terikat oleh budaya jawa namun lebih terkait oleh budaya Sunda, hal ini dapat dilihat oleh penggambaran harimau yang seing ditemukan pada seni budaya Sunda. Budaya jawa seringkali lebih banyak menggambarkan burung dalam seni hiasnya. Yang kedua yaitu dari segi agama, Kesultanan Cirebon memiliki keislaman yang lebih murni daripada Mataram, hal ini dilihat dari penggambaran macan ali yang merupakan menifestasi semangat khalifah Ali as dalam peperangan. Semangat ini menjiwai keislaman mereka untuk lebih murni menjalankan islam. Selain itu karena pengaruh Timur Tengah yang sangat kuat pada daerah pesisir. Budaya agama sunda wiwitan tidak masuk hingga ke sendi-sendi keislaman namun hanya pada seni hias saja. Sedangkan pada Mataram, budaya Islam kejawen sangat popular.


Sumber:
Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia Terhadap kebudayaan Indonesia. Jakarta: Citra.
Simuh. 2000. Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa. Makalah Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa.
http://id.wikipedia.org, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Seni”, “Kesultanan Cirebon”.
http://cerbonan.wordpress.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Menyelami Kesenian Cirebon”.
http://moroturu.blogspot.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Perkembangan Kebudayaan islam di Cirebon”.
http://susiyanto.wordpress.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Kesultanan Demak , Pasca keruntuhan Majapahit”.

GENDER PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA

Gender ialah konstruksi sosial yang diciptakan oleh masyarakat untuk membandingkan suatu pekerjaan atau fenomena berdasarkan kelamin. Sehingga seringkali suatu pekerjaan atau fenomena tertentu didominasi oleh jenis kelamin tertentu. Padahal semestinya hal tersebut tidak terjadi karena setiap manusia memiliki hak yang sama atas suatu peran. Menurut Freeman (1970) yang saya kutip dari R. Cecep Eka Permana (2005:5) bahwa kondisi biologis sepanjang masa sebenarnya tetap sama yaitu terdiri atas pria dan wanita. Perbedaan biologis itu menjadi bermakna politis, ekonomis dan sosial manakala tatanan kultural dalam masyarakat mengenal pembagian kerja secara hirarkis antara pria dan wanita.
Pembagian tersebut kadangkala menjadikan wanita sebagai subordinasi pria. Hal ini dikarenakan stereotip wanita sebagai makhluk yang lemah, lembut dan sabar lebih cocok berada pada wilayah-wilayah domestik. Sedangkan laki-laki seringkali menguasai wilayah-wilayah yang agak kasar seperti wilayah publik. Pola-pola semacam ini banyak ditemukan pada budaya-budaya di Indonesia. Bahkan penafsiran terhadap kehidupan pada masa Paleolitik pun masih menggunakan pemahaman seperti itu.
Kampung Naga berada di Jawa Barat, terletak diantara kota Garut dan Tasikmalaya. Konon pada masa Kerajaan galunggung di abad 15-16, lembah Kampung Naga adalah tempat persembunyian Singaparana yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Naga (Padma, 2001:6). Keunikan Kampung Naga ialah masyarakatnya masih memegang konsep-konsep warisan leluhur mereka. Konsep warisan ini terwujud pada kehidupan bermukim berdasarkan aturan tertentu sehingga terbentuk pola-pola pada perkampungannya yang sarat dengan makna.
Kehidupan masyarakat Kampung Naga sangat sederhana. Dalam kehidupannya mereka memanfaatkan segala sumber daya alam. Dalam hal pengelolaan lingkungan, masyarakat ini telah memiliki kesadaran secara turun temurun. Seperti misalnya pembagian daerah bersih dan daerah kotor. Jika dilihat pola permukimannya seluruh bangunan di Kampung Naga ini memiliki arah hadap utara-selatan. Pemukiman dikelilingi pagar yang terbuat dari anyaman bambu rangkap dua dan menjadi batas tegas antara daerah permukiman dengan non permukiman. Batas fisik yang serupa juga ditemui pada daerah makam leluhur, Bumi Ageung, dan lahan bekas langgar (Padma, 2001:11).
Aktifitas yang terkait dengan ibadat pada masyarakat Kampung Naga ialah ritus Hajat Sasih. Yaitu upacara adat untuk menghormati dan meminta berkah leluhur sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan (Padma, 2001:12). Ritus tersebut berkaitan antara budaya leluhur dengan budaya Islam sehingga akulturasi budaya tercipta pada kegiatan ini. Selain ristus tersebut ada juga peringatan tahapan perjalanan kehidupan manusia seperti khitanan, perkawinan, kematian dll.
Kondisi topografi wilayah Kampung Naga cenderung curam. Sehingga terjadi rawan longsor. Namun hal ini dapat di antisipasi oleh masyarakatnya dengan membuat sengkedan yang terbuat dari batu kali yang diambil dari sungai Ciwulan. Teknologi sederhana warisan leluhur berupa sengked batu tersebut menjadi cara untuk menjawab kondisi tersebut. Sistem sengkedan merupakan sistem yang cocok untuk tanah yang curam.
Wilayah Laki-laki dan Wilayah Perempuan
Rumah merupakan tempat yang paling vital bagi kelangsungsn hidup manusia. Kegiatan sehari-hari mulai dari fajar hingga malam banyak dilakukan di rumah. Rumah dalam masyarakat Kampung Naga mamiliki makna yang berharga dan menuntut perlakuan hati-hati. Misalnya jika mendirikan rumah harus dengan ritus-ritus tertentu. Serta aturan-aturan pembuatan rumah yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Di dalam rumah pula dapat kita lihat dominasi atas ruang. Kegiatan-kegiatan tertentu tanpa disadari akan membentuk pola-pola yang statis dimana kegiatan tersebut berlangsung secara terus menerus pada suatu ruang. Dan keberlangsungan kegiatan tersebut biasanya dilakukan oleh jenis kelamin yang itu-itu saja. Hal inilah yang membentuk sebuah konstruksi pemikiran mengenai gender.
Pada masyarakat Kampung Naga kesehariannya para pria sering menghabiskan waktunya di sawah. Para ibu melakukan berbagai aktifitas seperti mencuci, menanak nasi dan menyiapkan lauk pauk untuk makan siang dan juga menyiapkan dan mengantar makanan ke sawah tempat para pria bekerja. Memasak khususnya menanak nasi, berhubungan erat dengan ritual wanita karena diasosiasikan dengan Dewi Sri. Menurut kepercayaan mereka, Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati adalah pengayom tanaman padi. Nyi Pohaci dalam masyarakat Baduy dinamakan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Permana, 2005:68). Penghormatan kepada Dewi Sri dapat terlihat dalam perletakan goah yang dianggap sebagai ruang utama sebuah rumah. Selain itu di Kampung Naga juga terdapat bangunan khusus wanita yaitu saung lisung. Saung lisung merupakan tempat para wanita menumbuk padi dan bersosialisasi. Aktifitas ini erring dilakukan di sela-sela kagiatan ritun mereka dirumah.
Di masyarakat Kampung Naga terdapat pembedaan ruang. pembedaan ruang ini ditentukan oleh nilai yang berlaku termasuk perbedaan peran penghuni yang secara tradisional dibedakan menurut gender, antara ibu (perempuan) dan laki-laki (ayah). Area depan seperti tepas bawah (teras) dan tepas atas (ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) wilayah perempuan. Ruang-ruang umum seperti ruang-tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluarga (www.mail-archive.com). Meskipun terjdi perubahan pada bentuk bangunan, kondisi pembagian ruang ini masih tampak, pada masyarakat Sunda ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ke ruang tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan dapur, kamar tidur orangtua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-anak dapat terawasi orangtua.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa peran pria dan wanita di Kampung Naga telah dibagi. Kaum pria lebih banyak melakukan kegiatan di luar seperti di sawah sedangkan kaum wanita lebih sering berada di ranah domestik seperti di dapur. Dalam tataran keruangan rumah tinggal, terdapat pembagian ruang antara ruang pria, wanita serta ruang netral. Di dalam masyarakat pun terdapat bangunan yang khusus digunakan untuk kaum wanita. Namun secara keseluruhan tidak ada dominasi diantara keduanya. Jika disimpulkan maka kesetaraan gender pada Kampung Naga ini kemungkinan berada pada tingkat non eqaliter rendah.



Tata ruang Imah Naga




Digambar oleh Ramanda Primawan berdasarkan sumber buku “Kampung Naga”

Daftar Pustaka
Permana, R. Cecep Eka. 2005. Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagad Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Padma, Adry (et al.). 2001. Kampung Naga: Permukiman Warisan Karuhun. Bandung: Architecture & Communication.
http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg37864.html, diakses 12 desember 2008 dengan judul “Artikel Imah Sunda Tea”.

Etika Peneliti Australia Dalam Publikasi Homo Floresiensis

Makalah ini ditulis sebagai reaksi terhadap artikel yang pernah saya baca di website Koran Kompas yang judulnya yaitu “Memburu Spesies Manusia Purba di Liang Bua”. Bagian yang paling saya soroti adalah mengenai publikasi penemuan manusia purba tersebut. Dari artikel Kompas tanggal 30 Oktober 2004 tersebut tertulis:
“Setelah melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua! "Sebetulnya penelitian ini belum sepenuhnya usai. Kok, tiba- tiba saja hasilnya sudah diumumkan oleh pihak Australia. Apalagi ketika itu diumumkan tanpa didampingi oleh satu pun peneliti dari Indonesia. Saya tak tahu di mana etika penelitian dan etika kerja sama yang selama ini diagung-agungkan di dunia keilmuan," ujar Soejono.
Berdasarkan kutipan artikel tersebut dapat disarikan bahwa peneliti Australia telah melanggar etika penelitian, dalam hal ini yaitu publikasi penelitian. Berdasarkan artikel tersebut namun pada paragraf lainnya tertulis kegiatan penelitian itu adalah kerjasama antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Puslitarkenas dengan pihak Australia yang dipimpin oleh Mike Morwood. Berdasarkan kode etik profesi, untuk mempublikasikannya harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Pendapat dilontarkan Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia Ingrid HE Pojoh. "Saya tidak tahu bagaimana perjanjian di antara kedua belah pihak sehingga Australia dapat mengumumkan tanpa didampingi peneliti Indonesia. Kalau itu kerja sama, setiap langkah seharusnya dengan sepengetahuan kedua belah pihak serta dilakukan bersama," katanya Selain itu pula arkeolog Edi Sedyawati mengatakan, dalam setiap kerja sama, kedudukan kedua pihak harus sejajar mulai dari perencanaan hingga publikasi. "Ini harus dimengerti oleh para pejabat terkait dan peneliti karena pihak luar negeri pasti akan mencari celah-celah. Oleh karena itu, perlu kekompakan para peneliti," katanya (Kompas, 3 November 2004).
Sebelumnya kembali kepada pembahasan etika profesi. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos. Istilah etika dimaknai sebagai kebiasaan atau peraturan perilaku dalam masyarakat. Dalam filsafat sendiri, etika adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian Bagi ilmu pengetahuan, tanggung jawab itu meliputi dua hal yaitu tanggungjawab ilmiah dan tanggungjawab moral (Suhartono, 2004:165). Tanggung jawab ilmiah intelektual adalah tanggung jawab terhadap pendekatan, metode dan cara-cara untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan tanggungjawab moral adalah sejauh mana ilmu itu dapat dipublikasikan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, dalam hal ini juga terhadap sesama peneliti.
Dari pemaparan diatas kita ketahui bahwa peneliti-peneliti Australia entah seluruhnya atau hanya pemimpinnya dengan jelas memiliki etika yang sangat rendah. Perilaku profesi kurang dijunjung tinggi terlebih pada perilaku intelektual. Karena apa yang mereka capai untuk penguasaan bidang ilmu dan mencapai hal yang baru sejujurnya tidak didapat oleh mereka sendiri melainkan dibantu oleh rekan dari Indonesia. Selain itu juga termasuk kedalam rendahnya perilaku professional yang mana rasa kebersamaan dengan sejawat yang bersama meneliti namun tidak diakui, padahal mereka sesama arkeolog. Tidak ada lagi tanggungjawab moral yang dimiliki, yang hal itu berakar dari egoisme sekumpulan orang untuk mencapai ketenaran. Hal ini bisa saja sama seperti perilaku Binford yang mengagung-agungkan Procesessual Archaeology dan memandang remeh gagasan lainnya sehingga bisa dikatakan sebagai fanatisme keilmuan.
Sebenarnya hal itu tidak akan terjadi jika keduanya telah saling memahami tujuan penelitian tersebut serta tanggungjawab masing-masing. Arkeolog dari Indonesia harus memahami profesi yang ia geluti yaitu Arkeologi Indonesia agar posisi tawar peneliti tidak dipandang remeh oleh para peneliti Australia. Selain itu komitmen dan motivasi dalam penelitian sangat dibutuhkan untuk mengimbangi luasnya pengetahuan yang biasa dimiliki oleh peneliti asing. Jika keduanya saling memahami etika profesi maka hubungan keduanya baik interpersonal maupun komunal akan berjalan baik yang bermuara pada tegaknya ilmu arkeologi di Indonesia. Dan intinya bahwa hubungan antar peneliti harus berjalan baik untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga meningkatkan rasa tanggungjawab dan perilaku profesi. Dan untuk Arkeolog Indonesia tingkatkan etika profesi agar kita tidak dilecehkan oleh peneliti asing.

Referensi
Suhartono, S. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
http://bondanriset.blogspot.com/2006/10/prinsip-prinsip-etika-penelitian.html (visited on 18 Juni 2008)
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0410/30/humaniora/1355051.htm (visited on 10 Juni 2008)
http://www.kompas.com (visited on 2 Juni 2008)

SIMBOLISASI ROTI BUAYA PADA PERNIKAHAN ADAT BETAWI DI KAMPUNG DUKUH KOTA TANGERANG

Jakarta merupakan wilayah ibukota yang memiliki penduduk terpadat se-Indonesia. Wilayahnya dihuni oleh berbagai jenis suku bangsa yang mewakili berbagai budaya di Indonesia. Salah satu budaya yang melekat dengan kota Jakarta ialah Betawi. Sebutan “Betawi” merupakan kata lain dari nama “Batavia” yang dulunya merupakan nama kota Jakarta. Budaya Betawi merupakan asimilasi dari berbagai budaya yang pernah singgah di masa pembentukan kota Jakarta. Mulai dari budaya Sunda, Jawa, Bali, Cina, Arab, serta Portugis.
Orang Betawi sebagai penduduk pribumi sangat tertekan selama hidupnya pada masa Kolonial. Terutama oleh penguasa Belanda dan tuan-tuan tanah. Orang Betawi terus menerus mendapat tekanan dari orang asing, bahkan banyak harta dan tanahnya yang dirampas dengan sewenang-wenang oleh para penguasa bangsa asing itu, mereka terpaksa menyingkir ke daerah pinggiran (Budiaman,1979:17).
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta (Wikipedia).
Kampung Dukuh terletak di Kelurahan Sudimara Selatan, Kecamatan Ciledug, Kotamadya Tangerang. Kampung ini terletak di sebelah barat DKI Jakarta. Pada mulanya daerah Ciledug merupakan wilayah persawahan yang kemudian hari disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta, maka daerah Ciledug menjadi padat penduduk. Begitu pula Kampung Dukuh yang dulunya merupakan rawa dan hutan saat ini menjadi padat penduduk. Penduduk asli Kampung Dukuh adalah orang Betawi yang menyingkir dari wilayah Jakarta. Yang pertama yaitu orang-orang yang menyingkir dari Jakarta pada masa Kolonial. Yang kedua yaitu orang-orang yang rumahnya terkena gusur oleh pembangunan kota Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin.
Saat ini Kampung Dukuh telah dihuni oleh berbagai etnis seperti Betawi, Batak, Jawa dan Sunda. Namun mayoritas masih merupakan etnis Betawi. Pola pemukiman warga Betawi disini cenderung mengelompok. Biasanya satu kelompok terdiri dari beberapa keluarga inti yang memiliki kekerabatan hingga taraf kakek. Sedangkan etnis lainnya seperti Jawa, Sunda dan Batak pemukimannya cenderung menyebar. Kepemilikan tanah di Kampung Dukuh didominasi oleh etnis Betawi. Tanah tersebut biasanya digunakan sebagai warisan untuk anak-anak mereka. Berdasarkan sebutannya, orang-orang betawi disini merupakan jenis “Betawi Ora”. Yaitu orang Betawi yang terdesak ke daerah pinggiran karena tidak mampu bertahan di Jakarta.
Roti buaya merupakan hantaran wajib pernikahan Betawi. Bentuknya yaitu roti yang menyerupai buaya, kadang memiliki ukuran yang sama dengan buaya aslinya. Biasanya terdiri dari dua roti yaitu roti buaya jantan dan betina. Untuk roti betina biasanya diatasnya terdapat buaya kecil, dimaksudkan itu adalah anaknya. Harga roti buaya berkisar 200-500 ribu rupiah per satu buah (http://ghiaarya.multiply.com). Harga yang lumayan mahal bagi warga betawi Kampung Dukuh yang tergolong sederhana. Yang menyerahkan roti buaya pada saat pernikahan ialah keluarga pengantin laki-laki. Roti ini dibawa saat pengantin laki-laki mulai datang ke rumah pengantin perempuan. Selanjutnya diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan.
Contoh kasus yang saya gunakan adalah pada pernikahan antara Yudi Mahmud dengan Juraiha. Keduanya mewakili keluarga betawi yang berada di Kampung Dukuh. Yudi Mahmud merupakan anak dari Mahmud Bakri, Pria asal Tegal yang menikah dengan wanita Betawi dan tersingkir dari Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin. Sedangkan Juraiha merupakan anak dari alm. H. Arif, yaitu orang Betawi asli warga Kampung Dukuh. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga Mahmud Bakri menggunakan adat budaya Betawi. Namun terkadang masih terdapat unsur-unsur Jawa dalam percakapan. Sedangkan keluarga alm. H. Arif masih memegang erat adat budaya Betawi.
Menurut Kartini Kartono(dalam Muridan, 2007:1):
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang secara formal mempertemukan sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri di hadapan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara-upacara atau ritus-ritus tertentu. Oleh karena itu, perkawinan menjadi sebuah perlambang yang sejak dulu dibatasi atau dijaga oleh berbagai ketentuan adat dan dibentengi oleh kekuatan hukum adat maupun kekuatan hukum agama.
Sehingga pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan penting dalam daur hidup manusia. Dan seringkali merupakan penyatu antara dua adat yang berbeda. Ketika dua adat bersatu dalam perkawinan harus ada yang menjadi minoritas dalam upacara perkawinan tersebut. Sehingga salah satu adat harus mengalah. Pernikahan kedua mempelai tersebut menggunakan adat betawi seperti saat pengantin laki-laki datang disambut petasan. Lalu syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Alquran (http://www.weddingku.com). Namun pada pernikahan tersebut hanya terdapat balas pantun, tembang dan baca Alquran.
Dalam budaya betawi terdapat hantaran-hantaran yang harus dibawa oleh pengantin pria yaitu sirih, pala, kekudang, mas kawin, pesalinan dan petisie. Satu hal lagi yang penting ialah roti buaya. Biasanya masyarakat betawi hanya cukup membawa ke 6 hantaran saja tanpa roti buaya. Roti buaya digunakan oleh orang betawi yang memiliki uang serta memegang adat yang kuat.
ANALISIS
Keluarga Mahmud Bakri merupakan warga betawi pendatang. Mereka menempati daerah Kampung Dukuh mulai sekitar tahun 60-an disaat pembangunan kota Jakarta meningkat. Karena terdesak maka mereka pindah ke daerah pinggiran yaitu Kampung Dukuh. Kondisi ekonomi keluarga ini sangat berkecukupan, dapat dikatakan lebih mapan dari masyarakat sekitarnya. Namun dalam interaksi dalam masyarakat, mereka tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena di Kampung Dukuh, mereka yang dihormati dan memiliki pengaruh besar ialah warga betawi asli yang telah lama tinggal. Seperti misalnya keluarga Alm. H . Arif, keluarga besarnya menempati sebuah wilayah di sudut kampung yang mana wilayah tersebut lumayan luas dan ditempati oleh anak-anak dan sanak saudaranya. Keluarga beliau sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Untuk memperkuat status sebagai warga betawi asli dalam salah satu perkawinan anaknya digunakanlah pernikahan adat betawi. Hal ini disadari juga karena keluarga mempelai wanita merupakan keluarga betawi asli yang memiliki kedudukan informal yang besar di masyarakat. Yang disoroti dalam pernikahan ini adalah seserahan berupa roti buaya. Pada pernikahan tersebut, pihak keluarga Mahmud Bakri menyerahkan beberapa hantaran disertai dengan roti buaya. Roti buaya memiliki peran yang penting dalam pernikahan adat Betawi, selain memiliki makna yang sakral dalam pernikahan. Ternyata roti buaya dapat juga menjadi penanda yang khas bagi pihak laki-laki. Biasanya warga betawi Kampung Dukuh cukup hanya dengan membawa beberapa hantaran saja tanpa roti buaya. Sedangkan saat pernikahan mereka, keluarga laki-laki membawa roti buaya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa mereka ingin mendapat nilai lebih dari pernikahan tersebut. Mereka menyanggupi seluruh syarat adat pernikahan betawi. Yang terutama adanya unsur roti buaya. Karena roti buaya menjadi stereotip penanda betawi. Keluarga Mahmud Bakri yang bukan orang Betawi asli mencoba untuk mengangkat derajat untuk diakui sebagai warga betawi asli dengan menggunakan roti buaya sebagai simbol tersebut.

Sumber
Budiaman. 1979. Folklor Betawi.Pustaka Jaya. Jakarta
Muridan. 2007. Islam dan Budaya Lokal, Kajian Makna Simbol dalam Perkawinan Adar Keraton. Jurnal Studi Islam dan Budaya. P3M STAIN Purwokerto.
http://ghiaarya.multiply.com/journal/item/17/17 diakses 28 Desember 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi http://www.weddingku.com, diakses 28 Desember 2008.