1.7.09

SIMBOLISASI ROTI BUAYA PADA PERNIKAHAN ADAT BETAWI DI KAMPUNG DUKUH KOTA TANGERANG

Jakarta merupakan wilayah ibukota yang memiliki penduduk terpadat se-Indonesia. Wilayahnya dihuni oleh berbagai jenis suku bangsa yang mewakili berbagai budaya di Indonesia. Salah satu budaya yang melekat dengan kota Jakarta ialah Betawi. Sebutan “Betawi” merupakan kata lain dari nama “Batavia” yang dulunya merupakan nama kota Jakarta. Budaya Betawi merupakan asimilasi dari berbagai budaya yang pernah singgah di masa pembentukan kota Jakarta. Mulai dari budaya Sunda, Jawa, Bali, Cina, Arab, serta Portugis.
Orang Betawi sebagai penduduk pribumi sangat tertekan selama hidupnya pada masa Kolonial. Terutama oleh penguasa Belanda dan tuan-tuan tanah. Orang Betawi terus menerus mendapat tekanan dari orang asing, bahkan banyak harta dan tanahnya yang dirampas dengan sewenang-wenang oleh para penguasa bangsa asing itu, mereka terpaksa menyingkir ke daerah pinggiran (Budiaman,1979:17).
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta (Wikipedia).
Kampung Dukuh terletak di Kelurahan Sudimara Selatan, Kecamatan Ciledug, Kotamadya Tangerang. Kampung ini terletak di sebelah barat DKI Jakarta. Pada mulanya daerah Ciledug merupakan wilayah persawahan yang kemudian hari disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta, maka daerah Ciledug menjadi padat penduduk. Begitu pula Kampung Dukuh yang dulunya merupakan rawa dan hutan saat ini menjadi padat penduduk. Penduduk asli Kampung Dukuh adalah orang Betawi yang menyingkir dari wilayah Jakarta. Yang pertama yaitu orang-orang yang menyingkir dari Jakarta pada masa Kolonial. Yang kedua yaitu orang-orang yang rumahnya terkena gusur oleh pembangunan kota Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin.
Saat ini Kampung Dukuh telah dihuni oleh berbagai etnis seperti Betawi, Batak, Jawa dan Sunda. Namun mayoritas masih merupakan etnis Betawi. Pola pemukiman warga Betawi disini cenderung mengelompok. Biasanya satu kelompok terdiri dari beberapa keluarga inti yang memiliki kekerabatan hingga taraf kakek. Sedangkan etnis lainnya seperti Jawa, Sunda dan Batak pemukimannya cenderung menyebar. Kepemilikan tanah di Kampung Dukuh didominasi oleh etnis Betawi. Tanah tersebut biasanya digunakan sebagai warisan untuk anak-anak mereka. Berdasarkan sebutannya, orang-orang betawi disini merupakan jenis “Betawi Ora”. Yaitu orang Betawi yang terdesak ke daerah pinggiran karena tidak mampu bertahan di Jakarta.
Roti buaya merupakan hantaran wajib pernikahan Betawi. Bentuknya yaitu roti yang menyerupai buaya, kadang memiliki ukuran yang sama dengan buaya aslinya. Biasanya terdiri dari dua roti yaitu roti buaya jantan dan betina. Untuk roti betina biasanya diatasnya terdapat buaya kecil, dimaksudkan itu adalah anaknya. Harga roti buaya berkisar 200-500 ribu rupiah per satu buah (http://ghiaarya.multiply.com). Harga yang lumayan mahal bagi warga betawi Kampung Dukuh yang tergolong sederhana. Yang menyerahkan roti buaya pada saat pernikahan ialah keluarga pengantin laki-laki. Roti ini dibawa saat pengantin laki-laki mulai datang ke rumah pengantin perempuan. Selanjutnya diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan.
Contoh kasus yang saya gunakan adalah pada pernikahan antara Yudi Mahmud dengan Juraiha. Keduanya mewakili keluarga betawi yang berada di Kampung Dukuh. Yudi Mahmud merupakan anak dari Mahmud Bakri, Pria asal Tegal yang menikah dengan wanita Betawi dan tersingkir dari Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin. Sedangkan Juraiha merupakan anak dari alm. H. Arif, yaitu orang Betawi asli warga Kampung Dukuh. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga Mahmud Bakri menggunakan adat budaya Betawi. Namun terkadang masih terdapat unsur-unsur Jawa dalam percakapan. Sedangkan keluarga alm. H. Arif masih memegang erat adat budaya Betawi.
Menurut Kartini Kartono(dalam Muridan, 2007:1):
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang secara formal mempertemukan sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri di hadapan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara-upacara atau ritus-ritus tertentu. Oleh karena itu, perkawinan menjadi sebuah perlambang yang sejak dulu dibatasi atau dijaga oleh berbagai ketentuan adat dan dibentengi oleh kekuatan hukum adat maupun kekuatan hukum agama.
Sehingga pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan penting dalam daur hidup manusia. Dan seringkali merupakan penyatu antara dua adat yang berbeda. Ketika dua adat bersatu dalam perkawinan harus ada yang menjadi minoritas dalam upacara perkawinan tersebut. Sehingga salah satu adat harus mengalah. Pernikahan kedua mempelai tersebut menggunakan adat betawi seperti saat pengantin laki-laki datang disambut petasan. Lalu syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Alquran (http://www.weddingku.com). Namun pada pernikahan tersebut hanya terdapat balas pantun, tembang dan baca Alquran.
Dalam budaya betawi terdapat hantaran-hantaran yang harus dibawa oleh pengantin pria yaitu sirih, pala, kekudang, mas kawin, pesalinan dan petisie. Satu hal lagi yang penting ialah roti buaya. Biasanya masyarakat betawi hanya cukup membawa ke 6 hantaran saja tanpa roti buaya. Roti buaya digunakan oleh orang betawi yang memiliki uang serta memegang adat yang kuat.
ANALISIS
Keluarga Mahmud Bakri merupakan warga betawi pendatang. Mereka menempati daerah Kampung Dukuh mulai sekitar tahun 60-an disaat pembangunan kota Jakarta meningkat. Karena terdesak maka mereka pindah ke daerah pinggiran yaitu Kampung Dukuh. Kondisi ekonomi keluarga ini sangat berkecukupan, dapat dikatakan lebih mapan dari masyarakat sekitarnya. Namun dalam interaksi dalam masyarakat, mereka tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena di Kampung Dukuh, mereka yang dihormati dan memiliki pengaruh besar ialah warga betawi asli yang telah lama tinggal. Seperti misalnya keluarga Alm. H . Arif, keluarga besarnya menempati sebuah wilayah di sudut kampung yang mana wilayah tersebut lumayan luas dan ditempati oleh anak-anak dan sanak saudaranya. Keluarga beliau sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Untuk memperkuat status sebagai warga betawi asli dalam salah satu perkawinan anaknya digunakanlah pernikahan adat betawi. Hal ini disadari juga karena keluarga mempelai wanita merupakan keluarga betawi asli yang memiliki kedudukan informal yang besar di masyarakat. Yang disoroti dalam pernikahan ini adalah seserahan berupa roti buaya. Pada pernikahan tersebut, pihak keluarga Mahmud Bakri menyerahkan beberapa hantaran disertai dengan roti buaya. Roti buaya memiliki peran yang penting dalam pernikahan adat Betawi, selain memiliki makna yang sakral dalam pernikahan. Ternyata roti buaya dapat juga menjadi penanda yang khas bagi pihak laki-laki. Biasanya warga betawi Kampung Dukuh cukup hanya dengan membawa beberapa hantaran saja tanpa roti buaya. Sedangkan saat pernikahan mereka, keluarga laki-laki membawa roti buaya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa mereka ingin mendapat nilai lebih dari pernikahan tersebut. Mereka menyanggupi seluruh syarat adat pernikahan betawi. Yang terutama adanya unsur roti buaya. Karena roti buaya menjadi stereotip penanda betawi. Keluarga Mahmud Bakri yang bukan orang Betawi asli mencoba untuk mengangkat derajat untuk diakui sebagai warga betawi asli dengan menggunakan roti buaya sebagai simbol tersebut.

Sumber
Budiaman. 1979. Folklor Betawi.Pustaka Jaya. Jakarta
Muridan. 2007. Islam dan Budaya Lokal, Kajian Makna Simbol dalam Perkawinan Adar Keraton. Jurnal Studi Islam dan Budaya. P3M STAIN Purwokerto.
http://ghiaarya.multiply.com/journal/item/17/17 diakses 28 Desember 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi http://www.weddingku.com, diakses 28 Desember 2008.

2 comments: