16.7.09

BEHAVIORAL ARCHAEOLOGY antara Schiffer dan Binford

Behavioral Archaeology mulai berkembang pada awal tahun 1970-an dengan Schiffer sebagai penggagasnya. Behavioral Archaeology timbul karena definisi tentang kebudayaan sudah terlalu banyak sehingga melahirkan beberapa perspektif sehingga menjadikannya tidak konsisten. Maka dari itu muncullah Behavioral Archaology. Menurut Behavioral Archaeology, arkeologi didefinisikan sebagai studi objek material yang tanpa melihat waktu dan spasial untuk menguraikan dan menjelaskan tingkah laku manusia. Dan benda arkeologis adalah merupakan produk dari manusia. Sehingga dari tinggalan-tinggalan itu dapat diketahui tingkah laku manusianya.Wilayah riset Behavioral Archaeology meliputi :
1. Formasi dari data arkeologi
Hal ini yaitu berkaitan dengan bagaimana suatu data arkeologi terbentuk dan terdeposisikan.
2. Rekonstruksi, identifikasi dan menguraikan tingkah laku manusia.
Hal ini meliputi dimana, kapan dan apa tingkah lakunya berdasarkan tinggalan arkeologis.
3. Penjelasan tingkah laku manusia
Berdasarkan temuan-temuan, dapat diketahui mengapa tingkah laku manusia terjadi.
Karena penelitiannya tidak berdasarkan waktu dan tempat maka dalam Behavioral Archaeology, terdapat 4 strategi yaitu :
1. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data masa lampau.
Misalnya dengan data-data tinggalan masa prasejarah, sejarah dan masa klasik. Berdasarkan data prasejarah, seperti bentuk dan kuantitas alat batu dapat memberikan pengetahuan tentang tingkah laku manusianya. Melalui bukti sejarah (tulisan) bagaimana tingkah laku manusia masa lampau dapat diketahui dsb.
2. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Misalnya dengan data etnoarkeologi dan eksperimental arkeologi. Data etnografi sangat mendukung mengenai hal ini, dengan melihat masyarakat atau suku-suku pedalaman yang masih tertinggal. Data ini sekiranya masih relevan untuk dianalogikan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sedangkan dalam eksperimental arkeologi, seorang arkeolog pendukung Behavioral Archaeology dapat melihat bentuk-bentuk artefak dan membayangkannya bagaimana ia dibuat, teknik pembuatannya seperti apa, selanjutnya dicoba untuk memeragakan cara pembuatannya. Sehingga kira-kira dapat diketahui tingkah laku manusia masa lampau dalam membuat suatu artefak.
3. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa lalu.
Studi ini mengenai bagaimana tingkah laku manusia yang terjadi saat ini dengan melihat ke belakang dalam jangka waktu yang panjang, misalnya masa prasejarah, klasik dll. Adakah kausal yang melatarbelakanginya dan evolusinya hingga masa kini.
4. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Pada titik ini dimana hal ini merupakan yang berbeda dari yang lainnya. Bahwa Behavioral Archaeology mempelajari tingkah laku manusia masa kini dengan melihat artefak-artefak dari masa kini. Misalnya dengan melihat pola-pola susunan rak pada swalayan-swalayan masa kini yang memperlihatkan kecenderungan masyarakat yang menginginkan kepraktisan dalam berbelanja dan sebagainya.

Penggagas utama Behavioral Archaeology yaitu Schiffer. Dalam pandangannya bahwa tinggalan arkeologis yang kita temukan merupakan cerminan dari sistem tingkah laku dimasa lalu yang telah terdistorsi. Para pendukung Behavioral Archaeology memandang bahwa kebudayaan adalah gejala mental dan bahwa kebudayaan tercerminn pada meteri dan tingkah laku yang dihasilkannya.


Argumen Pribadi

Berdasarkan tulisan Binford yang berjudul “Behavioral Archaeology and the ‘Pompeii Premise’”. Saya jadi tahu bahwa terjadi ketidaksepahaman diantara para ahli dalam menentukan paradigma arkeologi. Begitu juga dengan pemahaman tentang premis Pompeii. Premis Pompeii merupakan sebuah anggapan tentang hubungan antara tinggalan arkeologi dengan kehidupan manusia masa lampau yang mana bahwa tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam suatu ekskavasi merupakan cerminan langsung dari kehidupan manusia di masa lampau yang terhenti pada suatu saat di masa silam. Premis inilah yang didalam tulisan Binford sering perdebatkan. Disini dituliskan bahwa ketidaksukaan Binford kepada Schiffer yang menganut paham Behavioral Archaeology. Yang mana Binford merupakan penganut paham Processual Archaeology. Didalam tulisannya Binford itu para ahli arkeologi seharusnya tidak perlu membanding-bandingkan pendapatnya dan bahwa diri merekalah yang paling benar karena hal ini justru akan melemahkan posisi ilmu arkeologi.
Perbedaan aliran ini seharusnya dijadikan sarana untuk saling bahu-membahu meningkatkan kualitas ilmu arkeologi ini dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihannya. Terlebih saya melihat bahwa Binford dalam tulisannya selalu terlihat merendahkan pandangan-pandangan ahli lain selain dirinya. Ada yang menarik dari tulisan Binford saat ia menentang kajian etnoarkeologinya Ascher yaitu bahwa etnografi prasejarah yang biasa dipakai untuk merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu tidak sesuai dengan penelitian arkeologi pada umumnya. Tetapi anehnya dalam Positivisme Arkeologinya bahwa ia menyadari pendekatannya mengalami masalah yang serius sehingga ia menyarankan untuk studi terhadap tradisi/tingkah laku yang masih berlangsung hingga saat ini. Yaitu dengan studi etnoarkeologi, modern material culture dan eksperimental arkeologi.
Menarik melihat siapa-siapa yang menunjuk bahwa “ia” lah yang menemukan premis Pompeii. Sebenarnya menurut saya apa yang disebut dengan premis Pompeii sepertinya jarang terjadi. Karena seluruh tinggalan-tinggalan masa lampau yang terdeposisi pasti akan tertransformasi oleh suatu proses yang disebutkan oleh Schiffer yaitu proses non-budaya. Proses ini yang mengakibatkan tinggalan masa lampau hilang dan rusak bahkan tak berbekas. Karena dalam proses non-budaya terjadi misalnya proses pelapukan, pelarutan, kimia dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang notabene memiliki iklim yang cocok untuk proses-proses diatas.
Pandangan Binford mengenai kaum rekonstruksionis juga salah, kaum rekonstruksionis justru benar bahwa mereka merekonstruksi cara kehidupan masa lampau yang dengan itu akan diketahui proses budayanya. Dan justru metode-metode yang Binford uraikan sangat sulit untuk dicerna dan terlalu memaksakan. Disisi lain Binford kadang tidak konsisten seperti yang disebutkan mengenai studi etnoarkeologi tadi.
Selanjutnya yaitu bahwa Binford secara jelas merendahkan kaum induktifis, saya menilai bahwa arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau berdasarkan benda-benda tinggalannya. Yang mana jika kita meneliti suatu data empiris maka pendekatan kita bersifat induktif. Saya menilai pendekatan yan bersifat induktif masih sangat penting dan berperan dalam perkembangan arkeologi.
Namun saya setuju dengan pendapatnya Binford mengenai artefak, menurut ia bahwa arti artefak dapat ditelusuri berdasarkan fungsinya dimasa lalu dan bukanlah ide-ide si pembuatnya, sebagaimana umumnya penafsiran dalam sisitem klasifikasi kita. Jelas ini merupakan pandangan yang brilian, sesuai dengan pendapat saya. Artefak dibuat oleh pembuatnya pasti memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sebuah artefak dibuat karena ada kepentingan yang bergerak dibelakangnya.
Mengenai pendapat Schiffer tentang cara ia melihat proses-proses transformasi dan proses-proses formasi telah baik. Schiffer melihat bahwa transformasi C yang mempunyai potensi pendistorsian, dan menurut saya memang benar seperti itu. Karena suatu artefak yang telah berpindah-pindah baik spasial maupun fungsional jelas menjadikannya terdistorsi, sehingga sulit untuk menentukannya. Begitu pula tentang pendapat saya bahwa Behavioral Archaeology sepertinya hampir sama dengan arkeologi tradisional seperti memiliki pendekatan yang sama yaitu induktif. Tetapi banyak juga perbedaannya.

No comments:

Post a Comment