1.7.09

Etika Peneliti Australia Dalam Publikasi Homo Floresiensis

Makalah ini ditulis sebagai reaksi terhadap artikel yang pernah saya baca di website Koran Kompas yang judulnya yaitu “Memburu Spesies Manusia Purba di Liang Bua”. Bagian yang paling saya soroti adalah mengenai publikasi penemuan manusia purba tersebut. Dari artikel Kompas tanggal 30 Oktober 2004 tersebut tertulis:
“Setelah melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua! "Sebetulnya penelitian ini belum sepenuhnya usai. Kok, tiba- tiba saja hasilnya sudah diumumkan oleh pihak Australia. Apalagi ketika itu diumumkan tanpa didampingi oleh satu pun peneliti dari Indonesia. Saya tak tahu di mana etika penelitian dan etika kerja sama yang selama ini diagung-agungkan di dunia keilmuan," ujar Soejono.
Berdasarkan kutipan artikel tersebut dapat disarikan bahwa peneliti Australia telah melanggar etika penelitian, dalam hal ini yaitu publikasi penelitian. Berdasarkan artikel tersebut namun pada paragraf lainnya tertulis kegiatan penelitian itu adalah kerjasama antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Puslitarkenas dengan pihak Australia yang dipimpin oleh Mike Morwood. Berdasarkan kode etik profesi, untuk mempublikasikannya harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Pendapat dilontarkan Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia Ingrid HE Pojoh. "Saya tidak tahu bagaimana perjanjian di antara kedua belah pihak sehingga Australia dapat mengumumkan tanpa didampingi peneliti Indonesia. Kalau itu kerja sama, setiap langkah seharusnya dengan sepengetahuan kedua belah pihak serta dilakukan bersama," katanya Selain itu pula arkeolog Edi Sedyawati mengatakan, dalam setiap kerja sama, kedudukan kedua pihak harus sejajar mulai dari perencanaan hingga publikasi. "Ini harus dimengerti oleh para pejabat terkait dan peneliti karena pihak luar negeri pasti akan mencari celah-celah. Oleh karena itu, perlu kekompakan para peneliti," katanya (Kompas, 3 November 2004).
Sebelumnya kembali kepada pembahasan etika profesi. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos. Istilah etika dimaknai sebagai kebiasaan atau peraturan perilaku dalam masyarakat. Dalam filsafat sendiri, etika adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian Bagi ilmu pengetahuan, tanggung jawab itu meliputi dua hal yaitu tanggungjawab ilmiah dan tanggungjawab moral (Suhartono, 2004:165). Tanggung jawab ilmiah intelektual adalah tanggung jawab terhadap pendekatan, metode dan cara-cara untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan tanggungjawab moral adalah sejauh mana ilmu itu dapat dipublikasikan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, dalam hal ini juga terhadap sesama peneliti.
Dari pemaparan diatas kita ketahui bahwa peneliti-peneliti Australia entah seluruhnya atau hanya pemimpinnya dengan jelas memiliki etika yang sangat rendah. Perilaku profesi kurang dijunjung tinggi terlebih pada perilaku intelektual. Karena apa yang mereka capai untuk penguasaan bidang ilmu dan mencapai hal yang baru sejujurnya tidak didapat oleh mereka sendiri melainkan dibantu oleh rekan dari Indonesia. Selain itu juga termasuk kedalam rendahnya perilaku professional yang mana rasa kebersamaan dengan sejawat yang bersama meneliti namun tidak diakui, padahal mereka sesama arkeolog. Tidak ada lagi tanggungjawab moral yang dimiliki, yang hal itu berakar dari egoisme sekumpulan orang untuk mencapai ketenaran. Hal ini bisa saja sama seperti perilaku Binford yang mengagung-agungkan Procesessual Archaeology dan memandang remeh gagasan lainnya sehingga bisa dikatakan sebagai fanatisme keilmuan.
Sebenarnya hal itu tidak akan terjadi jika keduanya telah saling memahami tujuan penelitian tersebut serta tanggungjawab masing-masing. Arkeolog dari Indonesia harus memahami profesi yang ia geluti yaitu Arkeologi Indonesia agar posisi tawar peneliti tidak dipandang remeh oleh para peneliti Australia. Selain itu komitmen dan motivasi dalam penelitian sangat dibutuhkan untuk mengimbangi luasnya pengetahuan yang biasa dimiliki oleh peneliti asing. Jika keduanya saling memahami etika profesi maka hubungan keduanya baik interpersonal maupun komunal akan berjalan baik yang bermuara pada tegaknya ilmu arkeologi di Indonesia. Dan intinya bahwa hubungan antar peneliti harus berjalan baik untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga meningkatkan rasa tanggungjawab dan perilaku profesi. Dan untuk Arkeolog Indonesia tingkatkan etika profesi agar kita tidak dilecehkan oleh peneliti asing.

Referensi
Suhartono, S. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
http://bondanriset.blogspot.com/2006/10/prinsip-prinsip-etika-penelitian.html (visited on 18 Juni 2008)
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0410/30/humaniora/1355051.htm (visited on 10 Juni 2008)
http://www.kompas.com (visited on 2 Juni 2008)

No comments:

Post a Comment