1.7.09

GENDER PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA

Gender ialah konstruksi sosial yang diciptakan oleh masyarakat untuk membandingkan suatu pekerjaan atau fenomena berdasarkan kelamin. Sehingga seringkali suatu pekerjaan atau fenomena tertentu didominasi oleh jenis kelamin tertentu. Padahal semestinya hal tersebut tidak terjadi karena setiap manusia memiliki hak yang sama atas suatu peran. Menurut Freeman (1970) yang saya kutip dari R. Cecep Eka Permana (2005:5) bahwa kondisi biologis sepanjang masa sebenarnya tetap sama yaitu terdiri atas pria dan wanita. Perbedaan biologis itu menjadi bermakna politis, ekonomis dan sosial manakala tatanan kultural dalam masyarakat mengenal pembagian kerja secara hirarkis antara pria dan wanita.
Pembagian tersebut kadangkala menjadikan wanita sebagai subordinasi pria. Hal ini dikarenakan stereotip wanita sebagai makhluk yang lemah, lembut dan sabar lebih cocok berada pada wilayah-wilayah domestik. Sedangkan laki-laki seringkali menguasai wilayah-wilayah yang agak kasar seperti wilayah publik. Pola-pola semacam ini banyak ditemukan pada budaya-budaya di Indonesia. Bahkan penafsiran terhadap kehidupan pada masa Paleolitik pun masih menggunakan pemahaman seperti itu.
Kampung Naga berada di Jawa Barat, terletak diantara kota Garut dan Tasikmalaya. Konon pada masa Kerajaan galunggung di abad 15-16, lembah Kampung Naga adalah tempat persembunyian Singaparana yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Naga (Padma, 2001:6). Keunikan Kampung Naga ialah masyarakatnya masih memegang konsep-konsep warisan leluhur mereka. Konsep warisan ini terwujud pada kehidupan bermukim berdasarkan aturan tertentu sehingga terbentuk pola-pola pada perkampungannya yang sarat dengan makna.
Kehidupan masyarakat Kampung Naga sangat sederhana. Dalam kehidupannya mereka memanfaatkan segala sumber daya alam. Dalam hal pengelolaan lingkungan, masyarakat ini telah memiliki kesadaran secara turun temurun. Seperti misalnya pembagian daerah bersih dan daerah kotor. Jika dilihat pola permukimannya seluruh bangunan di Kampung Naga ini memiliki arah hadap utara-selatan. Pemukiman dikelilingi pagar yang terbuat dari anyaman bambu rangkap dua dan menjadi batas tegas antara daerah permukiman dengan non permukiman. Batas fisik yang serupa juga ditemui pada daerah makam leluhur, Bumi Ageung, dan lahan bekas langgar (Padma, 2001:11).
Aktifitas yang terkait dengan ibadat pada masyarakat Kampung Naga ialah ritus Hajat Sasih. Yaitu upacara adat untuk menghormati dan meminta berkah leluhur sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan (Padma, 2001:12). Ritus tersebut berkaitan antara budaya leluhur dengan budaya Islam sehingga akulturasi budaya tercipta pada kegiatan ini. Selain ristus tersebut ada juga peringatan tahapan perjalanan kehidupan manusia seperti khitanan, perkawinan, kematian dll.
Kondisi topografi wilayah Kampung Naga cenderung curam. Sehingga terjadi rawan longsor. Namun hal ini dapat di antisipasi oleh masyarakatnya dengan membuat sengkedan yang terbuat dari batu kali yang diambil dari sungai Ciwulan. Teknologi sederhana warisan leluhur berupa sengked batu tersebut menjadi cara untuk menjawab kondisi tersebut. Sistem sengkedan merupakan sistem yang cocok untuk tanah yang curam.
Wilayah Laki-laki dan Wilayah Perempuan
Rumah merupakan tempat yang paling vital bagi kelangsungsn hidup manusia. Kegiatan sehari-hari mulai dari fajar hingga malam banyak dilakukan di rumah. Rumah dalam masyarakat Kampung Naga mamiliki makna yang berharga dan menuntut perlakuan hati-hati. Misalnya jika mendirikan rumah harus dengan ritus-ritus tertentu. Serta aturan-aturan pembuatan rumah yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Di dalam rumah pula dapat kita lihat dominasi atas ruang. Kegiatan-kegiatan tertentu tanpa disadari akan membentuk pola-pola yang statis dimana kegiatan tersebut berlangsung secara terus menerus pada suatu ruang. Dan keberlangsungan kegiatan tersebut biasanya dilakukan oleh jenis kelamin yang itu-itu saja. Hal inilah yang membentuk sebuah konstruksi pemikiran mengenai gender.
Pada masyarakat Kampung Naga kesehariannya para pria sering menghabiskan waktunya di sawah. Para ibu melakukan berbagai aktifitas seperti mencuci, menanak nasi dan menyiapkan lauk pauk untuk makan siang dan juga menyiapkan dan mengantar makanan ke sawah tempat para pria bekerja. Memasak khususnya menanak nasi, berhubungan erat dengan ritual wanita karena diasosiasikan dengan Dewi Sri. Menurut kepercayaan mereka, Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati adalah pengayom tanaman padi. Nyi Pohaci dalam masyarakat Baduy dinamakan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Permana, 2005:68). Penghormatan kepada Dewi Sri dapat terlihat dalam perletakan goah yang dianggap sebagai ruang utama sebuah rumah. Selain itu di Kampung Naga juga terdapat bangunan khusus wanita yaitu saung lisung. Saung lisung merupakan tempat para wanita menumbuk padi dan bersosialisasi. Aktifitas ini erring dilakukan di sela-sela kagiatan ritun mereka dirumah.
Di masyarakat Kampung Naga terdapat pembedaan ruang. pembedaan ruang ini ditentukan oleh nilai yang berlaku termasuk perbedaan peran penghuni yang secara tradisional dibedakan menurut gender, antara ibu (perempuan) dan laki-laki (ayah). Area depan seperti tepas bawah (teras) dan tepas atas (ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) wilayah perempuan. Ruang-ruang umum seperti ruang-tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluarga (www.mail-archive.com). Meskipun terjdi perubahan pada bentuk bangunan, kondisi pembagian ruang ini masih tampak, pada masyarakat Sunda ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ke ruang tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan dapur, kamar tidur orangtua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-anak dapat terawasi orangtua.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa peran pria dan wanita di Kampung Naga telah dibagi. Kaum pria lebih banyak melakukan kegiatan di luar seperti di sawah sedangkan kaum wanita lebih sering berada di ranah domestik seperti di dapur. Dalam tataran keruangan rumah tinggal, terdapat pembagian ruang antara ruang pria, wanita serta ruang netral. Di dalam masyarakat pun terdapat bangunan yang khusus digunakan untuk kaum wanita. Namun secara keseluruhan tidak ada dominasi diantara keduanya. Jika disimpulkan maka kesetaraan gender pada Kampung Naga ini kemungkinan berada pada tingkat non eqaliter rendah.



Tata ruang Imah Naga




Digambar oleh Ramanda Primawan berdasarkan sumber buku “Kampung Naga”

Daftar Pustaka
Permana, R. Cecep Eka. 2005. Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagad Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Padma, Adry (et al.). 2001. Kampung Naga: Permukiman Warisan Karuhun. Bandung: Architecture & Communication.
http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg37864.html, diakses 12 desember 2008 dengan judul “Artikel Imah Sunda Tea”.

No comments:

Post a Comment