28.2.11

perjalananku - Kediri part 2

tubuh ini mendapati duduknya tak jauh dari pintu masuk gerbong empat. angin bertiup kencang karena jendela tak tertutup rapat. ditambah kipas angin yang bertiup bagai mati segan hidup tak mau. disebelahku wanita paruh baya dengan tas necis nya duduk manis melipat kakinya diatas kaki yang lain. didepanku, seorang nenek dan cucunya telah asik tertidur, mungkin sudah dari stasiun wates mereka terlelap. karena tak kudapati mata mereka terjaga ketika di stasiun tugu.

jam dua sudah, mataku tak dapat terpejam ketika lampu-lampu kota terlintas cepat melalui jendela yang sedikit terbuka. mereka telah tertidur. benakku slalu terpikir dia yang ada disana, tujuanku. sepi juga tak ada pengasong lewat, perutku yang sedari sore belum terisi mulai teriak meronta-ronta akan datangnya seonggok daging dan seteguk susu. tak kuasa untuk segera bertemu.

Ngawi, sebuah misterius. berasal dari kata awi, yang berarti bambu. katanya dahulu banyak terdapat pohon bambu disini. perlahan kereta berjalan, seakan menunduk menurunkan tangannya seraya berkata permisi pada kota ini. nenek itu terbangun karena sang cucu menarik baju kusutnya meminta seteguk air yang tersimpan di tas yang dipeluk sang nenek. sang cucu bilang ia akan segera bertemu dengan kakeknya. bibirku yang kelu segera tersenyum dan terlintas dibenaku, indahnya sebuah rasa saling mengasihi diantara manusia. sang cucu, ia ada karena cinta yang dibangun oleh pendahulunya, kakek neneknya. butuh waktu lama hingga lebih dari setengah abad. tak terbayangkan gejolak rasa yang terjadi selama itu, pastinya hanya jiwa-jiwa yang tegar dan sabar lah yang mempu melewatinya. dan juga, saling mengerti.

hasratku untuk sama seperti mereka sangatlah kuat. membentuk keluarga, mengasihi yang tercinta, hingga tumbuh benih-benih hasil karya kita. ia lah yang akan menjadi sumber cinta baru, menyatukan kembali jiwa-jiwa yang mungkin telah sendu.

Rp 60.000, tidaklah mahal bagi mereka yang sehari-hari berjas hitam tampang necis yang selalu menenteng tas kopernya sambil bertelepon di jalan dengan kacamata hitam tertempel di dahi. tapi bagi kami kaum proletar butuh berhari-hari untuk mengabiskannya, terpaksa untuk tidak menghabiskannya. tapi, ia yang disana selalu merindu. aku tak mampu sendiri dan diam berdiri sepi. aku harus berjumpa.

petugas tiketing menepuk pundakku, membangunkanku. Kertosono baru saja lewat dan matahari hampir terlihat. cucu itu telah bangun dan bercanda, cinta itu..kasih sayang itu..telah membuat sang nenek menjadi muda kembali. kembali ku membayangkan masa depan, membayangkan sebuah komitmen yang disepakati berdasarkan rasa saling mengasihi. aku ingin bersamanya. perjalananku ini adalah sebuah proyek panjang yang harus ku lewati satu persatu. berlebihankah? tidak, karena ini adalah visi.

07.12 wib, mentari pagi dan dingin menyambutku keluar melewati pintu yang sedikit kaku. didepanku berdiri kokoh bangunan kecil sisa peninggalan Belanda dengan arsitektur yang persis sama dengan bangunan indis kawasan Bintaran Yogyakarta. ayunan langkah mengawali nafas menghirup udara pagi Kediri. ah, disini ternyata cinta berada.. nuansa yang sama seperti Yogyakarta. perjalanan disini ku awali dengan membuka sebuah peta. sebuah kertas kecil yang baru kemarin sore ku print. langkah sedikit gontai karena tak ada asupan energi sejak semalam. berdiri melihat sekitar, ku putuskan menepi disebuah warung yang bertulis "WC-Kamar Mandi".

sekitar setengah jam dari stasiun Kediri, aku berjalan menuju daerah Nabati. entah karena apa, mereka menyebutnya itu. dan aku tak mau tahu. seorang kakek menunjukkan jalannya. keluar dari stasiun Kediri, segera menuju jalan raya dengan menyusuri rel sepanjang 200 meter. tak sulit bagiku, selalu ada jalan bagi orang yang berani bertanya. tiba di daerah Nabati, terlihat lima atau enam orang menunggu bus sembari berbincang. aku pun masuk didalamnya. lumayan lama menunggu, cukup untuk mengercitkan dahi hingga beribu kali. setengah jam lebih menunggu bus Puspa Indah yang akan membawa ku menuju Pare dengan tarif hanya Rp 4.000.

akhirnya datang juga, dia lah bus yang akan membawaku menuju masa depanku. sementara pikirku seperti itu. tak apa tak dapat bangku untuk duduk. asa dan harapan bertemu sudah membuatku nyaman bagai di sofa. membayangkan kita bertemu, mungkin terharu.