14.5.10

Gua Seropan, antara studi dan rekreasional (part 2)

Kami telah berada persis di depan pintu masuk gua, istirahat sejenak sambil membuka gembok yang mengunci mulut gua tersebut. Gua tersebut sengaja dikunci oleh warga agar tidak ada orang yang sembarang masuk ke dalam. Karena sungai bawah tanah yang berada didalam gua sangat diandalkan oleh warga untuk kebutuhan hidup, maka warga menjaga-jaga agar sungai tersebut tidak dirusak ataupun diracuni oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Akibat kelebihan beban maka kami berinisiatif untuk membawa perlengkapan dengan cara 2 kali bolak-balik. Beberapa barang kami tinggal di mulut gua yang selanjutnya akan diambil setelah barang yang pertama selesai diangkut kedalam.


ketika berada di lorong upstream

Tak terasa waktu telah menunjukkan sekitar pukul 17.00 WIB. Jarak dari mulut gua hingga entrance sekitar 200 meter, melaluinya harus melewati lorong-lorong yang sempit hingga kami menunduk dan jongkok. Kadang dibeberapa titik terdapat genangan air yang membuat kami terpaksa untuk basah-basahan. Belum lagi beban yang berat tersebut ditambah dengan masuknya air hingga basah membuat beban semakin berat saja. Perjalanan begitu terasa disetiap detiknya, bentukan lorong dengan dekorasi stalaktit dan stalagmit serta beberapa chamber kecil membuat kami berada di dunia yang berbeda, penuh dengan hiasan alam. Sungguh indah.


di sekitar sum

Perjalanan begitu lambat hingga sekitar 45 menit kemudian kami tiba di entrance, ruang utama. Entrance ini lumayan besar dengan luas sekitar 20 x 9 meter dan tinggi langit-langit sekitar 12 meter. Kami beristirahat sejenak melemaskan otot yang sejak tadi menegang karena membawa beban yang berat. Cahaya sekunder yang berasal dari senter led saya nyalakan, menambah penerangan yang sebelumnya hanya diterangi oleh senter biasa. Ada perbedaan yang saya rasakan, ternyata napas kami tersengal-sengal. Sangat terasa sekali jika kita berada di ruangan hyper-CO2, dimana udara karbondioksida memiliki kapasitas yang lebih besar daripada oksigen. Gejala yang akan ditimbulkan adalah pusing dan sedikit mual. Setidaknya butuh sekitar 1 jam bagi kami untuk beradaptasi dengan kondisi udara seperti ini.


stalaktit

Sembari menyesuaikan diri, kami mempersiapkan peralatan yang akan dibutuhkan. Di depan terlihat bendungan yang memisahkan aliran sungai gua pada upstream dan downstream. Di bagian downstream, aliran sungai sangat deras. Hingga ketika saya mencoba bermain disana justru seringkali terbawa arus dan harus berpegangan erat pada batu-batu yang tajam. Kegiatan pertama adalah reconnaissance aliran downstream, dimana terdapat sebaran tulang belulang hewan. 4 orang kawan telah berada di sisi downstream bendungan, tak mau ketinggalan saya pun bergegas melewati bendungan tersebut.


turbin yang menembus gua

Tidak mudah ternyata, pada sisi landai bendungan terdapat air tipis yang tidak dalam, namum memiliki arus yang sangat kuat membuat kaki saya selalu terpental dan harus menginjak bendungan tersebut lebih kuat. Tiba di ujung bendungan saya bergabung dengan mereka. Turun perlahan meluruskan kaki sembari mengecek kedalaman sungai. Lumayan dalam ternyata, sekitar sebatas pinggang hingga dada. Namun pada beberapa titik ada yang hanya sebatas betis saja.

arus downstream

Tidak jauh, kami hanya menyusuri sungai sejauh 60 meter. Namun temuan yang kami lihat justru sangat mencengangkan. Di setiap dinding maupun tonjolan batu yang berada di tengah sungai terdapat singkapan-singkapan fosil tulang hewan vertebrata seperti kuda nil, babi hutan, kerbau dll. Mulai dari tulang tibia, femur, vertebrae, semuanya dapat terlihat pada singkapan tersebut. Seolah-olah mereka muncul dari dasar sungai memperlihatkan eksistensi mereka di gua ini. Sedikit menarik bagi mereka yang hanya rekreasional menelusuri gua Seropan ini. Namun bagi kami selaku akademisi yang kebetulan temuan tersebut sangat terkait dengan bidang keilmuan kami, hal ini merupakan fenomenal.
Rasa penasaran langsung membayang begitu mata kami melihat singkapan tulang tersebut. Apakah ini? Bagaimana? Darimana? Banyak hal yang menggelantung dipikiran kami. Dengan hati-hati kami coba menyentuhnya dan memegang serta melihat langsung secara utuh dimensi dari beberapa temuan tulang tersebut. Berdiskusi dan berasumsi asal dan proses terbentuknya singkapan tulang tersebut di sungai ini. Mencoba berhipotesis secara spontanitas, menggali dan mempertajam kembali ingatan keilmuan yang didapat ketika kuliah dulu. (berlanjut...pegel ngetiknya..)

12.5.10

Gua Seropan, antara studi dan rekreasional (part 1)

8 mei 2010 lalu saya beserta 4 orang kawan yaitu Madha, Shinat, Icad dan Danang menapaki Gua Seropan yang berlokasi di desa Semuluh kecamatan Semanu kabupaten Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakata. Keindahan gua ini tercipta dari stalagtit yang menggoreskan eksotisme 3D ornamen dan aliran sungai bawah tanah yang memanjakan mata. Di gua karst yang terbentuk di kedalaman 60 meter di bawah permukaan tanah ini terdapat air terjun yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik dengan menggunakan microhydro technology. Banyak potensi yang dapat digali, seperti tinggalan arkeologis yang tersisa dalam setiap lapisan dinding gua tersebut.

Perjalanan berawal dari kampus tercinta FIB UGM, kami berkumpul mempersiapkan peralatan yang diperlukan. Tujuan utama kami kesana adalah menemani salah seorang kawan yang akan meneliti sebaran fosil tulang hewan yang terdapat di sekitar area downstream sungai bawah tanah Seropan dan cave diving untuk mengungkap sebaran fosil tulang hewan yang terdapat di area upstream Seropan. Perjalanan tidak begitu lama hanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Yogyakarta. Sebelum mencapai lokasi, kami sempat mampir di Alfamart kota Wonosari untuk belanja kebutuhan logistik selama di dalam gua.

Tiba di basecamp, kami sowan ke pemilik basecamp (rumah warga) dan disuguhi teh hangat. Selang beberapa menit datanglah 4 orang mahasiswa dari fakultas geografi UGM yang barusaja selesai melakukan penelitian tanah di sekitar gua Seropan. Mereka lalu berkumpul bersama kami menikmati manisnya teh ala desa Semuluh. terjadi pembicaraan yang hangat antara kami dan mereka, terutama Madha yang telah kenal dengan beberapa mahasiswa geografi tersebut. Sengaja kami tidak beergegas menuruni gua karena kami harus mengepak dan men-setting peralatan yang dibutuhkan. Tak terasa bahwa peralatan yang kami bawa ternyata sangat berat2 semua, terutama tiga buah tabung oksigen yang akan digunakan untuk cave diving. Belum lagi peralatan selam yang beratnya setara dengan satu buah tabung oksigen dan peralatan caving yang dibalut dengan 2 tackle bag.

di basecamp


Shinat dan tabung selamnya

Ada hal menarik dari caving kali ini yaitu berpadunya dua aliran caver dalam satu kegiatan yaitu caver american style dan european style. Apa perbedaannya? Caver European Style menggunakan clothing yang full melindungi seluruh body atau dinamakan coverall, sedangkan Caver American Style lebih cenderung menggunakan clothing yang simple dengan setelan kaos oblong dan celana pendek. Saya cenderung memilih American Style karena masalah klasik yaitu tidak ada coverall yang sesuai dengan ukuran badan saya yang kecil mungil,..hehe..

Tak terasa sudah 2 jam kami di basecamp. Saatnya bagi kami pamit kepada pemilik rumah untuk beranjak ke medan yang akan kami tempuh yaitu Gua Seropan. Madha, Shinat, Icad, Danang dan saya berurutan menuruni setiap anak tangga sebelum tiba di mulut gua. Lumayan melelahkan pada trekking pertama karena kami harus menuruni sekitar 60-an anak tangga, belum lagi dengan membawa beban yang super berat. Saya kedapatan ditugasi membawa satu set perlengkapan diving milik Shinat, beberapa bungkus logistik dan tentunya ransel saya sendiri. Sedangkan yang lain membawa 3 buah tabung selam, 2 tackle bag dan bawaan masing-masing.

American Style alias serba terbatas

Rutinitas seperti ini seringkali dijumpai pada mereka yang menekuni kegiatan penelusuran gua. Membawa beban yang berat yang didalamnya berisi peralatan akses naik dan turun gua, logistik makanan dan set pakaian. Belum lagi jika penelusuran bersifat keilmuan, harus menambah beberapa item yang dibutuhkan seperti skala mulai yang tongkat hingga yang kecil, writeboardmini, meteran, kompas dan kamera. Kebutuhan tersebut merupakan standar kegiatan yang diwajibkan. Beban berat seperti diatas bukanlah halangan untuk penggiat gua karena akan ada timbal baliknya ketika telah berada di dalam. Pada umumnya mereka yang menelusuri gua menganggap kegiatan tersebut sebagai rekreasional, yaitu menikmati keindahan gua melalui bentukan stalaktit, stalagmit serta indahnya entrance dan chamber yang dipenuhi teras ornamen-ornamen lintang. Sedangkan secara spesifik, penelusuran gua dapat bersifat keilmuan dilihat dari segi geografi, geomorfologi, geologi, arkeologi, mikrohidro dan masih banyak lagi cabang ilmu yang dapat diperoleh ketika penelusuran gua.

Mahasiswa selaku pembelajar dan penggiat alam, seringkali membenturkan dua pandangan tersebut menjadi satu. Hal ini biasa dijumpai oleh mahasiswa yang memiliki bidang keilmuan yang terkait dengan gua seperti yang telah dijelaskan diatas. Proses tersebut dimulai ketika mereka mulai memasuki ranah skripsi. Padahal sebelumnya cenderung kegiatan caving lebih kepada rekreasional saja. (berlanjut..pegel ngetiknya)