27.11.09

STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD X-XI

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Latar Belakang
Keadaan geografi pulau Jawa yang memiliki gunung-gunung api dan sungai membuat tanah menjadi subur. Potensi ini didukung oleh curah hujan yang rata-rata cukup banyak (±2000 mm per tahun), khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya, menyebabkan rata-rata kelembaban udara yang cukup tinggi pula. (Sutikno:1993) Pada masa Jawa Kuna terdapat beberapa kerajaan seperti Kerajaan Mataram Kuna, Singasari dan Kadiri dan Majapahit. Mayoritas masyarakat kerajaan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini didasari oleh tanah-tanah di pulau Jawa yang relatif subur. Hal ini karena banyaknya gunung-gunung api serta curah hujan yang tinggi. Kerajaan pada masa lalu sepertinya memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Pendapatannya kerajaan-kerajaan agraris diperoleh dari pengumpulan hasil bumi, upeti dari raja bawahan dan denda dari putusan peradilan dan pajak (Dwiyanto: 1993).

Akan tetapi karena curah hujannya relatif tinggi menyebabkan lahan pertanian penduduk dari masa jawa kuna bahkan sampai saat ini sering terjadi banjir. Kerugian yang diderita oleh petani sangat besar karena untuk mengolah sawah sangat menyita waktu dan tenaga. Karena para petani harus melewati tahapan dalam mengolah lahannya (Abu: 1990). Banjir yang terjadi tidak hanya berpengaruh terhadap pertanian saja, melainkan juga menyangkut bidang lain seperti perdagangan dan religi. Adanya banjir juga mengurangi pendapatan kerajaan dari sektor pajak (Djoko Dwiyanto: 1992). Dampak banjir dibidang perdagangan adalah macetnya jalur lalu lintas air, sehingga pedagang tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Pada bidang religi adalah banyaknya tempat atau bangunan suci yang rusak dan hancur akibat terkena banjir.
B. Rumusan Masalah
Banjir merupakan fenomena yang terjadi dimana suatu wilayah atau sistem pengairan tidak mampu menampung limpahan air. Sawah atau lahan pertanian biasanya terletak di tepi sungai atau memiliki sungai sebagai pengairan. Sehingga jika sistem pengairan tidak mampu menampung air maka akan terjadi banjir dan sawah akan terkena dampaknya. Jika sebuah lahan pertanian terkena banjir maka segala tanaman akan basah dan layu sehingga akan mati. Dengan kondisi ini, maka petani akan dirugikan oleh adanya banjir. Sehingga akan menghambat pertanian. Selain itu dampak banjir juga berpengaruh pada bidang perdagangan, bidang religi bahkan pendapatan kerajaan dari sektor pajak juga ikut terpengaruh. Oleh karena itu para korban banjir pasti akan mencari solusi atau strategi untuk penanggulangan bahaya banjir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi penanggulangan banjir pada masyarakat jawa kuna. Adapun pertanyaan yang muncul untuk memecahkan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir yang terjadi pada masa Jawa Kuna abad V-XI?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran Induktif. Metode penalaran induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan adalah prasasti dan data sekunder lainnya yang diperoleh dari skrisi, buku dan artikel. Tahap yang kedua adalah pengolahan dan analisis data-data yang telah diperoleh. Tahap yang ketiga atau tahap yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.


STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD V-XI
(Kajian Terhadap Prasasti Tugu Abad 5 M, Bakalan 934 M, dan Kamalagyan 1037 M)
Meskipun air dari sungai mempunyai manfaat yang besar, baik untuk pertanian, lalu lintas dan kebutuhan manusia yang lain, akan tetapi keberadaan sungai itu sendiri perlu mendapatkan perhatian khusus didalam pengelolaannya. Pengelolan sungai disamping untuk memenuhi kebutuhan manusia juga dimaksudkan untuk menghindari adanya bahaya yang dapat ditimbulkan dari sungai tersebut, yaitu bahaya banjir. Banjir merupakan peristiwa alam yang terjadi akibat melimpahnya air yang ada dipermukaan. Sebab-sebab banjir dikarenakan tidak mempunyai sungai untuk menampung air, kurangnya tingkat peresapan tanah, dan lebih rendahnya permukaan daratan dari pada permukaan air. Selain pada masa kini ternyata banjir juga pernah terjadi pada masa Jawa Kuna. Berikut ini adalah prasasti-prasasti yang memuat informasi tentang penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna, diantaranya prasasti Tugu abad ke-5 M, prasasti Bakalan 934 M dan Prasati Kamalagyan 1037 M. Adapun kutipan dari masing-masing prasasti adalah sebagai berikut:
A. Prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh raja Punawarman:
1. Pura rajadhirajena guruna pinabuna
2. Khata khyatam purim prapya candra bhagarnnavam yayau…
7. dvavincena nadi ramya gomati nirmaludaka
8. pitamahasya rajarser widaraya cibiravanim
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
1. Dulu raja yang mulia yang mempunyai lengan yang kuat
2. Menggali sungai bernama Candrabhaga buat mengalirkannya kelaut, setelah (kali ini) sampai di istana yang termasyur…

7. Menggali sungai Gomati permai dan berair jernih
8. Setelah sungai itu mengalir ditengah-tengah kediaman sang pendeta nenekda (Sang Purnawarman)
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Pembuatan saluran di Gomati dan Candrabhaga dapat diinterpretasikan sebagai usaha raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara didalam upaya mengendalikan aliran sungai dan mengatasi banjir yang disebabkan oleh meluapnya air di daerah tersebut sehingga perlu dibuat saluran untuk mencegah terjadinya banjir. Interpretasi ini didasarkan pada analogi dari isi prasasti yang menyebutkan penggalian saluran air yang dilaksanakan pada bulan Caitra yang merupakan bulan pertengahan Maret hingga pertengahan April. Bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan dan permulaan musim kemarau. (Ph. Subroto: 1985). penggalian ini kemungkinan untuk menanggulangi banjir sebagai akibat berdasarkan pengalaman banjir pada musim hujan, yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.
B. Prasati Bakalan 934 M atau Prasasti Wulig
8. “…Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. Pagehaken ikang dawuhan katrini I halunan
10. I wuatan wulas I wuatan tamya
11. irikana dawuhan muang umajara kamu tepangu
12. pullakna dawuhan telyenu Ikana weluran
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
8. “…Rarakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. memerintahkan membuat bendungan di tiga tempat, yaitu di kahulunan
10. di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya
11. di sana bendungan itu dan memberitahu (mereka) memegang teguh itu dari keinginan untuk
12. mengalirkan air dan menyatukan 3 bendungan disana
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Prasasti ini berisi perintah Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil untuk membuat tiga bendungan di daerah Kapulungan , Wuatan wulas , dan Wuatan Tamya. Dalam prasati ini memang tidak disebutkan bahwa bendungan dibuat untuk penanggulangan banjir. Namun berdasarkan kondisi geografis di pulau Jawa memiliki curah hujan tinggi dimungkinkan salah satu fungsi dari pembangunan bendungan ini adalah untuk penanggulangan banjir
C. Prasasti Kamalagyan 1037 M yang dikeluarkan pada masa Raja Airlangga:
7. “… Sambandha, cri maharaja madamel dawuhan ring waringin sapta imahnikanganak ri kamala
8. gyan punyahatu tan swartha, kahaywaknaning thani sapasuk hilir lasun palinjwan. Sijanatyesan panjiganting talan. Dacapangkah. Pangkaja. Tka ring simarasirna. Kala, kalagyan, thani jumput. Wihara ca
9. Ia, kumulan, parahyanganm parapatan, makamukyabhuktyan. Sang hyang dharma ringicanabhawana mangaran I surapura, samangkana kwehnikang thani kawahan kededetan cariknya denikang kanten tmahan bangsawan amgat ri wa
10. ringinsapta, dumadyakan unanikang drabyhaji mwanghilang nikang carik kabeh, aphan dulabha kawnanganikatambakaning bangsawan amgat de parasamya makabeh, tan pisan nambak parasamya…”
13. “ring parapuhawang prabanyaga sangkaring dwipantara, samanunten ri hujung galuh ikang anak thani sakawahan kadedetan sawahnya, atnyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah sawahnya kabeh an pinunya
14. ri tambak hilinikang bangawan amgat rig waringin sapta de cri maharaja…”
(Brandes: 1913 dalam Wulandari: 2001)
Artinya:
7. “…(demikianlah) sebabnya Sri Maharaja membangun bendungan Waringin Sapta di desa Kamala
8. gyan untuk kesejahteraan desa Lasun, Palinjwan, Sijatatyesan, Panjiganting Talan, Dacapangkah, Pangkaja, hingga semua tempat (sima) itu musnah, kala, kalagyan, thani jumput, wihara, ca
9. Ia, kamulan, Parhyangan, Parapatan, tempat suci yang bernama Icanabhawana di Surapura, begitulah pemberian (pembuatan bendungan) yang berkali-kali terkoyak oleh bengawan yang bercabang di Wa
10 ringin sapta, tiba-tiba semua milik raja menjadi hancur, tidak hanya sekali pembuatan tnggul oleh pejabat setempat…”
13. yang menghubungkan antara pulau, berkumpul semua di Hujung Galuh, penduduk desa yang sawah tanahnya terkena banjir menjadi senag hatinya karena berakhirnya banjir itu sehingga hasil sawahnya dapat dimiliki dengan
14. ditanggulnya aliran sungai Waringin Sapta oleh Sri Maharaja…”
(Wulandari: 2001)
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya mungkin banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah sima yang mengalami banjir yaitu Kala, Kalagyan, Thani Jhumput, Wihara Cala, kamulan, dan parapatan (Soekmono 1973). Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan), yang menurut Soebroto ialah sungai Brantas. Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan (Soebroto: 1985).
Melihat dari isi prasasti tersebut, prasasti kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang.
Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai tehadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gcunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat setempat. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan ini, Maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tanggul yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis terhadap tiga prasasti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masa jawa kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air, seperti pada prasasti yang menjadi kajian pada makalah ini. Dari isi ketiga prasasti tersebut dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga dapat terhindar dari bahaya banjir.
2. Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu. Rifai, Dkk. 1990. Teknologi Pertanian Sebagai Tanggapan Terhadapa Lingkungan di Cianjur. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Subroto, Ph. 1985. Sistem Pertanian Masyarakat Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis. Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. Dalam Prof. Sartono Kartodirjo “700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai”. Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Wimbo Widayati. W. 1998. Upaya Pelestarian Pada Masyarakat Jawa Kuna Berdasarkan Prasasti Abad V-XV M. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wulandari Naning. 2001. Upaya Peningkatan Hasil Pertanian Pada Masa Jawa Kuna Abad IX-XV. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

SISTEM PENGUBURAN MEGALITIK DI GUNUNG KIDUL (Kajian Situs Kajar, Sokoliman, dan Bleberan)

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Peninggalan Tradisi megalitik di Daerah Istimewa Yogyakarta ditemukan didaerah kabupaten Gunung Kidul. Peninggalan tersebut berupa kubur-kubur peti batu, batu-batu tegak , arca-arca menhir serta lumpang batu. Penelitian terhadap tinggalan di daerah ini telah dilakukan oleh Vanderhop tahun 1935. Kubur batu di Gunung Kidul ditemukan di daerah Kajar, Wono Budo, Playen, Bleberan, Sokoliman, Gunung Abang dan Gunung Gondang. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Salah satu konsepsi kepercayaan yang sangat menonjol dalam masyarakat prasejarah di Indonesia adalah sikap terhadap kehidupan sesudah mati. kepercayaan yang berlatar belakang animisme dan dinamisme tersebut mempunyai anggapan bahwa roh seseorang dianggap mempunyai kehidupan dialamnya tersendiri sesudah meninggal, sehingga perlu diadakan upacara-upacara sebelum dikuburkan. Konsepsi kepercayaan yang paling menyolok dalam kaitannya dengan upacara kematian adalah sistem penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Sistem penguburan tersebut biasanya dilakukan secara langsung (Primer) maupun tidak langsung (sekunder) dengan menyertakan bekal kubur berbentuk benda-benda pusaka, senjata, perhiasan, dan mungkin juga makanan yang diletakkan dalam periuk-periuk sekitar mayat. Bekal kubur tersebut kadang-kadang juga berupa binatang (anjing, babi) dan manusia yang khusus dikorbankan dengan maksud agar arwahnya dapat ikut serta dengan roh si mati ke alam baka. Kehidupan di alam arwah dipandang sama keadaannya dengan dunia orang hidup, oleh karena itu kesejahteraan arwah harus tetap terjadi untuk menjaga kelangsungan hubungan dengan orang-orang yang ditinggalkan agar dapat terus berlangsung dengan baik (Soejono:1984 dalam Haris Sukendar: 1993).
Sistem religi di Indonesia mulai dikenal sejak adanya pola penguburan sederhana, yaitu menguburkan mayat dekat dengan tempat tinggal sehingga bercampur dengan peninggalan-peninggalan lain seperti alat-alat litik, cangkang-cangkang kerang dan sebagainya. Indikator yang dapat dijadikan petunjuk adanya sistem penguburan didasarkan pada temuan sisa rangka baik yang ada di lingkungan alam terbuka maupun yang ada di gua-gua atau ceruk. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Permasalahan dan Tujuan
Pentingnya upacara kematian dalam proses hidup manusia telah menyebabkan berkembangnya sistem-sistem penguburan yang berlangsung pada masyarakat prasejarah. Akibatnya pada masa perundagian atau masa akhir prasejarah di Indonesia telah dikenal berbagai bentuk dan sistem penguburan yang beragam. Bukti-bukti tentang adanya berbagai bentuk dan sistem peguburan tersebut telah ditemukan disejumlah situs arkeologi yang terbesar diberbagai tempat di Indonesia.
Permasalahan yang muncul dari hal diatas, sehingga penulis berinisiatif untuk menyusun makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah sistem penguburan di situs-situs megalitik di wilayah Gunung Kidul?

Tujuan pokok dari tulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana sistem penguburan megalitik di wilayah Gunung Kidul.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran induktif. Metode penalaran Induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap yang pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan merupakan data-data sekunder yang berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas dalam makalah ini sebagai obyek kajian analisis serta data-data mengenai sistem-sistem penguburan yang ada pada masa prasejarah sebagai acuan dalam proses analisis. Tahap yang kedua adalah tahap pengolahan data. Data-data yang telah diperoleh dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada. Tahap yang ketiga atau yang terakhir adalah tahap penarikan kesimpulan.


Landasan Teori
Menurut Soejono (1969) sistem penguburan di Indonesia dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sebagai berikut:
1. Penguburan langsung (tunggal dan ganda), yang mencakup:
a) Kubur primer tanpa wadah
b) Kubur primer tertutup (dengan wadah)menggunakan: Sarkofagus, Peti Kubur Batu, Kalamba/Waruga, Kamar batu, Struktur seperti Dolmen, dan Tempayan
2. PenguburanTertunda
a) Kubur sekunder tanpa wadah (lengkap dan selektif)
b) Kubur Sekunder tertutup (dengan wadah), menggunakan: Tempayan dan Sarkofagus (lengkap dan selektif).
3. Penguburan kombinasi (tunggal dan ganda)
a) Kubur primer tanpa wadah + kubur sekunder tanpa wadah
b) Kubur primer tanpa wadah + kubur sekunder tertutup (dengan wadah)
4. Penguburan terbuka (kadang-kadang diikuti dengan pengebumian selektif)
Selanjutnya Soejono mengatakan bahwa rangka-rangka pada kubur primer biasanya menunjukkan peletakan mayat dalam berbagai posisi yang terdiri atas 3 sistem utama yaitu sebagai berikut:
1. Posisi terlentang dengan berbagai cara penempatan anggota badan bagian atas.
2. Posisi terlipat atau semi terlipat, termasuk dorsal (terlentang) dan menyamping.
3. Posisi jongkok
4. Posisi sujud (sangat jarang)
(Soejono:1969: dalam Bagyo Prasetyo dkk: 2004)

B. Temuan Kubur di Gunung Kidul
Kompleks kubur peti batu di Gunung Kidul telah diteliti oleh J.L Moens pada tahun 1934, kemudian dilanjutkan oleh van der Hoop pada tahun berikutnya. Peti kubur tersebut antara lain terdapat di Kajar, Sokoliman, dan Bleberan. Pada kubur peti batu di Kajar ditemukan 35 individu bertumpukan pada kedalaman 80 cm dengan bekal kubur beberapa alat dari besi , antara lain arit. Temuan lain berupa cicin perunggu, dan sebuah mangkuk terakota. Pada salah satu rangka ditemukan sebialah pedang besi yang telah patah, dipegang ditangan kiri, sedangkan pada pedang itu sendiri melekat bekas-bekas tenunan kasar. Kubur peti batu yang ditemukan di Bleberan berisi 3 manusia bertumpukan dalam posisi terlentang dengan kepala di sebelah utara. Tiga buah benda besi terletak di atas dada rangka yang paling atas., cincin tembaga,pisau besi, dan beberapa manik-manik tersebar di antara rangka-rangka tersebut. (R.P. Soejono: 1984 dalam Goenadi: 1989). Ekskavasi yang dilakukan van der Hoop pada tahun 1935 di daerah Kajar, Sokoliman, Bleberan, Wonobudo, Gunung Abang dan Gunung Gondang ditemukan peti kubur batu berisi beberapa individu yang dikubur dengan posisi lurus. Bersama kerangka manusia juga ditemukan pula benda-benda dari besi dan fragmen perunggu, manik-manik serta benda-benda dari gerabah. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Penelitian selanjutnya adalah pada bulan November 1985 dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta terhadap peti kubur batu di Sokolima. Dalam penelitian tersebut digali 3 kubur peti batu yang berkode D22A, D22B, dan D24B yang keaadaannya dianggap paling baik meskipun seluruh kubur tersebut terdiri atas pecahan gerabah(kereweng), tulang manusia, tulang hewan, fragmen logam, manik-manik, dan arang (Goenadi dan Haris Sukendar: 1986 dalam Goenadi 1989). Dari analisis terhadap temuan fragmen tulang manusia (setelah dianalisis) diketahui bahwa dari kubur D22A terdapat individu dan dari D22B ditemukan 5 individu, sedangkan dari D24B tidak dapat diidentifikasikan karena pecahannya sangat kecil. Hasil analisis tulang hewan terdapat 3 jenis hewan yaitu: Babi, banteng, dan rusa (Goenadi:1989).

C. Analisis Kubur
Pola hubungan Anatomis antara berbagai jenis tulang yang membentuk rangka dapat menujukkan posisi, sikap, bentuk perlakuan mayat/rangka (perlakuan pertama atau perlakuan kedua), dan orientasi mayat ketika dikubur. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua penguburan di Gunung Kidul dilakukan dengan sistem penguburan langsung. Tulang-tulang yang ditemukan di situs-situs Gunung kidul ditemukan utuh walaupun sudah rapuh dan dalam posisi tertumpuk. Tidak ada indikasi adanya penguburan tertunda, ciri-ciri mayat yang dikubur tertunda akan memperlihatkan gejala susunan tulang yang tidak berhubungan secara anatomis (Soeprijo: 1982 dalam Lutfii: 2006), tidak berartikulasi, atau tidak lengkap (Soejono: 1977 dalam Lutfi: 2006), atau hanya diwakili oleh bagian-bagian tertentu dari rangka (Lutfi: 2006).
Selain itu, bukti yang menguatkan penguburan dilakukan secara langsung adalah semua penguburan dilakukan dengan wadah yang berupa peti kubur batu. Disebut peti kubur batu karena wadah kubur ini berbentuk seperti peti yaitu terdiri dari sebuah alas yang dibatasi dengan dua dinding memanjang dan dua buah dinding melebar serta dilengkapi dengan sebuah tutup. Masing-masing bidang terbuat dari lempengan-lempengan batu. Tidak ada temuan yang memperlihatkan penguburan sementara, seperti penguburan yang dilakukan didalam tempayan.
Berdasarkan data-data penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dalam satu wadah kubur ditemukan lebih dari satu rangka dengan posisi mayat diletakkan secara membujur lurus dengan keadaan terlentang namun karena terbatasnya data yang didapat tidak diperoleh keterangan secara lengkap mengenai sikap-sikap tubuh si mayat ketika dikubur.
Penguburan di Gunung Kidul juga dilengkapi dengan berbagai benda penyerta sebagai bekal kubur. Bekal kuburnya antara lain benda-benda dari besi dan fragmen perunggu, manik-manik, benda-benda dari gerabah tulang hewan, fragmen logam, dan arang. Adapun pengertian bekal kubur adalah berbagai perlengkapan atau jenis benda yang biasanya disertakan bersama mayat dalam satu penguburan (Joukowsky: 1980 dalam Lutfi: 2006), baik yang dilakukan pada penguburan langsung maupun tidak langsung, mencakup benda-benda upacara, perhiasan, hewan peliharaan, dan mungkin saja manusia (budak atau musuh) yang sengaja dikorbankan (Soejono:1977 dalam Lutfi: 2006). Bekal kubur umumnya diletakkan disisi atau berdampingan dengan mayat, atau dapat pula diartikan sebagai benda-benda yang diposisikan secara sengaja bersama mayat, tetapi bukan merupakan bagian dan struktur kubur atau peralatan yang digunakan untuk membawa mayat (Clark: 1975 dalam Lutfi 2006).

D. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem penguburan megalitik pada masa prasejarah yang dilakukan di Gunung Kidul adalah sistem penguburan langsung (Primer) dengan menggunakan wadah yang berupa peti kubur batu. Penguburan juga dilengkapi dengan bekal kubur yang berupa benda-benda dari besi, fragmen perunggu, manik-manik, benda-benda dari gerabah tulang hewan, fragmen logam, dan arang. Di gunung kidul tidak ditemukan sistem penguburan sekunder atau penguburan tidak langsung. Hal ini tampak pada temuan tulang atau rangka manusia disitus megalitik Gunung Kidul, tidak ada yang ditemukan dalam wadah sementara seperti periuk.
Melihat dari temuan-temuannya dapat diketahui bahwa dalam prosesi penguburannya sudah ada upacara-upacara sebelum dikubur. Hal ini dapat dilihat dari bekal kuburnya yang berupa tulang hewan dan benda-benda gerabah, dimana keduanya merupakan perlengkapan pada upacara-upacara pada masa prasejarah bahkan sampai pada masa Hindu masih ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA
.
Lutfi Yondri. 2006. Analisis Kubur Prasejarah Temuan Dari Gua Pawon. Kars Citatah, Kabupaten Bandung. Dalam Arkeologi Dari Lapangan Ke Permasalahan. Jawa Barat
Nitihaminoto Goenadi. 1989. Bentuk-bentuk Gerabah Kubur Peti Batu Sokoliman: Hubungan Dengan Tahap Penguburan. Berkala Arkeologi.
Prasetya Bagya, Dkk. 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Proyek Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi. Jakarta
Sukendar Haris. 1993. Benda-Benda Logam pada Tradisi Megalitik di Indonesia (Kajian Peranan dan Fungsi). AHPA IV. Jakarta: Puslit Arkenas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


26.11.09

History of Aid Climbing

Did you know about Aid Climbing?? Check this out!!...

Some climbing historians date the origin of aid climbing to June 1492, when France's Charles VIII ordered his chamberlain, Antoine de Ville, and a handful of companions to scale Mont Aiguille (6,783 feet). To reach the summit of what was previously believed to be an unassailable peak, the de Ville party used aid in the form of wooden ladders.

Most climbers, however, view the 1786 ascent of Mont Blanc, which also required wooden ladders, as the true beginning of aid climbing. In the eighteenth and nineteenth centuries, it was not uncommon for guides and porters to lug heavy wooden ladders to the base of difficult rock steps.

Artificial aids were scorned by many climbers, and as alpine clubs were organized, opposition grew to what mountaineer Geoffrey Winthrop Young termed "publicity stunting and mechanical acrobatics."

Despite such vocal opposition, history is replete with accounts of artificial climbing on many important first ascents prior to the twentieth century. In Yosemite, aid was used by Scotsman George Anderson to ascend the "inaccessible" Half Dome in 1875. In an engineering feat that took six weeks, he drilled bolts in the granite dome and strung a rope ladder to the summit. The oft-photographed Devil's Tower in Wyoming received its first ascent in 1893 via a 350-foot wooden ladder hammered into cracks.

Aid climbing really started to take hold after the turn of the twentieth century, spurred by improvements in equipment, especially pitons and carabiners. Used in conjunction with the climbing rope, better equipment permitted better technique. Europeans, who had been responsible for most of these advances, could now attack steeper, more difficult faces. Some of the great spires of the European Alps were climbed, though not without a price. The death toll soared as climbers tried to push their equipment beyond its limits.

It would take a Swiss-born blacksmith named John Salathé to upgrade the equipment for the next climbing breakthrough. Salathé moved to California and began a climbing career at age forty-six. He discovered that the soft iron pitons imported from Europe were no match for the hard granite cliffs of Yosemite. One day he was climbing a crack that narrowed to almost nothing. Upon closer investigation, he saw a blade of grass growing out of the minute crack. "If a blade of grass can come out," he thought, "a piton can go in." But when he tried to drive in an iron piton, it just bent.

Using his knowledge as a metal worker, Salathé hand-forged a piton from strips of high-strength carbon steel salvaged from discarded Model A axles, creating the first hard steel pitons in the world. Then he returned to the tiny crack. As he later told the story in his heavy Swiss accent, "I took my piton and I pound and pound, and it goes into the rock." Salathé, whom Yvon Chouinard would call "the father of big-wall climbing," was now able to nail up hitherto hopeless cracks and thus avoid the need for bolts. Even today, fifty years later, Salathé's Lost Arrow design is regarded as the best for small pitons.

The effect was to revolutionize both free climbing and aid climbing. Freed of the burden of lugging extra backup pitons to replace ruined ones, climbers were able to carry more food and water, allowing them to attempt longer and more arduous faces. The twelve years after the introduction of Salathé's pitons saw every major cliff in Yosemite climbed: Lost Arrow Spire in 1946; Sentinel Rock in 1950; the great Northwest Face of Half Dome in 1957; El Capitan in 1958. It was the realization of what climber-photographer Galen Rowell would call "Yosemite's potential as the ideal locale for testing human limits on rock."

In the early fifties, California climber Chuck Wilts invented the knife-blade piton, using chrome-molybdenum aircraft steel for the first time. These pitons, smaller than anything available at the time, could fit in cracks no wider than a dime.

Although most of Europe's major rock faces had been ascended by the time climbing caught on in the United States, Americans now took the lead in aid climbing, especially on big walls. In 1957, when Royal Robbins, Jerry Gallwas, and Mike Sherrick climbed the Northwest Face of Half Dome, it catapulted Yosemite to the forefront of big-wall aid climbing, a position it would hold for several decades.

In 1958, in a monumental engineering feat that received a lot of attention, Warren Harding and various partners conquered the South Buttress of El Capitan, the most difficult and technical aid climb in the world. Three years later, Royal Robbins, regarded as the finest aid climber in the world, teamed up with Chuck Pratt and Tom Frost to climb the Salathé Wall on El Capitan, named for their innovative predecessor.

Many climbers today still regard the Salathé Wall as the finest rock climb in the world. And although it has been climbed without aid, most climbers still employ aid moves to scale this classic route.

Royal Robbins and his peers were far from done. In 1964, Robbins, Yvon Chouinard, Frost, and Pratt completed the extremely strenuous North America Wall on El Capitan, which was immediately given the title ''most difficult aid climb in the world." It seemed that each time Yosemite climbers found a new climb, it acquired that reputation.

Yvon Chouinard, like John Salathé, had a huge impact on both equipment design and ethical standards. His invention of the rurp (realized ultimate reality piton), a tiny postage-stamp-sized piton that could fit in a crack no wider than a blade of grass, helped to reduce the need for placing bolts. Chouinard also designed the chock, a piece of hardware that fits securely in a crack or behind a flake, greatly reducing the damage that results from repeated piton placements. In fact, it was Chouinard who spearheaded the movement toward clean climbing that took hold in the seventies.

If Royal Robbins was the most prolific aid climber of the sixties, Jim Bridwell was the dominant force of the seventies and eighties. His ascents of aid routes with names like "Sea of Dreams," "The Big Chill," and "Zenyatta Mondatta" are among the most difficult aid climbs in existence. Perhaps the zenith of aid climbing was Bridwell and team's 1978 ascent of the "Pacific Ocean Wall" on El Capitan. A climb that demanded several tricky aid placementsmainly rurps,
copperheads, and hooksit set the standard for today's strenuous aid climbs.

Also in 1978, free climber Ray Jardine began marketing the Friend, a spring-loaded camming device that gripped a crack to provide a bombproof anchor. Friends and other camming devices have promoted clean climbing and permitted safer climbing of loose, dicey rock.

Today's aid climbers use a variety of protective devices, including cams, chocks, hooks, copperheads, and yes, pitons. Despite significant advances in the quality of climbing equipment, the sport's risk hasn't been totally eliminated. Aid climbers routinely risk falls of a hundred feet or more in their quest for height.

What does the future hold for aid climbing? Clean climbingthat is, without pitonswill continue to grow in step with environmental awareness. As equipment continues to improve, some longer aid climbs will cease to be multiday events, and fewer bivouacs will be needed. And perhaps someone will invent a new gizmo that will replace the destructive but heretofore necessary piton.

Just as long as they don't come up with something that eliminates the actual climbing."

1.11.09

Sang Juru Taman, part 35

sebuah sajak dari Rabindranath Tagore, sangat menyentuh..

oh orang gila, yang mabuk dengan indahnya..
Ketika kau datang dengan pintumu dan bertingkah di depan orang banyak;
Ketika kau kosongkan kantungmu di malam hari, dan jari-jari tanganmu gemeretak karena gemas tak mau peduli;
Ketika kau berjalan di jalan-jalan asing dan bermain-main dengan benda-benda tak berguna.

Tak pernah peduli mengapa dan untuk apa;
Ketika engkau, dalam menggulung layar sebelum badai, kau patahkan dayungmu jadi dua;
Aku mau mengikutimu, Sahabat-untuk mabuk dan binasa.
Telah kulewati hari-hari dan malam-malamku dalam berkawan dengan para tetangga yang selalu bijak.
Pengetahuan yang bertumpuk-tumpuk telah membuat rambutku beruban, dan banyak terjaga telah menjadikan mataku kabur.
Bertahun-tahun aku kumpulkan berbagai potongan dan pecahan beragam benda-benda.
Hancurkan semua itu dan menarilah di atasnya, lalu buanglah semua sampai tiada lagi yang tersisa.
Karena kini aku telah tahu puncak kearifan-yaitu menjadi mabuk dan binasa.
Biarkan segala beban yang memberati itu lenyap, dan biarlah aku sama sekali kehilangan jalanku.
Biarkan badai kekalutan yang ganas datang dan menyapu aku jauh dari tambatan.
Dunia ini dihuni orang-orang yang terhormat, serta para pekerja yang rajin dan cakap.
Ada orang yang menjadi terkemuka dengan mudahnya, ada yang lain menyusul kemudian dengan santunnya.
Biarkan mereka bahagia dan sejahtera, sedangkan aku sama sekali tak berguna.
Karena aku tahu akhir segala kerja-yaitu menjadi mabuk dan binasa.
Sejak saat ini aku telah bersumpah untuk membuang segala hasrat akan pangkat dan derajat.
Kulemparkan segala kebanggaanku akan pengetahuan dan pertimbangan tentang kebenaran dan kesalahan.
Akan aku remukkan bejana kenangan dan aku kibaskan tetes airmata penghabisan.
Dengan busa anggur merah akan kubasuh tawaku dan kujadikan ia cemerlang.
Lencana sopan-santun akan aku renggut dan kukoyak.
Janji suciku sudah tidak mungkin lagi akan berharga-menjadi mabuk dan binasa.
sajak ini saya dapat ketika hunting buku-buku Leo Tolstoy di perpustakaan fakultas ilmu budaya ugm