2.7.10

Gua Seropan, antara studi dan rekreasional (part 3)

Lupakan dulu pertanyaan-pertanyaan pada tulisan sebelumnya. Saatnya kembali ke sisi petualangan. Jam menunjukkan pukul 20.00 WIB, persiapan menuju lorong upstream dilaksanakan. Tiga buah tabung selam dan dua set peralatan diving dikeluarkan. Dua set tersebut digunakan untuk dua orang saja, sisanya mengenakan life vest agar tidak tenggelam. Fin, masker dan snorkel sudah cukup untuk menjelajari rute berat ini, dan tentunya ditambah alat dasar caving. Sambil mempersiapkan peralatan, kami mencuri-curi waktu dengan memasak beberapa sereal sebagai pengganjal perut agar tidak terlalu kedinginan saat melintasi rute upstream ini. Karena seperti perkiraan sebelumnya bahwa rute atas airnya lebih dingin karena kelembaban nya lebih tinggi bila dibandingkan dengan area sekitar downstream dan chamber.
Hanya butuh setengah jam untuk mempersiapkan peralatan, kami lalu beranjak turun ke bendungan. Secara berurutan diawali oleh Mada, Shinat, Irsyad, Danang dan saya. Sebagai permulaan, Mada berenang lebih awal untuk melihat batas ketinggian lorong stalaktit dengan permukaan air. Kami menunggu dan melihatnya dari kejauhan. Tidak lama terlihat ia mengalami masalah, tersedak air sungai! sepertinya ia kaget dengan rapatnya jarak antara stalaktit dengan permukaan air. Jaraknya sekitar 15cm, sehingga jika melewati area tersebut yang terlihat dari tubuh kita hanya mulai dari hidung hingga kepala. Memakan waktu sekitar 20 menit bagi kami melewati lorong tersebut. Dan tubuh sudah mulai menggigil.
Usai melewati lorong tersebut, kami ditakjubkan oleh bentukan alam yang berbeda dengan area sebelumnya. Pemandangan yang bisu, yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang berani dan mampu. Sebuah chamber dengan tonjolan stalaktit dan stalagmit dengan teras-teras yang terlapisi oleh tanah cokelat. “Seperti di negeri cokelat!” khayalku. Saya mencoba mendekat memegang setiap lapisan tanah tersebut, bentuknya sangat halus dan dari tingkatan gumpalannya termasuk jenis lanau, yang lebih halus dari lempung. Andai saja rasa tanah-tanah tersebut manis, milyaran semut pastilah mendirikan kerajaan cokelatnya disini. Lupakan khayalan tersebut dan kembali pada realita saat ini yang menggigil oleh dinginnya air.
Lima puluh meter kedalam, terdengar suara bising seperti genset. Pikiran saya tertuju pada turbin-turbin yang memancang dari atas gua, seperti kata cerita sang pemilik base camp. Dan benar ternyata tiang-tiang besi berdiameter 50cm menancap jauh kedalam bumi yang berfungsi menyedot air sungai gua ini. Bunyi suaranya memecah kesenyapan dan gelapnya gua ini. Tidak jauh, sekitar 50 meter dari tiang-tiang tersebut, lorong terhenti oleh dinding gua, aliran sungai sudah tidak terlihat lagi, dan kami belum mampu untuk menjelajahinya lebih dalam karena peralatan yang belum memadai disertai kondisi air yang zero visibility. Kembali ke chamber utama, mematikan cahaya yang tersisa, kami pun tidur pulas. Keesokan harinya diujung mulut gua, cahaya kecil mulai terlihat. Tampak seorang lelaki tua memanggul cangkulnya yang telah berkarat. Kami telah sampai di luar dan kembali ke basecamp untuk siap-siap kembali ke kota Yogyakarta tercinta.