1.12.09

Freesoloing Climbing

See this For the Madness..Lol..

If a climber wants to risk his life, that's his decision, but to encourage anyone to solo is to reserve a place in hell. Consequently, talking about free soloing makes me a little edgy. It also makes my palms sweat. I've soloed just enough to know both the beauty and the horrors of the venture, and am leery of over- or understating either side.

Scrambling unroped over easy terrain is a required part of climbing. 'Third classing" routes approaching your technical limit is not. Yet climbers do solo, and will continue to solo. So to ignore the topic altogether, to withhold information that possibly could save a person's life, seems recklessly mean and narrow-minded. Instead, I will pass on all that I can, hoping to limit the genuine risks.

No one argues that soloing is climbing in its purest form. That so few soloists fall suggests that sober, calculated judgement prevails over the naive notion of the foolish daredevil going off half-cocked. Herman Buhl, Reinhold Messner, Royal Robbins, and more recently, John Bachar and Peter Croftsome of the true legends of our sport-all have reputations fashioned, in part, from soloing. Still, while we laud these climbers, a definite taboo shrouds their exploits. Certainly, difficult soloing is reserved for the full-blown expert, for those who eat, sleep, and drink climbing. But even for accomplished soloists the practice is a minefield full of clear and subtle dangers. The likelihood is much overstated, but one should never get lured into soloing through peer pressure or dubious ambitions, like achieving fame. It's undeniable that many active climbers routinely solo easy, or even moderate, routes. A few solo desperate routes (5.11 and up). But I've also known plenty of world-class climbers who never solo, no matter how easy the terrainand if anything, their reputations have grown from their forbearance. The point is, soloing is one aspect of the sport where you cannot, or should not, emulate other climbers.

What then, is the lure? By dint of the frank jeopardy involved, soloing evokes feelings of mastery and command, plus a raw intensity that even a million-dollar-a-year ball player will never experience: not in the Super Bowl; not in the World Series; not on center court at Wimbledon. And therein lies the snare. Following a particularly rewarding solo, when everything has clicked, the climber feels like a magician. These feelings can actually foster a sham sense of invincibility. Hence, it's not unheard-of that a narrow escape is followed by an eagerness to push things just a tiny bit further, and so on, until the soloist is courting doom. And he'll most assuredly find it if he doesn't quickly back off. The whole insidious business is closely tied to anything that is exhilarating, deadly, and fiendishly addictive. Whenever desire overrides judgement, bad things happen. If the soloing fool is fortunate, he'll have a harrowing close call, and he won't be the first to swear, "Never again!"

On the other hand, soloing has provided me with some of the sharpest, and greatest, experiences of my climbing career. Particularly on longer routes, the charged mix of fear and focus strips away any masks, exposing the most fundamental self. It's one way of finding out, once and for all, who you really are. It's also a sure way to die if so much as a single toehold pops. Understand this: The potential penalties simply are too high to rationalize risking your life to scale a section of stone. Wrap your reasoning in rarefied language, and maybe you'll touch on a vague truth. It's also true that my friend Tobin Sorrensona talented, beautiful, and outrageous young mandied while soloing the North Face of Mount Alberta. His death, at age 24, showed me the unforgiving side of the game, minus all the poetry and shimmering sunsets. It was a personal revelation of another, perhaps more significant kind. You just want to slog home and hug your child, kiss your wife, call your momtell someone you care about how much you love them. So when you're at the base, gazing up at the rock, review the soloist's code: "If there is any doubt about it, forget it!" If you do cast off, make certain you're doing so for your own good reasons.

How To Rock Climb: Sport Climbing by John Long. 1997. Falcon Guide

27.11.09

STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD X-XI

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Latar Belakang
Keadaan geografi pulau Jawa yang memiliki gunung-gunung api dan sungai membuat tanah menjadi subur. Potensi ini didukung oleh curah hujan yang rata-rata cukup banyak (±2000 mm per tahun), khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya, menyebabkan rata-rata kelembaban udara yang cukup tinggi pula. (Sutikno:1993) Pada masa Jawa Kuna terdapat beberapa kerajaan seperti Kerajaan Mataram Kuna, Singasari dan Kadiri dan Majapahit. Mayoritas masyarakat kerajaan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini didasari oleh tanah-tanah di pulau Jawa yang relatif subur. Hal ini karena banyaknya gunung-gunung api serta curah hujan yang tinggi. Kerajaan pada masa lalu sepertinya memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Pendapatannya kerajaan-kerajaan agraris diperoleh dari pengumpulan hasil bumi, upeti dari raja bawahan dan denda dari putusan peradilan dan pajak (Dwiyanto: 1993).

Akan tetapi karena curah hujannya relatif tinggi menyebabkan lahan pertanian penduduk dari masa jawa kuna bahkan sampai saat ini sering terjadi banjir. Kerugian yang diderita oleh petani sangat besar karena untuk mengolah sawah sangat menyita waktu dan tenaga. Karena para petani harus melewati tahapan dalam mengolah lahannya (Abu: 1990). Banjir yang terjadi tidak hanya berpengaruh terhadap pertanian saja, melainkan juga menyangkut bidang lain seperti perdagangan dan religi. Adanya banjir juga mengurangi pendapatan kerajaan dari sektor pajak (Djoko Dwiyanto: 1992). Dampak banjir dibidang perdagangan adalah macetnya jalur lalu lintas air, sehingga pedagang tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Pada bidang religi adalah banyaknya tempat atau bangunan suci yang rusak dan hancur akibat terkena banjir.
B. Rumusan Masalah
Banjir merupakan fenomena yang terjadi dimana suatu wilayah atau sistem pengairan tidak mampu menampung limpahan air. Sawah atau lahan pertanian biasanya terletak di tepi sungai atau memiliki sungai sebagai pengairan. Sehingga jika sistem pengairan tidak mampu menampung air maka akan terjadi banjir dan sawah akan terkena dampaknya. Jika sebuah lahan pertanian terkena banjir maka segala tanaman akan basah dan layu sehingga akan mati. Dengan kondisi ini, maka petani akan dirugikan oleh adanya banjir. Sehingga akan menghambat pertanian. Selain itu dampak banjir juga berpengaruh pada bidang perdagangan, bidang religi bahkan pendapatan kerajaan dari sektor pajak juga ikut terpengaruh. Oleh karena itu para korban banjir pasti akan mencari solusi atau strategi untuk penanggulangan bahaya banjir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi penanggulangan banjir pada masyarakat jawa kuna. Adapun pertanyaan yang muncul untuk memecahkan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir yang terjadi pada masa Jawa Kuna abad V-XI?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran Induktif. Metode penalaran induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan adalah prasasti dan data sekunder lainnya yang diperoleh dari skrisi, buku dan artikel. Tahap yang kedua adalah pengolahan dan analisis data-data yang telah diperoleh. Tahap yang ketiga atau tahap yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.


STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD V-XI
(Kajian Terhadap Prasasti Tugu Abad 5 M, Bakalan 934 M, dan Kamalagyan 1037 M)
Meskipun air dari sungai mempunyai manfaat yang besar, baik untuk pertanian, lalu lintas dan kebutuhan manusia yang lain, akan tetapi keberadaan sungai itu sendiri perlu mendapatkan perhatian khusus didalam pengelolaannya. Pengelolan sungai disamping untuk memenuhi kebutuhan manusia juga dimaksudkan untuk menghindari adanya bahaya yang dapat ditimbulkan dari sungai tersebut, yaitu bahaya banjir. Banjir merupakan peristiwa alam yang terjadi akibat melimpahnya air yang ada dipermukaan. Sebab-sebab banjir dikarenakan tidak mempunyai sungai untuk menampung air, kurangnya tingkat peresapan tanah, dan lebih rendahnya permukaan daratan dari pada permukaan air. Selain pada masa kini ternyata banjir juga pernah terjadi pada masa Jawa Kuna. Berikut ini adalah prasasti-prasasti yang memuat informasi tentang penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna, diantaranya prasasti Tugu abad ke-5 M, prasasti Bakalan 934 M dan Prasati Kamalagyan 1037 M. Adapun kutipan dari masing-masing prasasti adalah sebagai berikut:
A. Prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh raja Punawarman:
1. Pura rajadhirajena guruna pinabuna
2. Khata khyatam purim prapya candra bhagarnnavam yayau…
7. dvavincena nadi ramya gomati nirmaludaka
8. pitamahasya rajarser widaraya cibiravanim
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
1. Dulu raja yang mulia yang mempunyai lengan yang kuat
2. Menggali sungai bernama Candrabhaga buat mengalirkannya kelaut, setelah (kali ini) sampai di istana yang termasyur…

7. Menggali sungai Gomati permai dan berair jernih
8. Setelah sungai itu mengalir ditengah-tengah kediaman sang pendeta nenekda (Sang Purnawarman)
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Pembuatan saluran di Gomati dan Candrabhaga dapat diinterpretasikan sebagai usaha raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara didalam upaya mengendalikan aliran sungai dan mengatasi banjir yang disebabkan oleh meluapnya air di daerah tersebut sehingga perlu dibuat saluran untuk mencegah terjadinya banjir. Interpretasi ini didasarkan pada analogi dari isi prasasti yang menyebutkan penggalian saluran air yang dilaksanakan pada bulan Caitra yang merupakan bulan pertengahan Maret hingga pertengahan April. Bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan dan permulaan musim kemarau. (Ph. Subroto: 1985). penggalian ini kemungkinan untuk menanggulangi banjir sebagai akibat berdasarkan pengalaman banjir pada musim hujan, yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.
B. Prasati Bakalan 934 M atau Prasasti Wulig
8. “…Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. Pagehaken ikang dawuhan katrini I halunan
10. I wuatan wulas I wuatan tamya
11. irikana dawuhan muang umajara kamu tepangu
12. pullakna dawuhan telyenu Ikana weluran
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
8. “…Rarakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. memerintahkan membuat bendungan di tiga tempat, yaitu di kahulunan
10. di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya
11. di sana bendungan itu dan memberitahu (mereka) memegang teguh itu dari keinginan untuk
12. mengalirkan air dan menyatukan 3 bendungan disana
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Prasasti ini berisi perintah Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil untuk membuat tiga bendungan di daerah Kapulungan , Wuatan wulas , dan Wuatan Tamya. Dalam prasati ini memang tidak disebutkan bahwa bendungan dibuat untuk penanggulangan banjir. Namun berdasarkan kondisi geografis di pulau Jawa memiliki curah hujan tinggi dimungkinkan salah satu fungsi dari pembangunan bendungan ini adalah untuk penanggulangan banjir
C. Prasasti Kamalagyan 1037 M yang dikeluarkan pada masa Raja Airlangga:
7. “… Sambandha, cri maharaja madamel dawuhan ring waringin sapta imahnikanganak ri kamala
8. gyan punyahatu tan swartha, kahaywaknaning thani sapasuk hilir lasun palinjwan. Sijanatyesan panjiganting talan. Dacapangkah. Pangkaja. Tka ring simarasirna. Kala, kalagyan, thani jumput. Wihara ca
9. Ia, kumulan, parahyanganm parapatan, makamukyabhuktyan. Sang hyang dharma ringicanabhawana mangaran I surapura, samangkana kwehnikang thani kawahan kededetan cariknya denikang kanten tmahan bangsawan amgat ri wa
10. ringinsapta, dumadyakan unanikang drabyhaji mwanghilang nikang carik kabeh, aphan dulabha kawnanganikatambakaning bangsawan amgat de parasamya makabeh, tan pisan nambak parasamya…”
13. “ring parapuhawang prabanyaga sangkaring dwipantara, samanunten ri hujung galuh ikang anak thani sakawahan kadedetan sawahnya, atnyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah sawahnya kabeh an pinunya
14. ri tambak hilinikang bangawan amgat rig waringin sapta de cri maharaja…”
(Brandes: 1913 dalam Wulandari: 2001)
Artinya:
7. “…(demikianlah) sebabnya Sri Maharaja membangun bendungan Waringin Sapta di desa Kamala
8. gyan untuk kesejahteraan desa Lasun, Palinjwan, Sijatatyesan, Panjiganting Talan, Dacapangkah, Pangkaja, hingga semua tempat (sima) itu musnah, kala, kalagyan, thani jumput, wihara, ca
9. Ia, kamulan, Parhyangan, Parapatan, tempat suci yang bernama Icanabhawana di Surapura, begitulah pemberian (pembuatan bendungan) yang berkali-kali terkoyak oleh bengawan yang bercabang di Wa
10 ringin sapta, tiba-tiba semua milik raja menjadi hancur, tidak hanya sekali pembuatan tnggul oleh pejabat setempat…”
13. yang menghubungkan antara pulau, berkumpul semua di Hujung Galuh, penduduk desa yang sawah tanahnya terkena banjir menjadi senag hatinya karena berakhirnya banjir itu sehingga hasil sawahnya dapat dimiliki dengan
14. ditanggulnya aliran sungai Waringin Sapta oleh Sri Maharaja…”
(Wulandari: 2001)
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya mungkin banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah sima yang mengalami banjir yaitu Kala, Kalagyan, Thani Jhumput, Wihara Cala, kamulan, dan parapatan (Soekmono 1973). Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan), yang menurut Soebroto ialah sungai Brantas. Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan (Soebroto: 1985).
Melihat dari isi prasasti tersebut, prasasti kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang.
Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai tehadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gcunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat setempat. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan ini, Maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tanggul yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis terhadap tiga prasasti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masa jawa kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air, seperti pada prasasti yang menjadi kajian pada makalah ini. Dari isi ketiga prasasti tersebut dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga dapat terhindar dari bahaya banjir.
2. Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu. Rifai, Dkk. 1990. Teknologi Pertanian Sebagai Tanggapan Terhadapa Lingkungan di Cianjur. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Subroto, Ph. 1985. Sistem Pertanian Masyarakat Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis. Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. Dalam Prof. Sartono Kartodirjo “700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai”. Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Wimbo Widayati. W. 1998. Upaya Pelestarian Pada Masyarakat Jawa Kuna Berdasarkan Prasasti Abad V-XV M. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wulandari Naning. 2001. Upaya Peningkatan Hasil Pertanian Pada Masa Jawa Kuna Abad IX-XV. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

SISTEM PENGUBURAN MEGALITIK DI GUNUNG KIDUL (Kajian Situs Kajar, Sokoliman, dan Bleberan)

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Pendahuluan
Latar Belakang
Peninggalan Tradisi megalitik di Daerah Istimewa Yogyakarta ditemukan didaerah kabupaten Gunung Kidul. Peninggalan tersebut berupa kubur-kubur peti batu, batu-batu tegak , arca-arca menhir serta lumpang batu. Penelitian terhadap tinggalan di daerah ini telah dilakukan oleh Vanderhop tahun 1935. Kubur batu di Gunung Kidul ditemukan di daerah Kajar, Wono Budo, Playen, Bleberan, Sokoliman, Gunung Abang dan Gunung Gondang. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Salah satu konsepsi kepercayaan yang sangat menonjol dalam masyarakat prasejarah di Indonesia adalah sikap terhadap kehidupan sesudah mati. kepercayaan yang berlatar belakang animisme dan dinamisme tersebut mempunyai anggapan bahwa roh seseorang dianggap mempunyai kehidupan dialamnya tersendiri sesudah meninggal, sehingga perlu diadakan upacara-upacara sebelum dikuburkan. Konsepsi kepercayaan yang paling menyolok dalam kaitannya dengan upacara kematian adalah sistem penguburan, terutama bagi mereka yang dianggap terkemuka oleh masyarakat. Sistem penguburan tersebut biasanya dilakukan secara langsung (Primer) maupun tidak langsung (sekunder) dengan menyertakan bekal kubur berbentuk benda-benda pusaka, senjata, perhiasan, dan mungkin juga makanan yang diletakkan dalam periuk-periuk sekitar mayat. Bekal kubur tersebut kadang-kadang juga berupa binatang (anjing, babi) dan manusia yang khusus dikorbankan dengan maksud agar arwahnya dapat ikut serta dengan roh si mati ke alam baka. Kehidupan di alam arwah dipandang sama keadaannya dengan dunia orang hidup, oleh karena itu kesejahteraan arwah harus tetap terjadi untuk menjaga kelangsungan hubungan dengan orang-orang yang ditinggalkan agar dapat terus berlangsung dengan baik (Soejono:1984 dalam Haris Sukendar: 1993).
Sistem religi di Indonesia mulai dikenal sejak adanya pola penguburan sederhana, yaitu menguburkan mayat dekat dengan tempat tinggal sehingga bercampur dengan peninggalan-peninggalan lain seperti alat-alat litik, cangkang-cangkang kerang dan sebagainya. Indikator yang dapat dijadikan petunjuk adanya sistem penguburan didasarkan pada temuan sisa rangka baik yang ada di lingkungan alam terbuka maupun yang ada di gua-gua atau ceruk. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Permasalahan dan Tujuan
Pentingnya upacara kematian dalam proses hidup manusia telah menyebabkan berkembangnya sistem-sistem penguburan yang berlangsung pada masyarakat prasejarah. Akibatnya pada masa perundagian atau masa akhir prasejarah di Indonesia telah dikenal berbagai bentuk dan sistem penguburan yang beragam. Bukti-bukti tentang adanya berbagai bentuk dan sistem peguburan tersebut telah ditemukan disejumlah situs arkeologi yang terbesar diberbagai tempat di Indonesia.
Permasalahan yang muncul dari hal diatas, sehingga penulis berinisiatif untuk menyusun makalah ini adalah:
1. Bagaimanakah sistem penguburan di situs-situs megalitik di wilayah Gunung Kidul?

Tujuan pokok dari tulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai bagaimana sistem penguburan megalitik di wilayah Gunung Kidul.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran induktif. Metode penalaran Induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap yang pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan merupakan data-data sekunder yang berupa hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan pokok bahasan yang dibahas dalam makalah ini sebagai obyek kajian analisis serta data-data mengenai sistem-sistem penguburan yang ada pada masa prasejarah sebagai acuan dalam proses analisis. Tahap yang kedua adalah tahap pengolahan data. Data-data yang telah diperoleh dianalisis sehingga dapat menjawab permasalahan yang ada. Tahap yang ketiga atau yang terakhir adalah tahap penarikan kesimpulan.


Landasan Teori
Menurut Soejono (1969) sistem penguburan di Indonesia dilakukan dengan beberapa sistem yaitu sebagai berikut:
1. Penguburan langsung (tunggal dan ganda), yang mencakup:
a) Kubur primer tanpa wadah
b) Kubur primer tertutup (dengan wadah)menggunakan: Sarkofagus, Peti Kubur Batu, Kalamba/Waruga, Kamar batu, Struktur seperti Dolmen, dan Tempayan
2. PenguburanTertunda
a) Kubur sekunder tanpa wadah (lengkap dan selektif)
b) Kubur Sekunder tertutup (dengan wadah), menggunakan: Tempayan dan Sarkofagus (lengkap dan selektif).
3. Penguburan kombinasi (tunggal dan ganda)
a) Kubur primer tanpa wadah + kubur sekunder tanpa wadah
b) Kubur primer tanpa wadah + kubur sekunder tertutup (dengan wadah)
4. Penguburan terbuka (kadang-kadang diikuti dengan pengebumian selektif)
Selanjutnya Soejono mengatakan bahwa rangka-rangka pada kubur primer biasanya menunjukkan peletakan mayat dalam berbagai posisi yang terdiri atas 3 sistem utama yaitu sebagai berikut:
1. Posisi terlentang dengan berbagai cara penempatan anggota badan bagian atas.
2. Posisi terlipat atau semi terlipat, termasuk dorsal (terlentang) dan menyamping.
3. Posisi jongkok
4. Posisi sujud (sangat jarang)
(Soejono:1969: dalam Bagyo Prasetyo dkk: 2004)

B. Temuan Kubur di Gunung Kidul
Kompleks kubur peti batu di Gunung Kidul telah diteliti oleh J.L Moens pada tahun 1934, kemudian dilanjutkan oleh van der Hoop pada tahun berikutnya. Peti kubur tersebut antara lain terdapat di Kajar, Sokoliman, dan Bleberan. Pada kubur peti batu di Kajar ditemukan 35 individu bertumpukan pada kedalaman 80 cm dengan bekal kubur beberapa alat dari besi , antara lain arit. Temuan lain berupa cicin perunggu, dan sebuah mangkuk terakota. Pada salah satu rangka ditemukan sebialah pedang besi yang telah patah, dipegang ditangan kiri, sedangkan pada pedang itu sendiri melekat bekas-bekas tenunan kasar. Kubur peti batu yang ditemukan di Bleberan berisi 3 manusia bertumpukan dalam posisi terlentang dengan kepala di sebelah utara. Tiga buah benda besi terletak di atas dada rangka yang paling atas., cincin tembaga,pisau besi, dan beberapa manik-manik tersebar di antara rangka-rangka tersebut. (R.P. Soejono: 1984 dalam Goenadi: 1989). Ekskavasi yang dilakukan van der Hoop pada tahun 1935 di daerah Kajar, Sokoliman, Bleberan, Wonobudo, Gunung Abang dan Gunung Gondang ditemukan peti kubur batu berisi beberapa individu yang dikubur dengan posisi lurus. Bersama kerangka manusia juga ditemukan pula benda-benda dari besi dan fragmen perunggu, manik-manik serta benda-benda dari gerabah. (Bagya Prasetyo dkk: 2004)
Penelitian selanjutnya adalah pada bulan November 1985 dilakukan oleh Balai Arkeologi Yogyakarta terhadap peti kubur batu di Sokolima. Dalam penelitian tersebut digali 3 kubur peti batu yang berkode D22A, D22B, dan D24B yang keaadaannya dianggap paling baik meskipun seluruh kubur tersebut terdiri atas pecahan gerabah(kereweng), tulang manusia, tulang hewan, fragmen logam, manik-manik, dan arang (Goenadi dan Haris Sukendar: 1986 dalam Goenadi 1989). Dari analisis terhadap temuan fragmen tulang manusia (setelah dianalisis) diketahui bahwa dari kubur D22A terdapat individu dan dari D22B ditemukan 5 individu, sedangkan dari D24B tidak dapat diidentifikasikan karena pecahannya sangat kecil. Hasil analisis tulang hewan terdapat 3 jenis hewan yaitu: Babi, banteng, dan rusa (Goenadi:1989).

C. Analisis Kubur
Pola hubungan Anatomis antara berbagai jenis tulang yang membentuk rangka dapat menujukkan posisi, sikap, bentuk perlakuan mayat/rangka (perlakuan pertama atau perlakuan kedua), dan orientasi mayat ketika dikubur. Dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua penguburan di Gunung Kidul dilakukan dengan sistem penguburan langsung. Tulang-tulang yang ditemukan di situs-situs Gunung kidul ditemukan utuh walaupun sudah rapuh dan dalam posisi tertumpuk. Tidak ada indikasi adanya penguburan tertunda, ciri-ciri mayat yang dikubur tertunda akan memperlihatkan gejala susunan tulang yang tidak berhubungan secara anatomis (Soeprijo: 1982 dalam Lutfii: 2006), tidak berartikulasi, atau tidak lengkap (Soejono: 1977 dalam Lutfi: 2006), atau hanya diwakili oleh bagian-bagian tertentu dari rangka (Lutfi: 2006).
Selain itu, bukti yang menguatkan penguburan dilakukan secara langsung adalah semua penguburan dilakukan dengan wadah yang berupa peti kubur batu. Disebut peti kubur batu karena wadah kubur ini berbentuk seperti peti yaitu terdiri dari sebuah alas yang dibatasi dengan dua dinding memanjang dan dua buah dinding melebar serta dilengkapi dengan sebuah tutup. Masing-masing bidang terbuat dari lempengan-lempengan batu. Tidak ada temuan yang memperlihatkan penguburan sementara, seperti penguburan yang dilakukan didalam tempayan.
Berdasarkan data-data penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa dalam satu wadah kubur ditemukan lebih dari satu rangka dengan posisi mayat diletakkan secara membujur lurus dengan keadaan terlentang namun karena terbatasnya data yang didapat tidak diperoleh keterangan secara lengkap mengenai sikap-sikap tubuh si mayat ketika dikubur.
Penguburan di Gunung Kidul juga dilengkapi dengan berbagai benda penyerta sebagai bekal kubur. Bekal kuburnya antara lain benda-benda dari besi dan fragmen perunggu, manik-manik, benda-benda dari gerabah tulang hewan, fragmen logam, dan arang. Adapun pengertian bekal kubur adalah berbagai perlengkapan atau jenis benda yang biasanya disertakan bersama mayat dalam satu penguburan (Joukowsky: 1980 dalam Lutfi: 2006), baik yang dilakukan pada penguburan langsung maupun tidak langsung, mencakup benda-benda upacara, perhiasan, hewan peliharaan, dan mungkin saja manusia (budak atau musuh) yang sengaja dikorbankan (Soejono:1977 dalam Lutfi: 2006). Bekal kubur umumnya diletakkan disisi atau berdampingan dengan mayat, atau dapat pula diartikan sebagai benda-benda yang diposisikan secara sengaja bersama mayat, tetapi bukan merupakan bagian dan struktur kubur atau peralatan yang digunakan untuk membawa mayat (Clark: 1975 dalam Lutfi 2006).

D. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem penguburan megalitik pada masa prasejarah yang dilakukan di Gunung Kidul adalah sistem penguburan langsung (Primer) dengan menggunakan wadah yang berupa peti kubur batu. Penguburan juga dilengkapi dengan bekal kubur yang berupa benda-benda dari besi, fragmen perunggu, manik-manik, benda-benda dari gerabah tulang hewan, fragmen logam, dan arang. Di gunung kidul tidak ditemukan sistem penguburan sekunder atau penguburan tidak langsung. Hal ini tampak pada temuan tulang atau rangka manusia disitus megalitik Gunung Kidul, tidak ada yang ditemukan dalam wadah sementara seperti periuk.
Melihat dari temuan-temuannya dapat diketahui bahwa dalam prosesi penguburannya sudah ada upacara-upacara sebelum dikubur. Hal ini dapat dilihat dari bekal kuburnya yang berupa tulang hewan dan benda-benda gerabah, dimana keduanya merupakan perlengkapan pada upacara-upacara pada masa prasejarah bahkan sampai pada masa Hindu masih ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA
.
Lutfi Yondri. 2006. Analisis Kubur Prasejarah Temuan Dari Gua Pawon. Kars Citatah, Kabupaten Bandung. Dalam Arkeologi Dari Lapangan Ke Permasalahan. Jawa Barat
Nitihaminoto Goenadi. 1989. Bentuk-bentuk Gerabah Kubur Peti Batu Sokoliman: Hubungan Dengan Tahap Penguburan. Berkala Arkeologi.
Prasetya Bagya, Dkk. 2004. Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia. Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Proyek Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi. Jakarta
Sukendar Haris. 1993. Benda-Benda Logam pada Tradisi Megalitik di Indonesia (Kajian Peranan dan Fungsi). AHPA IV. Jakarta: Puslit Arkenas. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


26.11.09

History of Aid Climbing

Did you know about Aid Climbing?? Check this out!!...

Some climbing historians date the origin of aid climbing to June 1492, when France's Charles VIII ordered his chamberlain, Antoine de Ville, and a handful of companions to scale Mont Aiguille (6,783 feet). To reach the summit of what was previously believed to be an unassailable peak, the de Ville party used aid in the form of wooden ladders.

Most climbers, however, view the 1786 ascent of Mont Blanc, which also required wooden ladders, as the true beginning of aid climbing. In the eighteenth and nineteenth centuries, it was not uncommon for guides and porters to lug heavy wooden ladders to the base of difficult rock steps.

Artificial aids were scorned by many climbers, and as alpine clubs were organized, opposition grew to what mountaineer Geoffrey Winthrop Young termed "publicity stunting and mechanical acrobatics."

Despite such vocal opposition, history is replete with accounts of artificial climbing on many important first ascents prior to the twentieth century. In Yosemite, aid was used by Scotsman George Anderson to ascend the "inaccessible" Half Dome in 1875. In an engineering feat that took six weeks, he drilled bolts in the granite dome and strung a rope ladder to the summit. The oft-photographed Devil's Tower in Wyoming received its first ascent in 1893 via a 350-foot wooden ladder hammered into cracks.

Aid climbing really started to take hold after the turn of the twentieth century, spurred by improvements in equipment, especially pitons and carabiners. Used in conjunction with the climbing rope, better equipment permitted better technique. Europeans, who had been responsible for most of these advances, could now attack steeper, more difficult faces. Some of the great spires of the European Alps were climbed, though not without a price. The death toll soared as climbers tried to push their equipment beyond its limits.

It would take a Swiss-born blacksmith named John Salathé to upgrade the equipment for the next climbing breakthrough. Salathé moved to California and began a climbing career at age forty-six. He discovered that the soft iron pitons imported from Europe were no match for the hard granite cliffs of Yosemite. One day he was climbing a crack that narrowed to almost nothing. Upon closer investigation, he saw a blade of grass growing out of the minute crack. "If a blade of grass can come out," he thought, "a piton can go in." But when he tried to drive in an iron piton, it just bent.

Using his knowledge as a metal worker, Salathé hand-forged a piton from strips of high-strength carbon steel salvaged from discarded Model A axles, creating the first hard steel pitons in the world. Then he returned to the tiny crack. As he later told the story in his heavy Swiss accent, "I took my piton and I pound and pound, and it goes into the rock." Salathé, whom Yvon Chouinard would call "the father of big-wall climbing," was now able to nail up hitherto hopeless cracks and thus avoid the need for bolts. Even today, fifty years later, Salathé's Lost Arrow design is regarded as the best for small pitons.

The effect was to revolutionize both free climbing and aid climbing. Freed of the burden of lugging extra backup pitons to replace ruined ones, climbers were able to carry more food and water, allowing them to attempt longer and more arduous faces. The twelve years after the introduction of Salathé's pitons saw every major cliff in Yosemite climbed: Lost Arrow Spire in 1946; Sentinel Rock in 1950; the great Northwest Face of Half Dome in 1957; El Capitan in 1958. It was the realization of what climber-photographer Galen Rowell would call "Yosemite's potential as the ideal locale for testing human limits on rock."

In the early fifties, California climber Chuck Wilts invented the knife-blade piton, using chrome-molybdenum aircraft steel for the first time. These pitons, smaller than anything available at the time, could fit in cracks no wider than a dime.

Although most of Europe's major rock faces had been ascended by the time climbing caught on in the United States, Americans now took the lead in aid climbing, especially on big walls. In 1957, when Royal Robbins, Jerry Gallwas, and Mike Sherrick climbed the Northwest Face of Half Dome, it catapulted Yosemite to the forefront of big-wall aid climbing, a position it would hold for several decades.

In 1958, in a monumental engineering feat that received a lot of attention, Warren Harding and various partners conquered the South Buttress of El Capitan, the most difficult and technical aid climb in the world. Three years later, Royal Robbins, regarded as the finest aid climber in the world, teamed up with Chuck Pratt and Tom Frost to climb the Salathé Wall on El Capitan, named for their innovative predecessor.

Many climbers today still regard the Salathé Wall as the finest rock climb in the world. And although it has been climbed without aid, most climbers still employ aid moves to scale this classic route.

Royal Robbins and his peers were far from done. In 1964, Robbins, Yvon Chouinard, Frost, and Pratt completed the extremely strenuous North America Wall on El Capitan, which was immediately given the title ''most difficult aid climb in the world." It seemed that each time Yosemite climbers found a new climb, it acquired that reputation.

Yvon Chouinard, like John Salathé, had a huge impact on both equipment design and ethical standards. His invention of the rurp (realized ultimate reality piton), a tiny postage-stamp-sized piton that could fit in a crack no wider than a blade of grass, helped to reduce the need for placing bolts. Chouinard also designed the chock, a piece of hardware that fits securely in a crack or behind a flake, greatly reducing the damage that results from repeated piton placements. In fact, it was Chouinard who spearheaded the movement toward clean climbing that took hold in the seventies.

If Royal Robbins was the most prolific aid climber of the sixties, Jim Bridwell was the dominant force of the seventies and eighties. His ascents of aid routes with names like "Sea of Dreams," "The Big Chill," and "Zenyatta Mondatta" are among the most difficult aid climbs in existence. Perhaps the zenith of aid climbing was Bridwell and team's 1978 ascent of the "Pacific Ocean Wall" on El Capitan. A climb that demanded several tricky aid placementsmainly rurps,
copperheads, and hooksit set the standard for today's strenuous aid climbs.

Also in 1978, free climber Ray Jardine began marketing the Friend, a spring-loaded camming device that gripped a crack to provide a bombproof anchor. Friends and other camming devices have promoted clean climbing and permitted safer climbing of loose, dicey rock.

Today's aid climbers use a variety of protective devices, including cams, chocks, hooks, copperheads, and yes, pitons. Despite significant advances in the quality of climbing equipment, the sport's risk hasn't been totally eliminated. Aid climbers routinely risk falls of a hundred feet or more in their quest for height.

What does the future hold for aid climbing? Clean climbingthat is, without pitonswill continue to grow in step with environmental awareness. As equipment continues to improve, some longer aid climbs will cease to be multiday events, and fewer bivouacs will be needed. And perhaps someone will invent a new gizmo that will replace the destructive but heretofore necessary piton.

Just as long as they don't come up with something that eliminates the actual climbing."

1.11.09

Sang Juru Taman, part 35

sebuah sajak dari Rabindranath Tagore, sangat menyentuh..

oh orang gila, yang mabuk dengan indahnya..
Ketika kau datang dengan pintumu dan bertingkah di depan orang banyak;
Ketika kau kosongkan kantungmu di malam hari, dan jari-jari tanganmu gemeretak karena gemas tak mau peduli;
Ketika kau berjalan di jalan-jalan asing dan bermain-main dengan benda-benda tak berguna.

Tak pernah peduli mengapa dan untuk apa;
Ketika engkau, dalam menggulung layar sebelum badai, kau patahkan dayungmu jadi dua;
Aku mau mengikutimu, Sahabat-untuk mabuk dan binasa.
Telah kulewati hari-hari dan malam-malamku dalam berkawan dengan para tetangga yang selalu bijak.
Pengetahuan yang bertumpuk-tumpuk telah membuat rambutku beruban, dan banyak terjaga telah menjadikan mataku kabur.
Bertahun-tahun aku kumpulkan berbagai potongan dan pecahan beragam benda-benda.
Hancurkan semua itu dan menarilah di atasnya, lalu buanglah semua sampai tiada lagi yang tersisa.
Karena kini aku telah tahu puncak kearifan-yaitu menjadi mabuk dan binasa.
Biarkan segala beban yang memberati itu lenyap, dan biarlah aku sama sekali kehilangan jalanku.
Biarkan badai kekalutan yang ganas datang dan menyapu aku jauh dari tambatan.
Dunia ini dihuni orang-orang yang terhormat, serta para pekerja yang rajin dan cakap.
Ada orang yang menjadi terkemuka dengan mudahnya, ada yang lain menyusul kemudian dengan santunnya.
Biarkan mereka bahagia dan sejahtera, sedangkan aku sama sekali tak berguna.
Karena aku tahu akhir segala kerja-yaitu menjadi mabuk dan binasa.
Sejak saat ini aku telah bersumpah untuk membuang segala hasrat akan pangkat dan derajat.
Kulemparkan segala kebanggaanku akan pengetahuan dan pertimbangan tentang kebenaran dan kesalahan.
Akan aku remukkan bejana kenangan dan aku kibaskan tetes airmata penghabisan.
Dengan busa anggur merah akan kubasuh tawaku dan kujadikan ia cemerlang.
Lencana sopan-santun akan aku renggut dan kukoyak.
Janji suciku sudah tidak mungkin lagi akan berharga-menjadi mabuk dan binasa.
sajak ini saya dapat ketika hunting buku-buku Leo Tolstoy di perpustakaan fakultas ilmu budaya ugm

22.10.09

Pekalongan (semakin) panas

Panas..sebuah kata yg menonjol untuk menunjukkan bayangan mengenai pekalongan..dan itu memang benar sekali..hawa yg berbeda dengan yg saya dapati di jogja. Malam itu kami mulai mengurus perlengkapan ATK hingga pukul 2 pagi, dilanjutkan paginya jam 7 sudah harus siap2 mendroping logistik ATK tersebut ke balai rapat Bapedda Kab Pekalongan. Tanpa sarapan kegiatan berjalan..lengkap dgn kaus hijau oranye plus cocard kami menuju balai rapat. Aku terhenti ketika keringat menetesi mata hingga sdkit mengganggu penglihatan. Tak terasa kaus ku basah kuyup dengan keringat. Ku duduk sebentar dibawah pohon yg tidak begitu besar, setidaknya tubuhku aman dari terpa sinar matahari. Ku buka facebook untuk melihat status kawan2. Isi status2nya beragam, namun yg ku fokuskan yaitu berita seseorang yg baru saja menyelesaikan skripsinya. Mentalku tergugah, seakan ada orang yg mengetuk pintu pikiran,..menoyor kepala,..menusuk tubuh,..entah apa yg intinya mengingatkanku pada tugas akhir itu..(suhu semakin panas saja,hehe..), -dilanjutin bsk aja dh, ngantuk..- 11okt, 02.09 wib

pagi itu aku terbangun lalu mandi dan siap2 meluncur ke 3 desa yg telah ditetapkan dlm rapat semalam. Pagi itu penuh motivasi, melihat daerah baru, orang2 baru, kultur baru, dan tentunya permasalahan baru. Kinerja kali ini lebih berat dr sebelumnya. Problematika yg dihadapi kompleks, jika dikerucutkan maka menonjol 2 problem utama yaitu sifat materialistis wargabelajar dan miskomunikasi dlm tataran struktural. Untuk hal pertama terjadi karena implikasi dr kegiatan2 PBA sebelumnya yg tdk ssuai dgn kaidah pembelajaran. Sblmnya, PBA pernah ada dsini dalam bentuk KKN dan dikoordinir oleh salah satu universitas swasta lokal dan beberapa ormas. Problem dasar ktika itu ialah rendahnya minat warga untuk belajar. Langkah strategis yg mereka ambil dr pemecahan problem tsb ialah memberikan 'motivasi', dlm tnd kutip, yg bersifat materi dlm bntuk uang, makanan, seragam dll. Tanpa disadari langkah trsbt telah mengkultur di masyarakat, mengubah pola pikir ke arah yg salah, tujuan dr pembelajaran telah berubah mulai dr niat untuk tulus belajar membaca menulis menjadi niat mendapatkan uang dan materi lainnya. -mandi dlu- 11okt, 22.05 wib

1hr 20mnt 24s yang mengagumkan

3 detik kemudian suara itu terdengar. namun masih ragu tuk mengucapkan. 4 tahun masih mendekam. perlahan semua terlampiaskan. 1hr 20mnt 24s yang mengagumkan.

ketika jemari itu menekan angka
debar jantung terdengar hingga sudut kota
seakan bibir sulit berkata
IQ menurun drastis
terdiam statis

lidahku kaku ketika ingin berkata
kamu pintar
kita sama sama dewasa
kamu hebat
sungguh ini aku tak kuat
kamu istimewa
sepertinya tidak biasa saja

tapi kamu spesial
Ya

3 Oktober 2009, 03.05 wib, setengah windu dalam 1:20:42 detik..kamu memang baik :)

Cinta

pertama-tama saya menulis catatan ini karena iseng, setiap hari mendengar membaca dan melihat kata cinta. sirkulasi harian hidup saya mulai alarm pagi berdering hingga terkantuk ditemani nyamuk semuanya membicarakan cinta. apa sebenarnya yang menyebabkan semua makhluk hidup di jagat ini membicarakan cinta, bahkan rela hingga menyembah demi ideologi romantikanya. sebuah kata yang amat singkat cukup dengan 5 huruf saja namun telah mampu mengaduk-aduk relung hati manusia. sepertinya menarik untuk menjelaskan cinta dari sudut pandang saya sendiri. *gak sabar tiap hari dengerrr terus...hehe

manusia merupakan makhluk ciptaanNya yang dikaruniai cinta. semua yang diberikan olehNya tentunya memiliki tujuan yang disesuaikan dengan porsi hidup masing2 individu. dengan cinta manusia dapat beranak pinak dan memelihara keturunan. dengan cinta manusia merasakan bahagia. dengan cinta manusia merasakan kesedihan. dengan cinta pula manusia dapat saling membunuh. sebegitu pentingkah cinta dihadapan manusia hingga seringkali mengabaikan penciptaNya. saya rasa iya, manusia yang diberikan hawa nafsu mendayagunakan cinta sebagai alibi untuk memuaskan hasratnya. hal itulah yang seringkali menisbikan keberadaan Tuhan dalam proses cinta terhadap sesuatu.

cinta dalam pengalaman saya adalah ketika indera, jarak dan ruang tidak lagi bersamanya namun mampu mengaktualisasikan imaji seseorang selalu dalam batinnya. ketika seseorang tidak mampu kita hapus dari memori otak kita. ketika rasa sayang terhadap diri sendiri memudar beralih ke seseorang tersebut. ketika merasakan debaran yang hebat disekitar dada saat bersama. dan ketika bersamanya terbesit kalimat "setiap detiknya begitu berharga"...hehehe..

cinta dibutuhkan oleh setiap manusia untuk mendukung eksistensi dirinya dalam hidup, seperti halnya Adam mengeksistesikan dirinya dengan mendapatkan Hawa. namun bukan itu hal utamanya. manusia diberikan tangan berpasangan, diberikan kaki berpasangan, mata dan kuping berpasangan. namun kenapa diberi hati hanya satu. ya itulah agar hati itu mencari pasangannya melalui proses yang dinamakan cinta. proses cinta begitu njelimet, tidak hanya dapat digerakkan dengan sebuah rasionalitas utilitarian yang mengefektivitas dan efisiensi tindakan. namun dibangun dengan pengalaman emosi dan transendental manusia. sepertinya tidak ada satu pun yang dapat mengeneralisasikan arti dan proses cinta. berat euyy..

yang pasti cinta tidak dapat kita paksakan keberadaannya dan kemauannya. cinta juga bukan sekedar perasaan dua insan melepas kasih sayang. tetapi dengan cinta kita dapat menerima ilmu, menambah wawasan dan pandangan terhadap dunia luar. dari mana? dari seseorang yang kita cintai, seseorang yang menyayangi, ikhlas tanpa embel-embel. bagaimana? proses cinta dan perjalanannya membuka cakrawala dunia tentang kehidupan seseorang yang kita cintai. tentulah kita dan dirinya bersatu, maka dunia kita dan dunianya, ilmu kita dan ilmunya, wawasan kita dan wawasannya pun bersatu.

saya memuakkan tragedi cinta yang membatasi kehidupan. mengekang pelakunya dari kehidupan luar. serta memenjarakan ide. karena cinta menurutku bukanlah keinginan, jadi ingat kutipan naskah Bhagavad Gita bahwa 'keinginanmu adalah penjaramu",hehe ingat tuuw... akan tetapi cinta adalah Keharusan setiap manusia menjalaninya. sukses maupun gagal itu merupakan ekses dari pencariannya.
sehingga tidak ada kerugian mencari cinta. bahkan tak apa rela menunggu lama hingga cinta itu datang...*pengalaman neh hehe...

2 oktober 2009, 02.49 WIB, sebotol Nu Green Tea dan alunan James Blunt

8.9.09

Pas Foto 3x4

selembar kertas
ku dapat dengan keringat
ketika itu habis waktu
tak kudapati senyum itu

kecil memang
hanya selembar kertas
hitam putih
berlukis bidadari

selang waktu
berjalan setengah windu
masih kudapati lembaran itu
tersenyum memandangku

tak habis ku lirik setiap terjaga
memandang, berhayal, bercerita
walau kau selalu diam dalam bingkai
entah kapan cerita ini bisa ku mulai



Lawu in loneliness

perjalanan kadang menakutkan, namun disetiap harapan membuat kita berani melawan ketakutan itu

Cinta Alam...
Cinta Kehidupan...
Tanpa melupakan kebesaran Tuhan...


pagi itu jam menunjukkan pukul 08.15 wib. ku angkat tas carrier yang telah ku persiapkan untuk pendakian. salam sebentar kepada mas Budi penjaga Basecamp Cemoro Kandang, lalu ku langkahkan kaki menuju puncak. langkah awal perjalanan ini diawali dengan beratnya beban tas yang menekan punggung hingga memerah. terasa sekali bahwa aku sudah lama tidak berkegiatan seperti ini. matahari masih berada di ufuk timur, tertutupi oleh rimbunnya dedaunan Cemara Gunung dan gesekan dahan Cantigi. kicau burung Perjak keras terdengar disertai kokok ayam hutan.

langkah demi langkah ku lalui, menanjak dan selalu menanjak. sedikit tanah datar yang ku lalui untuk sejenak memanjakan kaki. ku dengakkan kepala untuk melihat jalur, terlihat didepan ratusan anak tangga berbahan tanah dan berkelok-kelok sedang menunggu hentakan kakiku. sementara tubuh ini meronta-ronta datangnya seteguk air mineral sebagai pelepas dahaga. cerahnya cuaca dan terangnya matahari pagi ternyata tidak mampu menerangi jalan yang ku lalui, selalu temaram dan menakutkan. seperti sore hari. karena cahayanya tidak mampu menembus tebalnya dedaunan hutan.

ku lihat jam telah pukul 9.20 wib, tidak lama lagi aku akan tiba di pos 1. istirahat sejenak mendinginkan tubuh yang hampir memuai menahan beban tanjakan. ku lanjutkan perjalanan hingga akhirnya tiba di pos 1 Taman Sari Bawah pada pukul 9.40 wib. sepi kosong yang ada hanya ringkikan pohon yang saling bergesek. warung yang ada di pos ini pun tutup. tidak lama aku istirahat di pos ini, mengingat waktu yang masih sangat panjang untuk ke puncak. hanya sebentar minum dan memelihara ke-narsis-an ku, foto-foto.

pukul 9.50 wib langkah kaki sudah menjauhi pos 1. situasi masih sama seperti sebelumnya. Cemara gunung, beringin, dan karet hutan selalu menemani sepanjang perjalanan. semak dan perdu pun tidak hentinya mencolek tubuh yang letih ini. sepanjang perjalanan selalu ku bayangkan bagaimana para pendahulu kita ketika masa Majapahit memilih tempat seperti ini untuk dijadikan petilasan. sementara kondisi geografis dan geomorfologis tidak menunjang untuk landasan sebuah kebudayaan. hayalku terusik ketika seekor burung Kerak melintas di depan. seketika bulu kuduk ku berdiri. entah apa yang terjadi padahal sebelumnya tidak terlintas rasa takut pada diriku. apa mungkin Sunan Lawu dapat menembus batin khayalku hingga meresponnya dengan kedatangan burung tersebut.

mencengangkan, masih saja merinding sementara baru ku sadari tidak ada seorang pendaki pun yang telah ku temui. aku seorang diri. perlahan kaki ku langkahkan setelah burung itu menghilang dari bingkai penglihatanku. sedikit mengurangi ketakutan saat angin datang membuka dahan-dahan dan sinar matahari masuk menerangi jalan, bagai lukisan master pelukis alam Saseo Ono. tak berapa lama pos 2 Taman Sari Bawah terlihat dari kejauhan dan angin datang seakan menyambut kedatanganku. tak lama aku disini, sekitar 15 menit saja. dari sini, sesekali ku lihat jelas puncak Lawu gagah menjulang sebelum tertutup kembali oleh tebalnya kabut.

mendung mendapatiku ktika mulai melangkahkan kaki menuju pos 3 Cokro Srengenge. ku lihat jam tangan menunjukkan pukul 11.38 wib. tingkat kesulitan agak berkurang karena jalur yang landai namun sedikit bervariatif. ku berjalan melewati jurang-jurang dengan vegetasi rapat dan basah. mungkin sebelum aku tiba disini, hujan telah mendahuluiku. tak terasa betis dan paha ku basah, meredakan hangat yang semenjak tadi membelai tubuhku. celana Claw yang melapisi ku pun ikutan basah tak kuasa menahan terjangan air yang berasal dari pucuk-pucuk semak. istirahat ku sebentar dibawah papan peringatan bertuliskan "Hati-hati, Awas Jurang". ku menengok jalan ke depan terbentang jalur yang dinamakan Jurang Pangarip-arip. jalur ini terbentuk berdasarkan kontur morfologi punggungan yang di sebelah kirinya merupakan jurang yang sangat dalam. terpeleset sedikit akan terjatuh dan meninggalkan suara teriakan yang kelam.

kuberanjak dan bergerak melewati jalur tersebut. perlahan dan pasti sambil berdoa keselamatan kepada yang kuasa. dalam kesendirian ternyata manusia begitu lemah, hanya setitik kecil dalam jutaan buku di perpustakaan megah. di kejauhan kulihat kota Karanganyar begitu kecil, seperti kumpulan titik berwarna disertai garis yang menggambarkan jalan. terhitung tiga kali aku istirahat tak kuat menahan beban tas yang berisi tenda, pakaian dan survival kit. ketika istirahat, ku hanya diam mendengarkan suara angin dan gesekan pohon. tarian Rustania, Puspa dan ilalang hutan yang bergerak mengikuti irama angin turut memanjakan mata ini.

beberapa kali ku pejamkan mata hanya untuk mendengar suara ultrasonik yang dikeluarkan binatang-binatang hutan. alangkah indah alam ini ku rasakan ketika itu, tetes air mata tak mampu kuredam dalam kekaguman ini. seakan ku ingin berhenti hidup dan kembali sebagai semak belukar yang mengisi alam raya ini. kekagumanku berhenti seketika saat mencapai pos 3. tubuhku terasa dingin dan kerongkongan sakit karena tidak teraliri air. rupanya aku terlena saat istirahat dengan tidak menenggak setetes air pun. yang kutakutkan hanyalah dehidrasi. salah satu awal dari gejala hypothermia dan edema. dengan cepat ku ambil jaket penghangat dan air mineral dari tas. ku masuk kedalam bilik kecil yang bertuliskan Cokro Srengenge. Berlanjut.....


17.8.09

Apa itu Motif Wadasan??

Pernah dengar motif wadasan?? Mungkin hanya sebagian orang yang tahu dengan motif wadasan, dari sebagian yang tahu mungkin hanya sebagian lagi yang mengerti makna dari motif tersebut. Bagi yang belum tahu, akan saya jelaskan sedikit mengenai wadasan. Saya ambil contoh di Cirebon, karena motif ini berkembang luas di Cirebon.

Motif hias wadasan adalah istilah Cirebon untuk menyebut motif karang. Adapun istilah untuk menyebut motif karang adalah gunungan. Motif gunungan memiliki makna suci yang mengarah pada gambaran kehidupan di alam baka, sebuah kehiduppan yang kekal abadi. Motif gunungan merupakan motif Indonesia asli yang keberadaannya terus bertahan walaupun penetrasi Hindu dan Islam di Indonesia berifat intensif. Pada saat berlangsungnya pengaruh hindu, motif gunungan digambarkan sebagai gunung Meru tempat bersemayamnya para dewa. Motif wadasan pada kepurbakalaan Islam di Cirebon berfungsi simbolik dan dekoratif. Fungsi simbolik motif ditunjukkan oleh letak motif tersebut pada bagian utama benda-benda sakral. Pada benda kelompok ideoteknik misalnya motif tersebut berada pada makam-makam keluarga sultan yang bagian utamanya berupa nisan. Pada benda kelompok sosioteknik motif hias wadasan terdapat pada kereta-kereta kerajaan yang bagian utamanya adalah badan kereta, pada kain batik milik kerajaan bagian utamanya adalah motif batik itu sendiri. Adapun pada benda kelompok teknomik motif hias wadasan ini terdapat pada tamansari milik keluarga kerajaan yang bagian utamanya berupa bukit-bukit buatan. Dengan demikian motif hias wadasan sebalum abad 18 M adapat dikatakan berfungsi sebagai simbol status kebangsawanan.

Fungsi dekoratif motif hias wadasan selain sekaligus melekat pada fungsi simboliknya juga ditunjukkan oleh letak motif tersebut pada bagian pelengkap benda-benda sakral. Dalam konteks benda yang ditempati selain sebagai unsur estesis, motif hias wadasan juga mempunyai kegunaan lain yaitu menggambarkan obyak sesuai konteksnya. Beberapa contohnya yaitu pada Kereta Singa Barong motif hias wadasan hadir untuk menggambarkan bukit karang. Pada hiasan dinding, motif hias wadasan berperan untuk menggambarkan tempat berpijak makhluk hidup yang digambarkan diatasnya.

Setelah abad 18 M motif hias wadasan mengalami pergeseran fungsi, dari simbol status kebangsawanan menjadi tidak. Hal ini dapat diartikan bahwa motif hias wadasan hanya berfungsi dekoratif. Pergeseran ini ditunjukkan dengan adanya beberapa benda purbakala di Cirebon yang mengalami kesinambungan pembuatannya hingga masa kini. Batik-batik kraton setalah abad 18 mulai dibatikkan oleh pembatik di luar kraton. Dengan begitu motif hias wadasan dikenal masyarakat awam, sehingga konsumennya pun meluas, apabila dahulu hanya menjadi konsumsi keraton maka saat ini sudah menjadi milik publik.

Irmawati Johan (1986:367-375) dalam artikelnya di PIA IV, menjelaskan bahwa motif wadasan merupakan bentuk kosmologi yang hakekatnya adalah suatu usaha untuk mengekspresikan gunning Sembang sebagai gunung Meru, tempat eksistensi raja Cirebon sebagai penguasa jagad kecil dan sebagai wakil tuhan didunia dan menjadi perantara rakyat untuk mendapat berkat dari tuhan.

Referensi
Irmawati Johan. Aspek Simbol dari Motif Hias Wadasan di Cirebon. Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1986.

25.7.09

Arkeolog pasti memahaminya

Salah satu daur hidup yang dialami oleh mahasiswa arkeologi adalah mengalami ekskavasi. Hal ini wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa jurusan arkeologi. Seringkali kegiatan ini dinantikan oleh mahasiswa. Oleh karena lebih bersifat praktis dan aplikatif. Selain itu juga interaksi antar mahasiswa menjadi semakin intens sehingga kadangkala terjadi semacam cinta lokasi ataupun timbul persahabatan diantara seluruh peserta ekskavasi. Hal itu pasti terjadi pada diri seorang arkeolog. Momen-momen yang tidak bisa dilupakan saat mengikuti kegiatan survai lapangan, ekskavasi hingga pada proses pembuatan laporan. Ternyata setiap tindakan dan kegiatan yang pernah dilakukan saat ekskavasi tersebut masih saja terngiang dipikiran saya. Seperti misalnya saat diskusi bersama setiap malam, begadang mengerjakan laporan maupun bercanda saat sore menjelang setelah selesai ekskavasi. Apa yang saya alami saat ini mungkin juga hampir sama dengan setiap mahasiswa arkeologi yang pernah menjalaninya. Mengapa hal itu dapat terjadi? Salah satu hal yang dapat menjelaskan yaitu bahwa manusia merupakan makhluk sosial, segala ide dan tindakan sangat dipengaruhi oleh manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Daya kognitif manusia terbentuk karena adanya respon terhadap lingkungannya. Ketika ingatan kognitif tersebut hilang, maka ia akan muncul kembali ketika jiwa merasa kosong atau cenderung statis. Ingatan tersebut kembali mencuat karena manusia cenderung untuk mencari sesuatu yang baru. Hal inilah yang terjadi, ingatan tersebut seperti cakram yang berputar. Ketika manusia merasa bahagia maka kampas tersebut akan terus mengikat cakram agar jiwa tersebut tidak cepat berubah atau berjalan lamban. Namun saat berada dalam kesepian atau keadaan sedih, maka manusia akan melepaskan kampas tersebut sehingga cakram akan berputar cepat. Saat putaran cakram mengalir cepat inilah daya kognitif yang terekam pada masa lalu sering mencuat kembali. Arkeolog pasti memahaminya.

20.7.09

Etika Panjat Tebing

1. Menghormati adat istiadat masyarakat setempat.

2. Tidak mencemari sumber air penduduk setempat.

3. Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan erosi.

4. Tidak mengganggu tanaman serta satwa penduduk.

5. Membatasi sedikit mungkin penggunaan bubuk magnesium.

6. Membatasi pemakaian pengaman bor dan setiap penggunaan bor harus dapat dipertanggungjawabkan.

7. Tidak diperbolehkan menambah pengaman pada jalur yang sudah ada dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kesulitan.

8. Diperbolehkan mengabaikan pengaman yang ada pada jalur dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat kesulitan.

9. Tidak melepas pengaman yang terpasang pada jalur pemanjatan.

10. Jika jalur baru belum selesai dibuat, harus diberi tanda yang jelas.

11. Jika jalur baru akan diselesaikan oleh orang lain, harus seijin pembuat jalur pertama.

12. Apabila ada pemanjat pada suatu jalur maka sebaiknya tidak ada pemanjat lain pada jalur tersebut.

16.7.09

Cantik tapi rada MIRING..

Hari ini saya bangun siang, sebenarnya setiap hari pun saya selalu bangun siang hari..hehe.. hari ini tidak seperti biasanya saya begitu semangat bangun karena ada sesuatu hal yaitu mengurus kartu ATM saya yang hilang beberapa hari lalu di Pelabuhan Gilimanuk. bahkan bukan hanya ATM tetapi seluruh isi dompet saya hilang disana, sungguh sial hari itu...huhh.. Bangun tidur langsung fesbukan sebentar liat status kawan-kawan dan tentunya posting status juga karena hari cukup momennya untuk posting. yup hari ini saya ditinggal beberapa sahabat, mereka semua KKN dan pulang ke kampungnya masing2. jadi disini tinggal saya sendiri, dikesendirian ini lebih baik buka pesbuk dan posting status alone saya hehehe.. setelah buka pesbuk sebentar lalu mandi dan pergi ke Bank Mandiri cabang sekip. tiba disana, telah banyak orang-orang mengantri dan berbaris dengan tujuan masing2. pikir saya harus menunggu berapa lama untuk menyelesaikan kerjaan ini. tatapan saya langsung menuju ke pak satpam yang dengan muka ramahnya menanyakan tujuan saya. setalah bercakap beberapa lama saya diberikan tiket antrian dengan nomor 131, padahal antrian yang sedang berjalan baru pada nomor 105, itupun setelah saya menyadari dan mendengarkan suara robot pemanggil tiket. setelah diberi tiket saya langsung menuju bangku yang kosong, lumayan juga nunggu lama jika tidak duduk. ketika melihat ada bangku kosong pandangan saya langsung tertuju ke sebelah bangku tersebut...alamak ada wanita ternyata disana,..mata saya langsung berbinar, mungkin juga diatas kepala saya langsung ada bintang-bintang dan jantung berdebar kuat...jelas secara fisik ini tipe saya sekali..hehe....sangat casual dengan rambut lurus setengah panjang dengan polo shirt dan jeans hitamnya sungguh menyihir tubuh ini...dan tentunya tidak tinggi-tinggi amat, hehe nyadar.... dengan langkah sedikit gontai saya pun duduk disebelahnya,..arghh seandainya...hehe.. selagi menunggu antrian tiket saya coba lirik2 dia, ternyata dari samping sungguh mirip sekali dengan teman lama saya, saya pikir mungkin saja itu dia, tapi jelas2 bukan karena dia tidak berjilbab..hehe... sungguh indah jika melihat dia, bibirnya memerah seperti delima ditambah hidung mancung ala komik2 jepang dan mata yang oriental namun tajam...tubuhnya kurus namun tidak terlihat seperti kekurangn pangan..saya jamin pria mana yang tidak suka melihatnya, apalagi kawan2 saya yang dari arkeologi, kalau melihat pasti semua bakalan ngilerrr... hehe...yang pasti lumayan juga pergi ke bank tidak sia2, menunggu lama pun tidak masalah hehe.. ternyata setalah saya duduk disebelahnya, orang-orang yang mengantri pun mengamati dia terus dari tadi,..saya pikir ada apa mereka melihat saya, eh ternyata melihat wanita itu rupanya...saya jadi geer sendiri..hehe.. namun masalah muncul saat kejadian aneh terjadi ketika nomor antrian dia dipanggil, sebenarnya gak aneh2 jg siy, lebay aja sayanya hehe...ketika nomornya dipanggil ternyata dia senyum2 sendiri, saya yang berada disampingnya menjadi bingung,..jangan2 cantik2 gila hehehe...dan bukti yang memperkuat itu bahwa mulai dari bangku tempat dia duduk hingga sampai di teller dia tetap senyum agak tertawa sedikit...wah gila beneran nih..hehe..saya yang dari tadi mengamatinya merasa ilfil sendiri melihatnya,..hiii...sial cantik2 kok miring ya hehehehe...kok ada ya...gag jadi ah...tetep aja biar cantik tapi senyam senyum sendiri bikin ilfil...ya gakkk..

Keprihatinan terhadap eksplorasi sumberdaya arkeologi bawah air

Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel Gesekan Kepentingan di Jalur Terang

Eksplorasi Sumber daya Arkeologi di Indonesia seringkali menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakselarasan antara undang-undang BCB dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Disamping itu masih adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan di dalam kasus-kasus tersebut. Dalam kasus diatas terjadi benturan antara Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 dengan Undang-Undang Nomor 5/1992. Dalam Undang-Undang Nomor 5/1992 yang berhak memberi izin pengangkatan benda bersejarah adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sedangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 yang menjadi ketua panitia adalah Menteri Kelautan dan wakilnya ialah Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Dalam kasus seperti ini seharusnya diperlukan kordinasi yang cukup matang agar tidak terjadi benturan antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Hal ini menandakan lemahnya operasional dari penegakan hukum dan perundangan di Indonesia. Selain itu pemerintah juga harus tanggap terhadap sumberdaya Arkeologi yang banyak terdapat di Indonesia yang sebagian besar dalam kondisi tidak terawat dan cenderung memprihatinkan.
Pengelolaan sumber daya arkeologi di Indonesia cukup memprihatinkan. Terutama sumber daya arkeologi yang terdapat didalam laut. Selain karena minimnya sumber daya manusia yang kompeten dalam penyelaman arkeologi, anggaran yang terbatas juga merupakan faktor yang menyebabkan jarangnya eksplorasi sumber daya arkeologi di dalam laut. Ketidakmampuan instansi dalam negeri inilah yang menyebabkan penggalian bawah laut banyak dilakukan oleh pihak asing.
Penyelaman oleh pihak asing ini seringkali menimbulkan masalah. Seperti yang terjadi di Cirebon dalam kasus diatas. karena seringkali terbentur masalah perizinan dan kepemilikan artefak tersebut. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan Arkeolog lokal agar diciptakan undang-undang dan Keputusan-Keputusan lain tentang sumber daya arkeologi yang lebih spesifik dan selaras antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya.

BEHAVIORAL ARCHAEOLOGY antara Schiffer dan Binford

Behavioral Archaeology mulai berkembang pada awal tahun 1970-an dengan Schiffer sebagai penggagasnya. Behavioral Archaeology timbul karena definisi tentang kebudayaan sudah terlalu banyak sehingga melahirkan beberapa perspektif sehingga menjadikannya tidak konsisten. Maka dari itu muncullah Behavioral Archaology. Menurut Behavioral Archaeology, arkeologi didefinisikan sebagai studi objek material yang tanpa melihat waktu dan spasial untuk menguraikan dan menjelaskan tingkah laku manusia. Dan benda arkeologis adalah merupakan produk dari manusia. Sehingga dari tinggalan-tinggalan itu dapat diketahui tingkah laku manusianya.Wilayah riset Behavioral Archaeology meliputi :
1. Formasi dari data arkeologi
Hal ini yaitu berkaitan dengan bagaimana suatu data arkeologi terbentuk dan terdeposisikan.
2. Rekonstruksi, identifikasi dan menguraikan tingkah laku manusia.
Hal ini meliputi dimana, kapan dan apa tingkah lakunya berdasarkan tinggalan arkeologis.
3. Penjelasan tingkah laku manusia
Berdasarkan temuan-temuan, dapat diketahui mengapa tingkah laku manusia terjadi.
Karena penelitiannya tidak berdasarkan waktu dan tempat maka dalam Behavioral Archaeology, terdapat 4 strategi yaitu :
1. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data masa lampau.
Misalnya dengan data-data tinggalan masa prasejarah, sejarah dan masa klasik. Berdasarkan data prasejarah, seperti bentuk dan kuantitas alat batu dapat memberikan pengetahuan tentang tingkah laku manusianya. Melalui bukti sejarah (tulisan) bagaimana tingkah laku manusia masa lampau dapat diketahui dsb.
2. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Misalnya dengan data etnoarkeologi dan eksperimental arkeologi. Data etnografi sangat mendukung mengenai hal ini, dengan melihat masyarakat atau suku-suku pedalaman yang masih tertinggal. Data ini sekiranya masih relevan untuk dianalogikan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sedangkan dalam eksperimental arkeologi, seorang arkeolog pendukung Behavioral Archaeology dapat melihat bentuk-bentuk artefak dan membayangkannya bagaimana ia dibuat, teknik pembuatannya seperti apa, selanjutnya dicoba untuk memeragakan cara pembuatannya. Sehingga kira-kira dapat diketahui tingkah laku manusia masa lampau dalam membuat suatu artefak.
3. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa lalu.
Studi ini mengenai bagaimana tingkah laku manusia yang terjadi saat ini dengan melihat ke belakang dalam jangka waktu yang panjang, misalnya masa prasejarah, klasik dll. Adakah kausal yang melatarbelakanginya dan evolusinya hingga masa kini.
4. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Pada titik ini dimana hal ini merupakan yang berbeda dari yang lainnya. Bahwa Behavioral Archaeology mempelajari tingkah laku manusia masa kini dengan melihat artefak-artefak dari masa kini. Misalnya dengan melihat pola-pola susunan rak pada swalayan-swalayan masa kini yang memperlihatkan kecenderungan masyarakat yang menginginkan kepraktisan dalam berbelanja dan sebagainya.

Penggagas utama Behavioral Archaeology yaitu Schiffer. Dalam pandangannya bahwa tinggalan arkeologis yang kita temukan merupakan cerminan dari sistem tingkah laku dimasa lalu yang telah terdistorsi. Para pendukung Behavioral Archaeology memandang bahwa kebudayaan adalah gejala mental dan bahwa kebudayaan tercerminn pada meteri dan tingkah laku yang dihasilkannya.


Argumen Pribadi

Berdasarkan tulisan Binford yang berjudul “Behavioral Archaeology and the ‘Pompeii Premise’”. Saya jadi tahu bahwa terjadi ketidaksepahaman diantara para ahli dalam menentukan paradigma arkeologi. Begitu juga dengan pemahaman tentang premis Pompeii. Premis Pompeii merupakan sebuah anggapan tentang hubungan antara tinggalan arkeologi dengan kehidupan manusia masa lampau yang mana bahwa tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam suatu ekskavasi merupakan cerminan langsung dari kehidupan manusia di masa lampau yang terhenti pada suatu saat di masa silam. Premis inilah yang didalam tulisan Binford sering perdebatkan. Disini dituliskan bahwa ketidaksukaan Binford kepada Schiffer yang menganut paham Behavioral Archaeology. Yang mana Binford merupakan penganut paham Processual Archaeology. Didalam tulisannya Binford itu para ahli arkeologi seharusnya tidak perlu membanding-bandingkan pendapatnya dan bahwa diri merekalah yang paling benar karena hal ini justru akan melemahkan posisi ilmu arkeologi.
Perbedaan aliran ini seharusnya dijadikan sarana untuk saling bahu-membahu meningkatkan kualitas ilmu arkeologi ini dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihannya. Terlebih saya melihat bahwa Binford dalam tulisannya selalu terlihat merendahkan pandangan-pandangan ahli lain selain dirinya. Ada yang menarik dari tulisan Binford saat ia menentang kajian etnoarkeologinya Ascher yaitu bahwa etnografi prasejarah yang biasa dipakai untuk merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu tidak sesuai dengan penelitian arkeologi pada umumnya. Tetapi anehnya dalam Positivisme Arkeologinya bahwa ia menyadari pendekatannya mengalami masalah yang serius sehingga ia menyarankan untuk studi terhadap tradisi/tingkah laku yang masih berlangsung hingga saat ini. Yaitu dengan studi etnoarkeologi, modern material culture dan eksperimental arkeologi.
Menarik melihat siapa-siapa yang menunjuk bahwa “ia” lah yang menemukan premis Pompeii. Sebenarnya menurut saya apa yang disebut dengan premis Pompeii sepertinya jarang terjadi. Karena seluruh tinggalan-tinggalan masa lampau yang terdeposisi pasti akan tertransformasi oleh suatu proses yang disebutkan oleh Schiffer yaitu proses non-budaya. Proses ini yang mengakibatkan tinggalan masa lampau hilang dan rusak bahkan tak berbekas. Karena dalam proses non-budaya terjadi misalnya proses pelapukan, pelarutan, kimia dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang notabene memiliki iklim yang cocok untuk proses-proses diatas.
Pandangan Binford mengenai kaum rekonstruksionis juga salah, kaum rekonstruksionis justru benar bahwa mereka merekonstruksi cara kehidupan masa lampau yang dengan itu akan diketahui proses budayanya. Dan justru metode-metode yang Binford uraikan sangat sulit untuk dicerna dan terlalu memaksakan. Disisi lain Binford kadang tidak konsisten seperti yang disebutkan mengenai studi etnoarkeologi tadi.
Selanjutnya yaitu bahwa Binford secara jelas merendahkan kaum induktifis, saya menilai bahwa arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau berdasarkan benda-benda tinggalannya. Yang mana jika kita meneliti suatu data empiris maka pendekatan kita bersifat induktif. Saya menilai pendekatan yan bersifat induktif masih sangat penting dan berperan dalam perkembangan arkeologi.
Namun saya setuju dengan pendapatnya Binford mengenai artefak, menurut ia bahwa arti artefak dapat ditelusuri berdasarkan fungsinya dimasa lalu dan bukanlah ide-ide si pembuatnya, sebagaimana umumnya penafsiran dalam sisitem klasifikasi kita. Jelas ini merupakan pandangan yang brilian, sesuai dengan pendapat saya. Artefak dibuat oleh pembuatnya pasti memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sebuah artefak dibuat karena ada kepentingan yang bergerak dibelakangnya.
Mengenai pendapat Schiffer tentang cara ia melihat proses-proses transformasi dan proses-proses formasi telah baik. Schiffer melihat bahwa transformasi C yang mempunyai potensi pendistorsian, dan menurut saya memang benar seperti itu. Karena suatu artefak yang telah berpindah-pindah baik spasial maupun fungsional jelas menjadikannya terdistorsi, sehingga sulit untuk menentukannya. Begitu pula tentang pendapat saya bahwa Behavioral Archaeology sepertinya hampir sama dengan arkeologi tradisional seperti memiliki pendekatan yang sama yaitu induktif. Tetapi banyak juga perbedaannya.

14.7.09

Bali Traveler - KTP mati..


Ceritanya saat itu sebelum berangkat ke Bali saya mendengar dari cerita dan pengalaman teman2 bahwa untuk dapat mencapai Bali kita bakalan diperiksa KTPnya..jika tidak punya KTP atau bahkan mati maka akan langsung dipulangkan kembali bahkan katanya bisa ditahan selama 2 hari di kurungan, penjara maksudnya.......Tapi tujuan saya tetap satu yaitu menginjakan kaki di tanah para dewa tersebut, walau rintangannya satu yaitu KTP saya sudah mati sejak dua tahun yang lalu,..Damnnn...biarlah tekad sudah kuat,..cerita dimulai ketika kami tiba di pelabuhan gilimanuk,...tiba di pelabuhan saya biasa mencari mushola untuk sholat, alasan saja hehe..sebenarnya ya hanya istirahat sebentar...selesai sholat saya bingung mau kemana lagi, pintu keluar pun saya tidak tahu, akhirnya saya tanya penjaga mushola, beliau menjawab dengan rada emosi, mungkin kesal juga melihat muka kusam saya yang seharian melakukan perjalanan dari jogja hingga gilimanuk..hehe... jawaban penjaga itu tidak memuaskan saya, akhirnya kawan saya bertanya ke polisi, awalnya saya yang ingin bertanya tetapi mengingat KTP mati, mundurlah saya..Sandi yang dengan pedenya karena KTPnya katanya masih aktif bertanya kaepada polisi tersebut,..setelah tau pintu keluar langsung kami jalan keluar,..tiba di gerbang keluar kami ditahan oleh beberapa penjaga, mungkin satpam, mereka bertanya kepada kami mau kemana, kami jawab saja keluar pelabuhan dan mereka menyilakan kami untuk keluar,..namun setelah itu mereka tanya tentang KTP kami,.."kalian bawa KTP ga??" kami jawab saja kami membawanya...para penjaga tersebut tidak mengecek langsung KTP kami..hehe..akhirnya kami keluar dengan selamat...beruntung kami tidak memperlihatkan KTP, apalagi saya yang KTPnya mati,...ternyata benar apa kata teman2 bahwa untuk masuk ke Bali harus memperlihatkan KTP,..tapi beruntungnya pas saya hal itu tidak terjadi, mungkin juga karena sudah larut malam, sekitar jam 2 malam kalau tidak salah...setelah keluar lalu kami istirahat sebentar di warung kopi dan bertemu bapak tua yg sok tahu dan beberapa pemuda yang juga sedang perjalanan ke bali,..mereka cerita kepada saya bahwa mereka pernah disuruh balik lagi ke pulau jawa karena KTP mereka mati,..wah parah kann...gimana kalau itu terjadi dengan saya...MTW -> mati waee...haha...udah jauh2 nyampe gilimanuk trus diusir suruh pulang lagi ke Jogja,...yah males dahh... beruntungnya saya ketika para petugas itu hanya menanyakan saja, tidak menyuruh memperlihatkan KTP hehehe....dan parahnya lg ternyata Sandi kawanku KTP nya juga mati, padahal dia sudah pede bahwa ktpnya masih berlaku,..KTPnya ketahuan mati ketika kami menyewa motor di Kuta...dasar nekaddd...haha

Bali Traveler - Makan Murah di Kuta



Ternyata di kuta ada juga tempat makan yang murah meriah,..ketika itu saya bersama kawan sedang hunting makanan karena saat itu kami baru saja sampai di kuta setelah perjalanan 3 jam dari gilimenuk...sampai di kuta kami lalu santai sejenak menikmati keindahan pantai kuta di pagi hari, saat itu memang kami tiba pada saat pagi...menjelang siang perut kami sudah lapar dan kami sadar disekeliling kuta seluruhnya hanya terdapat rumah makan atau restorang2 kelas atas, maklum mayoritas disana bule2 semua...jadilah saya jalan mencari tempat makan murah, awalnya kami bingung mau jalan kemana karena kami tidak memiliki peta sama sekali..akhirnya kita putuskan untuk jalan disepanjang pantai kuta, didepan kami berjejer restoran2 kelas atas dengan hidangan yang siap menampar wajah kami dengan harganya yang selangit,.. maklum kami hanya budget bacpacker,.hehe... kami kira kami akan cepat menemukan tempat makan yang murah, ternyata seoanjang kuta tersebut tidak ada satupun warung makan yang kelihatannya murah..hingga mentok di sudut jalan dimana terdapat etalase surfing dan tertulis surf lesson only 20 dollars..gila mahal bgt buat gw...didepan tempat tersebut terdapat kaki lima yang menjual nasi dan lauk pauknya,...sebenarnya disepanjang pantai kuta banyak warung seperti itu juga, tapi kami menaksir bahwa yang beli orang2 bule maka harganya pun pasti selangit...karena putus asa yas sudah kami makan diwarung tersebut, biarlah harga bule yang penting perut kenyang...saya lihat ada tahu tempe ayam ati mi dan lauk lainnya. pikiran saya langsung tertuju ke tahu tempe, karena pasti harganya murah, setidaknya paling murah dari yang lainnya...ya sudah saya pesan itu, sandi kawanku memesan nasi campur....wah berani juga dia pesen nasi campur...akhirnya datang juga pesanan, tadinya saya memesan tempe tahu namun apa yang disajikan ternyata nasi dengan lauk ayam dan tahu, nah loh...saya langsung mikir bakalan mahal pasti seporsinya...tekor deh..dan lebih takjub lagi melihat lauk sandi yaitu sepotong ayam dan ati ampela...gila dijogja aja porsi gituan udah lewat dari ceban nehh...mau nolak karena tidak sesuai pesanan gengsi sama bule2 disamping, yaudah akhirnya makan aja dehhh...pikiran mahal nanti aja belakangan...makan deh tuhh akhirnya......selesai makan pikiran itu baru muncul lagi, duhh mahalnya ni makanan....padahal saya gag milih nih lauk..aus juga, akhirnya beli sebotol aqua kecil...sudah selesai semua saya tanya brapa semuanya....klimaksnya dimulai nehh...eh si ibu penjualnya jawab 8ribu mas....hahhhhh...dalam hati HAH..cuma 8rebu, murah yaa...bandingin aja sebotol aqua ditempat bgituan harganya bisa 3ribu, sisanyaharga tuh porsi deh,...cuma 5ribu cuyyy..murah sekaleee...awalnya saya kira ibunya lupa atau emang tidak bisa menghitung, tapi ternyata bener kok..sandi juga cuma kena 8ribu aja....dan hari ke dua pun saya makan disan...porsi bakso plus telur plus lontong cuma kena harga 4rebu perak,..gila gag tuh...ini kuta bungggg...kok masih ada aja orang yang jual dengan harga segitu didepan bule2,...mereka pake dollar buu, kok masih pake standar harga kampung siy...ya gpp sih ternyata ongkos gw jadi irit kalo makan disitu hehehe...tengkyu...buat bule2: bayar lebih lo ya,..awas gag mau rugi...lu kan pake dollar..hehe..

13.7.09

Bali Traveler - Bapak tua yang sok tahu...

Saat itu saya di kereta Sri Tanjung bersama Sandi dalam perjalanan menuju banyuwangi,..ketika memasuki kota jember datanglah bapak-bapak berbaju putih membawa koper, beliau langsung bertanya tujuan saya, saya jawab ke denpasar dan bapak tersebut ternyata memiliki tujuan yang sama pula. selanjutnya kami pun jalan bersama setelah sesampainya di stasiun Banyuwangi Baru. turun dari stasiun bapak tersebut saya ajak untuk jalan kaki ke pelabuhan Ketapang, ditengah jalan bapak tersebut kecapekan karena termakan oleh usia yang sudah lanjut, lalu kami makan bersama di warung makan dengan lauk seadanya. kami berpisah di atas kapal, saat itu si bapak mengatakan ingin nembak bis yang sudah naik ke kapal, kami diajak namun tidak bisa dengan alasan lebih enak dikapal padahal karena keterbatasan ongkos kami yang sebagai budget backpacker... setibanya di pelabuhan GIlimanuk kami lalu ke mushola dan selanjutnya keluar pelabuhan, beruntungnya kami tidak diperiksa KTP oleh petugasnya. setibanya di luar pelabuhan, saya kira bapak tersebut sudah naik bersama bis tembakannya, ternyata beliau masih nongkrong di warung kopi tempat kami mencari bis. bapak itu lalu menegor kami,...bayangan saya beliau sudah jalan bersama bis, eh ternyata masih nongkrong juga..beliau mengatakan agar kita menunggu saja bis yang nanti datang,..sedangkan diluar warung sudah ada kernet bis lokal yang menawarkan kami untuk naik bis lokal,,..si bapak masih saja ngotot untuk naik bis antar kota dengan harapan bisa nembak di jalan...kami pun mengikuti arahan bapak tersebut..namun lama kelamaan tidak ada bus yang mau untuk menerima kami naik,..akhirnya kami pun memaksakan diri untuk mengikuti si kernet bis lokal...dan ternyata si bapak mengikuti kami juga..setelah kami sampai terminal bersama kernet bis lokal,..ternyata disana sudah banyak penumpang yang menunggu kami untuk neik bis,...akhirnya setelah kami datang bis pun langsung berangkat...ternyata kami orang terakhir yang ditunggu mengisi tiga kursi kosong yang tersisa....didalam bis ada bapak mengatakan kepada kami bahwa ia telah menunggu bis berangkat sejak jam 11 malam, sedangkan kami baru saja datang semenit yang lalu langsung berangkat..ternyata kata hati lebih baik dari pada ajakan seseorang walaupun orang itu sudah tua,..dasar bapak tua yang sok tahu...huuuu.....

1.7.09

HIASAN MACAN ALI SEBAGAI PERLAWANAN KESULTANAN CIREBON TERHADAP MATARAM

Seni merupakan hasil karya manusia yang dibuat berdasarkan kreatifitas. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu (http://id.wikipedia.org). Karya seni sangat sulit untuk dinilai. Biasanya penilaian dilakukan secara subyektif. Karya seni selain merupakan benda seni juga merupakan hasil gagasan manusia untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Kadang kala dapat berupa pesan emosi, situasi serta politik. Karya seni yang seperti itu tidak hanya dipandang sebagai hasil seni saja, namun memiliki simbol terhadap konteks pada masanya. Seperti yang akan dijelaskan dibawah yaitu mengenai gambar macan ali yang terdapat di Kesultanan Cirebon.
Macan ali merupakan gambar atau penggambaran sebuah macan yang di tulis dalam kaligrafi sehingga huruf-huruf kaligrafi tersebut membentuk sebuah bentuk macan. Hal ini terjadi karena Islam tidak membolehkan umatnya untuk menggambar makhluk hidup. Sehingga penggambaran macan ali melalui kaligrafi ini merupakan siasat agar tidak melenceng dari Islam. Penggambaran macan ali di Kesultanan Cirebon terdapat di bendera kesultanan. Pada bendera tersebut terdapat beberapa pola hias dalam bentuk kaligrafi. Kaligrafi merupakan sebuah gagasan dalam dunia Islam untuk berkreasi melalui ayat-ayat Alquran maupun kalimat syahadat. Kreasi tersebut dibentuk dengan penggambaran-penggambaran motif maupun bentuk makhluk hidup. Penggambaran Macan ali merupakan hasil kreasi manusia yang dibuat berdasarkan gagasan dengan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga Macan ali dapat dikatakan sebagai hasil karya seni.
Adapun yang terdapat didalam bendera Kesultanan Cirebon yaitu:
1. Terdapat tulisan “bismillah” dan ayat Alquran untuk menunjukkan kaegungan Allah SWT.
2. Dua bintang yang mengandung 8 sisi, yang melambangkan Muhammad dan Fatimah as.
3. Diantara “bismillah” dan dua bintang terdapat dua gambar, singa kecil dan besar, dan pedang bercabang dua, yang melambangkan pedang Zulfikar milik Imam Ali as.
4. Setelah Zulfikar terlihat singa besar, yaitu Asadullah, alias Singa Tuhan. Didalam bahasa Indonesia, singa Ali itu diterjemahkan dengan “Macan Ali”
5. Di dalam panji, tergambar lambing lima orang manusia suci sebagai sumber petunjuk dan hidayah. Raja-raja IslamJawa sangat meyakini hakikat nur Muhammad sehingga dalam setiap peperangan selalu mengharapkan keberkahan. Karena itu, logo-logo Ahlulnait as selalu tampak dalam setiap bendera raja-raja Cirebon, Jawa Barat (Iqbal, 2006:118).
Kedatangan agama Islam dengan pola-pola baru dan anjuran agar tidak melukiskan segala bentuk manusiawi dan hewani, justru memperkaya imajinasi para seniman zaman dulu. Anjuran ini tidak selalu ditaati, tradisi kuno masih saja dipertahankan dan diperkaya dengan pola yang berciri Timur Tengah, Persia dan India. Sebagai contoh dapat disebut desain Singa Putih, suatu ragam hias yang berkali-kali muncul kembali, yang sebetulnya berasal dari harimau putih, tetapi yang lambat laun berubah menjadi Singa Persia, atau malah Singa Tiongkok. (http://cerbonan.wordpress.com).
Islam di Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau (http://id.wikipedia.org). Kesultanan Cirebon didirikan oleh Pangeran Cakrabuana dan berjaya pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Islam di Cirebon berkembang melalui daerah pesisiran. Perkembangan Islam sangat pesat karena Cirebon juga merupakan daerah pesisiran. Pada saat itu banyak kapal yang datang dari India Islam, Timur Tengah dan Cina Islam di Cirebon sedikit berbeda dengan Islam di Demak dan Mataram. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh budaya Hindu yang cenderung Hindu Sunda. Hal ini dapat terlihat pada lambang keraton yang berupa Harimau Putih (http://moroturu.blogspot.com).. Begitu pula dengan tingkatan Islamnya, di Cirebon laku kejawen tidak banyak dilakukan. Berbeda dengan Demak dan Mataram yang memang pengaruh Hindu Jawa nya sangat kuat sehingga banyak ditemukan laku kejawen.
Islam di Mataram dan Demak
Islam pada kedua kerajaan ini sangat dipengaruhi oleh Hindu Jawa. Hal ini dapat dilihat dari mitos, karya sastra maupun kesenian yang masih menyisakan budaya-budaya hindu. Misalnya pada menara masjid Kudus yang memiliki bentuk seperti candi-candi masa Majapahit. Selain itu juga pada masjid Demak yang beberapa kayunya berasal dari sisa keraton Majapahit. Hal ini juga terkait bahwa raja pertama Kesultanan Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit (susiyanto.wordpress.com). Sedangkan di Mataram, Sultan agung membagi islam kedalam 2 bagian yaitu Islam pesantren dan Islam keraton. Islam pesantren merupakan lingkungan Islam dengan budaya berbahasa Arab sedangkan Islam Keraton merupakan lingkungan budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat pada lingkungan istana kerajaan (Simuh, 2000:1)
Macan ali sebagai simbol perlawanan
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia tidak selamanya berjalan dengan mulus. Kadangkala terjadi perselisihan diantara kerajaan islam tersebut. Selain itu keislaman tidak saja menjadi hal pengikat namun dapat saja menjadi perenggang hubungan antar kerajaan. Hal ini bisa saja terkait karena perbedaann aliran keislaman ataupun pengaruh dari luar seperti perbedaan akulturasi dengan budaya setempat. Peristiwa ini dapat kita lihat pada masa Islam antara Kesultanan Cirebon dengan Mataram dan Demak. Pandangan secara umum hubungan antara kesultanan tersebut berjalan dengan baik. Namun jika dilihat lebih dalam terdapat beberapa hal yang justru bertentangan. Seperti misalnya pengaruh budaya, di Mataram budaya Hindu Jawa sangat mempengaruhi sedangkan di Cirebon sangat dipengaruhi oleh budaya Sunda.
Hal ini dapat kita lihat pada hiasan macan ali. Hiasan ini terletak pada panji atau bendera kesultanan. Bendera merupakan lambang kerajaan yang merupakan manifestasi filosofis suatu kerajaan. Sehingga bendera merupakan identitas suatu kerajaan didalam lingkupnya dengan kerajaan lainnya. Kesultanan Cirebon memiliki hiasan macan ali pada bendera kesultannnya. Hal ini tentunya memiliki tujuan-tujuan tertentu yang mengkomunikasikan simbol tersebut kepada masyarakatnya serta kerajaan lainnya. Namun simbol ini dapat saja dipahami secara berbeda oleh individu yang berbeda.
Hiasan macan ali yang berada pada bendera Kesultanan Cirebon mendapatkan pengaruh dari budaya Hindu Sunda yang seringkali menampilkan gambar Harimau putih dalam hiasan seninya. Kesultanan Cirebon terletak lebih dekat dengan wilayah Sunda daripada dengan wilayah Hindu Jawa. Hiasan Macan ali banyak ditemukan di wilayah yang beraliran syiah yang merupakan salah satu aliran islam yang pastinya merupakan aliran Islam murni yang tidak terpengaruh oleh budaya lokal. Kerajaan Cirebon dan Mataram sering berbenturan mengenai hal perbatasan wilayah serta budaya. Misalnya pada masa Panembahan Ratu, Kesultanan Mataram ingin memasukkan Cirebon kedalam daerah taklukan. Namun karena kekuatan dalam bidang keagamaan, Sultan Mataram menjadi merasa segan. Saat itu wilayah kesultanan Cirebon mencakup Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang (http://cerbonan.wordpress.com).
Dari parameter diatas maka dapat disimpulkan bahwa hiasan macan ali pada panji atau bendera Kesultanan Cirebon memiliki simbol sebagai perlawanan Kesultanan Cirebon terhadap Mataram. Perlawanan tersebut dinilai dari dua segi yaitu budaya dan agama. Dari segi budaya, Kesultanan Cirebon tidak terikat oleh budaya jawa namun lebih terkait oleh budaya Sunda, hal ini dapat dilihat oleh penggambaran harimau yang seing ditemukan pada seni budaya Sunda. Budaya jawa seringkali lebih banyak menggambarkan burung dalam seni hiasnya. Yang kedua yaitu dari segi agama, Kesultanan Cirebon memiliki keislaman yang lebih murni daripada Mataram, hal ini dilihat dari penggambaran macan ali yang merupakan menifestasi semangat khalifah Ali as dalam peperangan. Semangat ini menjiwai keislaman mereka untuk lebih murni menjalankan islam. Selain itu karena pengaruh Timur Tengah yang sangat kuat pada daerah pesisir. Budaya agama sunda wiwitan tidak masuk hingga ke sendi-sendi keislaman namun hanya pada seni hias saja. Sedangkan pada Mataram, budaya Islam kejawen sangat popular.


Sumber:
Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia Terhadap kebudayaan Indonesia. Jakarta: Citra.
Simuh. 2000. Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa. Makalah Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa.
http://id.wikipedia.org, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Seni”, “Kesultanan Cirebon”.
http://cerbonan.wordpress.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Menyelami Kesenian Cirebon”.
http://moroturu.blogspot.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Perkembangan Kebudayaan islam di Cirebon”.
http://susiyanto.wordpress.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Kesultanan Demak , Pasca keruntuhan Majapahit”.