25.7.09

Arkeolog pasti memahaminya

Salah satu daur hidup yang dialami oleh mahasiswa arkeologi adalah mengalami ekskavasi. Hal ini wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa jurusan arkeologi. Seringkali kegiatan ini dinantikan oleh mahasiswa. Oleh karena lebih bersifat praktis dan aplikatif. Selain itu juga interaksi antar mahasiswa menjadi semakin intens sehingga kadangkala terjadi semacam cinta lokasi ataupun timbul persahabatan diantara seluruh peserta ekskavasi. Hal itu pasti terjadi pada diri seorang arkeolog. Momen-momen yang tidak bisa dilupakan saat mengikuti kegiatan survai lapangan, ekskavasi hingga pada proses pembuatan laporan. Ternyata setiap tindakan dan kegiatan yang pernah dilakukan saat ekskavasi tersebut masih saja terngiang dipikiran saya. Seperti misalnya saat diskusi bersama setiap malam, begadang mengerjakan laporan maupun bercanda saat sore menjelang setelah selesai ekskavasi. Apa yang saya alami saat ini mungkin juga hampir sama dengan setiap mahasiswa arkeologi yang pernah menjalaninya. Mengapa hal itu dapat terjadi? Salah satu hal yang dapat menjelaskan yaitu bahwa manusia merupakan makhluk sosial, segala ide dan tindakan sangat dipengaruhi oleh manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Daya kognitif manusia terbentuk karena adanya respon terhadap lingkungannya. Ketika ingatan kognitif tersebut hilang, maka ia akan muncul kembali ketika jiwa merasa kosong atau cenderung statis. Ingatan tersebut kembali mencuat karena manusia cenderung untuk mencari sesuatu yang baru. Hal inilah yang terjadi, ingatan tersebut seperti cakram yang berputar. Ketika manusia merasa bahagia maka kampas tersebut akan terus mengikat cakram agar jiwa tersebut tidak cepat berubah atau berjalan lamban. Namun saat berada dalam kesepian atau keadaan sedih, maka manusia akan melepaskan kampas tersebut sehingga cakram akan berputar cepat. Saat putaran cakram mengalir cepat inilah daya kognitif yang terekam pada masa lalu sering mencuat kembali. Arkeolog pasti memahaminya.

20.7.09

Etika Panjat Tebing

1. Menghormati adat istiadat masyarakat setempat.

2. Tidak mencemari sumber air penduduk setempat.

3. Tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan erosi.

4. Tidak mengganggu tanaman serta satwa penduduk.

5. Membatasi sedikit mungkin penggunaan bubuk magnesium.

6. Membatasi pemakaian pengaman bor dan setiap penggunaan bor harus dapat dipertanggungjawabkan.

7. Tidak diperbolehkan menambah pengaman pada jalur yang sudah ada dengan tujuan untuk mengurangi tingkat kesulitan.

8. Diperbolehkan mengabaikan pengaman yang ada pada jalur dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat kesulitan.

9. Tidak melepas pengaman yang terpasang pada jalur pemanjatan.

10. Jika jalur baru belum selesai dibuat, harus diberi tanda yang jelas.

11. Jika jalur baru akan diselesaikan oleh orang lain, harus seijin pembuat jalur pertama.

12. Apabila ada pemanjat pada suatu jalur maka sebaiknya tidak ada pemanjat lain pada jalur tersebut.

16.7.09

Cantik tapi rada MIRING..

Hari ini saya bangun siang, sebenarnya setiap hari pun saya selalu bangun siang hari..hehe.. hari ini tidak seperti biasanya saya begitu semangat bangun karena ada sesuatu hal yaitu mengurus kartu ATM saya yang hilang beberapa hari lalu di Pelabuhan Gilimanuk. bahkan bukan hanya ATM tetapi seluruh isi dompet saya hilang disana, sungguh sial hari itu...huhh.. Bangun tidur langsung fesbukan sebentar liat status kawan-kawan dan tentunya posting status juga karena hari cukup momennya untuk posting. yup hari ini saya ditinggal beberapa sahabat, mereka semua KKN dan pulang ke kampungnya masing2. jadi disini tinggal saya sendiri, dikesendirian ini lebih baik buka pesbuk dan posting status alone saya hehehe.. setelah buka pesbuk sebentar lalu mandi dan pergi ke Bank Mandiri cabang sekip. tiba disana, telah banyak orang-orang mengantri dan berbaris dengan tujuan masing2. pikir saya harus menunggu berapa lama untuk menyelesaikan kerjaan ini. tatapan saya langsung menuju ke pak satpam yang dengan muka ramahnya menanyakan tujuan saya. setalah bercakap beberapa lama saya diberikan tiket antrian dengan nomor 131, padahal antrian yang sedang berjalan baru pada nomor 105, itupun setelah saya menyadari dan mendengarkan suara robot pemanggil tiket. setelah diberi tiket saya langsung menuju bangku yang kosong, lumayan juga nunggu lama jika tidak duduk. ketika melihat ada bangku kosong pandangan saya langsung tertuju ke sebelah bangku tersebut...alamak ada wanita ternyata disana,..mata saya langsung berbinar, mungkin juga diatas kepala saya langsung ada bintang-bintang dan jantung berdebar kuat...jelas secara fisik ini tipe saya sekali..hehe....sangat casual dengan rambut lurus setengah panjang dengan polo shirt dan jeans hitamnya sungguh menyihir tubuh ini...dan tentunya tidak tinggi-tinggi amat, hehe nyadar.... dengan langkah sedikit gontai saya pun duduk disebelahnya,..arghh seandainya...hehe.. selagi menunggu antrian tiket saya coba lirik2 dia, ternyata dari samping sungguh mirip sekali dengan teman lama saya, saya pikir mungkin saja itu dia, tapi jelas2 bukan karena dia tidak berjilbab..hehe... sungguh indah jika melihat dia, bibirnya memerah seperti delima ditambah hidung mancung ala komik2 jepang dan mata yang oriental namun tajam...tubuhnya kurus namun tidak terlihat seperti kekurangn pangan..saya jamin pria mana yang tidak suka melihatnya, apalagi kawan2 saya yang dari arkeologi, kalau melihat pasti semua bakalan ngilerrr... hehe...yang pasti lumayan juga pergi ke bank tidak sia2, menunggu lama pun tidak masalah hehe.. ternyata setalah saya duduk disebelahnya, orang-orang yang mengantri pun mengamati dia terus dari tadi,..saya pikir ada apa mereka melihat saya, eh ternyata melihat wanita itu rupanya...saya jadi geer sendiri..hehe.. namun masalah muncul saat kejadian aneh terjadi ketika nomor antrian dia dipanggil, sebenarnya gak aneh2 jg siy, lebay aja sayanya hehe...ketika nomornya dipanggil ternyata dia senyum2 sendiri, saya yang berada disampingnya menjadi bingung,..jangan2 cantik2 gila hehehe...dan bukti yang memperkuat itu bahwa mulai dari bangku tempat dia duduk hingga sampai di teller dia tetap senyum agak tertawa sedikit...wah gila beneran nih..hehe..saya yang dari tadi mengamatinya merasa ilfil sendiri melihatnya,..hiii...sial cantik2 kok miring ya hehehehe...kok ada ya...gag jadi ah...tetep aja biar cantik tapi senyam senyum sendiri bikin ilfil...ya gakkk..

Keprihatinan terhadap eksplorasi sumberdaya arkeologi bawah air

Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel Gesekan Kepentingan di Jalur Terang

Eksplorasi Sumber daya Arkeologi di Indonesia seringkali menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan karena adanya ketidakselarasan antara undang-undang BCB dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Disamping itu masih adanya pihak-pihak yang memiliki kepentingan di dalam kasus-kasus tersebut. Dalam kasus diatas terjadi benturan antara Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 dengan Undang-Undang Nomor 5/1992. Dalam Undang-Undang Nomor 5/1992 yang berhak memberi izin pengangkatan benda bersejarah adalah Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sedangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107 Tahun 2000 yang menjadi ketua panitia adalah Menteri Kelautan dan wakilnya ialah Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Dalam kasus seperti ini seharusnya diperlukan kordinasi yang cukup matang agar tidak terjadi benturan antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Hal ini menandakan lemahnya operasional dari penegakan hukum dan perundangan di Indonesia. Selain itu pemerintah juga harus tanggap terhadap sumberdaya Arkeologi yang banyak terdapat di Indonesia yang sebagian besar dalam kondisi tidak terawat dan cenderung memprihatinkan.
Pengelolaan sumber daya arkeologi di Indonesia cukup memprihatinkan. Terutama sumber daya arkeologi yang terdapat didalam laut. Selain karena minimnya sumber daya manusia yang kompeten dalam penyelaman arkeologi, anggaran yang terbatas juga merupakan faktor yang menyebabkan jarangnya eksplorasi sumber daya arkeologi di dalam laut. Ketidakmampuan instansi dalam negeri inilah yang menyebabkan penggalian bawah laut banyak dilakukan oleh pihak asing.
Penyelaman oleh pihak asing ini seringkali menimbulkan masalah. Seperti yang terjadi di Cirebon dalam kasus diatas. karena seringkali terbentur masalah perizinan dan kepemilikan artefak tersebut. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan Arkeolog lokal agar diciptakan undang-undang dan Keputusan-Keputusan lain tentang sumber daya arkeologi yang lebih spesifik dan selaras antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya.

BEHAVIORAL ARCHAEOLOGY antara Schiffer dan Binford

Behavioral Archaeology mulai berkembang pada awal tahun 1970-an dengan Schiffer sebagai penggagasnya. Behavioral Archaeology timbul karena definisi tentang kebudayaan sudah terlalu banyak sehingga melahirkan beberapa perspektif sehingga menjadikannya tidak konsisten. Maka dari itu muncullah Behavioral Archaology. Menurut Behavioral Archaeology, arkeologi didefinisikan sebagai studi objek material yang tanpa melihat waktu dan spasial untuk menguraikan dan menjelaskan tingkah laku manusia. Dan benda arkeologis adalah merupakan produk dari manusia. Sehingga dari tinggalan-tinggalan itu dapat diketahui tingkah laku manusianya.Wilayah riset Behavioral Archaeology meliputi :
1. Formasi dari data arkeologi
Hal ini yaitu berkaitan dengan bagaimana suatu data arkeologi terbentuk dan terdeposisikan.
2. Rekonstruksi, identifikasi dan menguraikan tingkah laku manusia.
Hal ini meliputi dimana, kapan dan apa tingkah lakunya berdasarkan tinggalan arkeologis.
3. Penjelasan tingkah laku manusia
Berdasarkan temuan-temuan, dapat diketahui mengapa tingkah laku manusia terjadi.
Karena penelitiannya tidak berdasarkan waktu dan tempat maka dalam Behavioral Archaeology, terdapat 4 strategi yaitu :
1. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data masa lampau.
Misalnya dengan data-data tinggalan masa prasejarah, sejarah dan masa klasik. Berdasarkan data prasejarah, seperti bentuk dan kuantitas alat batu dapat memberikan pengetahuan tentang tingkah laku manusianya. Melalui bukti sejarah (tulisan) bagaimana tingkah laku manusia masa lampau dapat diketahui dsb.
2. Menjelaskan tingkah laku manusia masa lampau berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Misalnya dengan data etnoarkeologi dan eksperimental arkeologi. Data etnografi sangat mendukung mengenai hal ini, dengan melihat masyarakat atau suku-suku pedalaman yang masih tertinggal. Data ini sekiranya masih relevan untuk dianalogikan dengan peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Sedangkan dalam eksperimental arkeologi, seorang arkeolog pendukung Behavioral Archaeology dapat melihat bentuk-bentuk artefak dan membayangkannya bagaimana ia dibuat, teknik pembuatannya seperti apa, selanjutnya dicoba untuk memeragakan cara pembuatannya. Sehingga kira-kira dapat diketahui tingkah laku manusia masa lampau dalam membuat suatu artefak.
3. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa lalu.
Studi ini mengenai bagaimana tingkah laku manusia yang terjadi saat ini dengan melihat ke belakang dalam jangka waktu yang panjang, misalnya masa prasejarah, klasik dll. Adakah kausal yang melatarbelakanginya dan evolusinya hingga masa kini.
4. Menjelaskan tingkah laku manusia masa sekarang berdasarkan data-data dari masa sekarang.
Pada titik ini dimana hal ini merupakan yang berbeda dari yang lainnya. Bahwa Behavioral Archaeology mempelajari tingkah laku manusia masa kini dengan melihat artefak-artefak dari masa kini. Misalnya dengan melihat pola-pola susunan rak pada swalayan-swalayan masa kini yang memperlihatkan kecenderungan masyarakat yang menginginkan kepraktisan dalam berbelanja dan sebagainya.

Penggagas utama Behavioral Archaeology yaitu Schiffer. Dalam pandangannya bahwa tinggalan arkeologis yang kita temukan merupakan cerminan dari sistem tingkah laku dimasa lalu yang telah terdistorsi. Para pendukung Behavioral Archaeology memandang bahwa kebudayaan adalah gejala mental dan bahwa kebudayaan tercerminn pada meteri dan tingkah laku yang dihasilkannya.


Argumen Pribadi

Berdasarkan tulisan Binford yang berjudul “Behavioral Archaeology and the ‘Pompeii Premise’”. Saya jadi tahu bahwa terjadi ketidaksepahaman diantara para ahli dalam menentukan paradigma arkeologi. Begitu juga dengan pemahaman tentang premis Pompeii. Premis Pompeii merupakan sebuah anggapan tentang hubungan antara tinggalan arkeologi dengan kehidupan manusia masa lampau yang mana bahwa tinggalan arkeologi yang ditemukan dalam suatu ekskavasi merupakan cerminan langsung dari kehidupan manusia di masa lampau yang terhenti pada suatu saat di masa silam. Premis inilah yang didalam tulisan Binford sering perdebatkan. Disini dituliskan bahwa ketidaksukaan Binford kepada Schiffer yang menganut paham Behavioral Archaeology. Yang mana Binford merupakan penganut paham Processual Archaeology. Didalam tulisannya Binford itu para ahli arkeologi seharusnya tidak perlu membanding-bandingkan pendapatnya dan bahwa diri merekalah yang paling benar karena hal ini justru akan melemahkan posisi ilmu arkeologi.
Perbedaan aliran ini seharusnya dijadikan sarana untuk saling bahu-membahu meningkatkan kualitas ilmu arkeologi ini dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihannya. Terlebih saya melihat bahwa Binford dalam tulisannya selalu terlihat merendahkan pandangan-pandangan ahli lain selain dirinya. Ada yang menarik dari tulisan Binford saat ia menentang kajian etnoarkeologinya Ascher yaitu bahwa etnografi prasejarah yang biasa dipakai untuk merekonstruksi cara-cara hidup manusia masa lalu tidak sesuai dengan penelitian arkeologi pada umumnya. Tetapi anehnya dalam Positivisme Arkeologinya bahwa ia menyadari pendekatannya mengalami masalah yang serius sehingga ia menyarankan untuk studi terhadap tradisi/tingkah laku yang masih berlangsung hingga saat ini. Yaitu dengan studi etnoarkeologi, modern material culture dan eksperimental arkeologi.
Menarik melihat siapa-siapa yang menunjuk bahwa “ia” lah yang menemukan premis Pompeii. Sebenarnya menurut saya apa yang disebut dengan premis Pompeii sepertinya jarang terjadi. Karena seluruh tinggalan-tinggalan masa lampau yang terdeposisi pasti akan tertransformasi oleh suatu proses yang disebutkan oleh Schiffer yaitu proses non-budaya. Proses ini yang mengakibatkan tinggalan masa lampau hilang dan rusak bahkan tak berbekas. Karena dalam proses non-budaya terjadi misalnya proses pelapukan, pelarutan, kimia dan sebagainya. Apalagi di Indonesia yang notabene memiliki iklim yang cocok untuk proses-proses diatas.
Pandangan Binford mengenai kaum rekonstruksionis juga salah, kaum rekonstruksionis justru benar bahwa mereka merekonstruksi cara kehidupan masa lampau yang dengan itu akan diketahui proses budayanya. Dan justru metode-metode yang Binford uraikan sangat sulit untuk dicerna dan terlalu memaksakan. Disisi lain Binford kadang tidak konsisten seperti yang disebutkan mengenai studi etnoarkeologi tadi.
Selanjutnya yaitu bahwa Binford secara jelas merendahkan kaum induktifis, saya menilai bahwa arkeologi merupakan ilmu yang mempelajari masa lampau berdasarkan benda-benda tinggalannya. Yang mana jika kita meneliti suatu data empiris maka pendekatan kita bersifat induktif. Saya menilai pendekatan yan bersifat induktif masih sangat penting dan berperan dalam perkembangan arkeologi.
Namun saya setuju dengan pendapatnya Binford mengenai artefak, menurut ia bahwa arti artefak dapat ditelusuri berdasarkan fungsinya dimasa lalu dan bukanlah ide-ide si pembuatnya, sebagaimana umumnya penafsiran dalam sisitem klasifikasi kita. Jelas ini merupakan pandangan yang brilian, sesuai dengan pendapat saya. Artefak dibuat oleh pembuatnya pasti memiliki fungsi-fungsi tertentu. Sebuah artefak dibuat karena ada kepentingan yang bergerak dibelakangnya.
Mengenai pendapat Schiffer tentang cara ia melihat proses-proses transformasi dan proses-proses formasi telah baik. Schiffer melihat bahwa transformasi C yang mempunyai potensi pendistorsian, dan menurut saya memang benar seperti itu. Karena suatu artefak yang telah berpindah-pindah baik spasial maupun fungsional jelas menjadikannya terdistorsi, sehingga sulit untuk menentukannya. Begitu pula tentang pendapat saya bahwa Behavioral Archaeology sepertinya hampir sama dengan arkeologi tradisional seperti memiliki pendekatan yang sama yaitu induktif. Tetapi banyak juga perbedaannya.

14.7.09

Bali Traveler - KTP mati..


Ceritanya saat itu sebelum berangkat ke Bali saya mendengar dari cerita dan pengalaman teman2 bahwa untuk dapat mencapai Bali kita bakalan diperiksa KTPnya..jika tidak punya KTP atau bahkan mati maka akan langsung dipulangkan kembali bahkan katanya bisa ditahan selama 2 hari di kurungan, penjara maksudnya.......Tapi tujuan saya tetap satu yaitu menginjakan kaki di tanah para dewa tersebut, walau rintangannya satu yaitu KTP saya sudah mati sejak dua tahun yang lalu,..Damnnn...biarlah tekad sudah kuat,..cerita dimulai ketika kami tiba di pelabuhan gilimanuk,...tiba di pelabuhan saya biasa mencari mushola untuk sholat, alasan saja hehe..sebenarnya ya hanya istirahat sebentar...selesai sholat saya bingung mau kemana lagi, pintu keluar pun saya tidak tahu, akhirnya saya tanya penjaga mushola, beliau menjawab dengan rada emosi, mungkin kesal juga melihat muka kusam saya yang seharian melakukan perjalanan dari jogja hingga gilimanuk..hehe... jawaban penjaga itu tidak memuaskan saya, akhirnya kawan saya bertanya ke polisi, awalnya saya yang ingin bertanya tetapi mengingat KTP mati, mundurlah saya..Sandi yang dengan pedenya karena KTPnya katanya masih aktif bertanya kaepada polisi tersebut,..setelah tau pintu keluar langsung kami jalan keluar,..tiba di gerbang keluar kami ditahan oleh beberapa penjaga, mungkin satpam, mereka bertanya kepada kami mau kemana, kami jawab saja keluar pelabuhan dan mereka menyilakan kami untuk keluar,..namun setelah itu mereka tanya tentang KTP kami,.."kalian bawa KTP ga??" kami jawab saja kami membawanya...para penjaga tersebut tidak mengecek langsung KTP kami..hehe..akhirnya kami keluar dengan selamat...beruntung kami tidak memperlihatkan KTP, apalagi saya yang KTPnya mati,...ternyata benar apa kata teman2 bahwa untuk masuk ke Bali harus memperlihatkan KTP,..tapi beruntungnya pas saya hal itu tidak terjadi, mungkin juga karena sudah larut malam, sekitar jam 2 malam kalau tidak salah...setelah keluar lalu kami istirahat sebentar di warung kopi dan bertemu bapak tua yg sok tahu dan beberapa pemuda yang juga sedang perjalanan ke bali,..mereka cerita kepada saya bahwa mereka pernah disuruh balik lagi ke pulau jawa karena KTP mereka mati,..wah parah kann...gimana kalau itu terjadi dengan saya...MTW -> mati waee...haha...udah jauh2 nyampe gilimanuk trus diusir suruh pulang lagi ke Jogja,...yah males dahh... beruntungnya saya ketika para petugas itu hanya menanyakan saja, tidak menyuruh memperlihatkan KTP hehehe....dan parahnya lg ternyata Sandi kawanku KTP nya juga mati, padahal dia sudah pede bahwa ktpnya masih berlaku,..KTPnya ketahuan mati ketika kami menyewa motor di Kuta...dasar nekaddd...haha

Bali Traveler - Makan Murah di Kuta



Ternyata di kuta ada juga tempat makan yang murah meriah,..ketika itu saya bersama kawan sedang hunting makanan karena saat itu kami baru saja sampai di kuta setelah perjalanan 3 jam dari gilimenuk...sampai di kuta kami lalu santai sejenak menikmati keindahan pantai kuta di pagi hari, saat itu memang kami tiba pada saat pagi...menjelang siang perut kami sudah lapar dan kami sadar disekeliling kuta seluruhnya hanya terdapat rumah makan atau restorang2 kelas atas, maklum mayoritas disana bule2 semua...jadilah saya jalan mencari tempat makan murah, awalnya kami bingung mau jalan kemana karena kami tidak memiliki peta sama sekali..akhirnya kita putuskan untuk jalan disepanjang pantai kuta, didepan kami berjejer restoran2 kelas atas dengan hidangan yang siap menampar wajah kami dengan harganya yang selangit,.. maklum kami hanya budget bacpacker,.hehe... kami kira kami akan cepat menemukan tempat makan yang murah, ternyata seoanjang kuta tersebut tidak ada satupun warung makan yang kelihatannya murah..hingga mentok di sudut jalan dimana terdapat etalase surfing dan tertulis surf lesson only 20 dollars..gila mahal bgt buat gw...didepan tempat tersebut terdapat kaki lima yang menjual nasi dan lauk pauknya,...sebenarnya disepanjang pantai kuta banyak warung seperti itu juga, tapi kami menaksir bahwa yang beli orang2 bule maka harganya pun pasti selangit...karena putus asa yas sudah kami makan diwarung tersebut, biarlah harga bule yang penting perut kenyang...saya lihat ada tahu tempe ayam ati mi dan lauk lainnya. pikiran saya langsung tertuju ke tahu tempe, karena pasti harganya murah, setidaknya paling murah dari yang lainnya...ya sudah saya pesan itu, sandi kawanku memesan nasi campur....wah berani juga dia pesen nasi campur...akhirnya datang juga pesanan, tadinya saya memesan tempe tahu namun apa yang disajikan ternyata nasi dengan lauk ayam dan tahu, nah loh...saya langsung mikir bakalan mahal pasti seporsinya...tekor deh..dan lebih takjub lagi melihat lauk sandi yaitu sepotong ayam dan ati ampela...gila dijogja aja porsi gituan udah lewat dari ceban nehh...mau nolak karena tidak sesuai pesanan gengsi sama bule2 disamping, yaudah akhirnya makan aja dehhh...pikiran mahal nanti aja belakangan...makan deh tuhh akhirnya......selesai makan pikiran itu baru muncul lagi, duhh mahalnya ni makanan....padahal saya gag milih nih lauk..aus juga, akhirnya beli sebotol aqua kecil...sudah selesai semua saya tanya brapa semuanya....klimaksnya dimulai nehh...eh si ibu penjualnya jawab 8ribu mas....hahhhhh...dalam hati HAH..cuma 8rebu, murah yaa...bandingin aja sebotol aqua ditempat bgituan harganya bisa 3ribu, sisanyaharga tuh porsi deh,...cuma 5ribu cuyyy..murah sekaleee...awalnya saya kira ibunya lupa atau emang tidak bisa menghitung, tapi ternyata bener kok..sandi juga cuma kena 8ribu aja....dan hari ke dua pun saya makan disan...porsi bakso plus telur plus lontong cuma kena harga 4rebu perak,..gila gag tuh...ini kuta bungggg...kok masih ada aja orang yang jual dengan harga segitu didepan bule2,...mereka pake dollar buu, kok masih pake standar harga kampung siy...ya gpp sih ternyata ongkos gw jadi irit kalo makan disitu hehehe...tengkyu...buat bule2: bayar lebih lo ya,..awas gag mau rugi...lu kan pake dollar..hehe..

13.7.09

Bali Traveler - Bapak tua yang sok tahu...

Saat itu saya di kereta Sri Tanjung bersama Sandi dalam perjalanan menuju banyuwangi,..ketika memasuki kota jember datanglah bapak-bapak berbaju putih membawa koper, beliau langsung bertanya tujuan saya, saya jawab ke denpasar dan bapak tersebut ternyata memiliki tujuan yang sama pula. selanjutnya kami pun jalan bersama setelah sesampainya di stasiun Banyuwangi Baru. turun dari stasiun bapak tersebut saya ajak untuk jalan kaki ke pelabuhan Ketapang, ditengah jalan bapak tersebut kecapekan karena termakan oleh usia yang sudah lanjut, lalu kami makan bersama di warung makan dengan lauk seadanya. kami berpisah di atas kapal, saat itu si bapak mengatakan ingin nembak bis yang sudah naik ke kapal, kami diajak namun tidak bisa dengan alasan lebih enak dikapal padahal karena keterbatasan ongkos kami yang sebagai budget backpacker... setibanya di pelabuhan GIlimanuk kami lalu ke mushola dan selanjutnya keluar pelabuhan, beruntungnya kami tidak diperiksa KTP oleh petugasnya. setibanya di luar pelabuhan, saya kira bapak tersebut sudah naik bersama bis tembakannya, ternyata beliau masih nongkrong di warung kopi tempat kami mencari bis. bapak itu lalu menegor kami,...bayangan saya beliau sudah jalan bersama bis, eh ternyata masih nongkrong juga..beliau mengatakan agar kita menunggu saja bis yang nanti datang,..sedangkan diluar warung sudah ada kernet bis lokal yang menawarkan kami untuk naik bis lokal,,..si bapak masih saja ngotot untuk naik bis antar kota dengan harapan bisa nembak di jalan...kami pun mengikuti arahan bapak tersebut..namun lama kelamaan tidak ada bus yang mau untuk menerima kami naik,..akhirnya kami pun memaksakan diri untuk mengikuti si kernet bis lokal...dan ternyata si bapak mengikuti kami juga..setelah kami sampai terminal bersama kernet bis lokal,..ternyata disana sudah banyak penumpang yang menunggu kami untuk neik bis,...akhirnya setelah kami datang bis pun langsung berangkat...ternyata kami orang terakhir yang ditunggu mengisi tiga kursi kosong yang tersisa....didalam bis ada bapak mengatakan kepada kami bahwa ia telah menunggu bis berangkat sejak jam 11 malam, sedangkan kami baru saja datang semenit yang lalu langsung berangkat..ternyata kata hati lebih baik dari pada ajakan seseorang walaupun orang itu sudah tua,..dasar bapak tua yang sok tahu...huuuu.....

1.7.09

HIASAN MACAN ALI SEBAGAI PERLAWANAN KESULTANAN CIREBON TERHADAP MATARAM

Seni merupakan hasil karya manusia yang dibuat berdasarkan kreatifitas. Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu (http://id.wikipedia.org). Karya seni sangat sulit untuk dinilai. Biasanya penilaian dilakukan secara subyektif. Karya seni selain merupakan benda seni juga merupakan hasil gagasan manusia untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu. Kadang kala dapat berupa pesan emosi, situasi serta politik. Karya seni yang seperti itu tidak hanya dipandang sebagai hasil seni saja, namun memiliki simbol terhadap konteks pada masanya. Seperti yang akan dijelaskan dibawah yaitu mengenai gambar macan ali yang terdapat di Kesultanan Cirebon.
Macan ali merupakan gambar atau penggambaran sebuah macan yang di tulis dalam kaligrafi sehingga huruf-huruf kaligrafi tersebut membentuk sebuah bentuk macan. Hal ini terjadi karena Islam tidak membolehkan umatnya untuk menggambar makhluk hidup. Sehingga penggambaran macan ali melalui kaligrafi ini merupakan siasat agar tidak melenceng dari Islam. Penggambaran macan ali di Kesultanan Cirebon terdapat di bendera kesultanan. Pada bendera tersebut terdapat beberapa pola hias dalam bentuk kaligrafi. Kaligrafi merupakan sebuah gagasan dalam dunia Islam untuk berkreasi melalui ayat-ayat Alquran maupun kalimat syahadat. Kreasi tersebut dibentuk dengan penggambaran-penggambaran motif maupun bentuk makhluk hidup. Penggambaran Macan ali merupakan hasil kreasi manusia yang dibuat berdasarkan gagasan dengan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga Macan ali dapat dikatakan sebagai hasil karya seni.
Adapun yang terdapat didalam bendera Kesultanan Cirebon yaitu:
1. Terdapat tulisan “bismillah” dan ayat Alquran untuk menunjukkan kaegungan Allah SWT.
2. Dua bintang yang mengandung 8 sisi, yang melambangkan Muhammad dan Fatimah as.
3. Diantara “bismillah” dan dua bintang terdapat dua gambar, singa kecil dan besar, dan pedang bercabang dua, yang melambangkan pedang Zulfikar milik Imam Ali as.
4. Setelah Zulfikar terlihat singa besar, yaitu Asadullah, alias Singa Tuhan. Didalam bahasa Indonesia, singa Ali itu diterjemahkan dengan “Macan Ali”
5. Di dalam panji, tergambar lambing lima orang manusia suci sebagai sumber petunjuk dan hidayah. Raja-raja IslamJawa sangat meyakini hakikat nur Muhammad sehingga dalam setiap peperangan selalu mengharapkan keberkahan. Karena itu, logo-logo Ahlulnait as selalu tampak dalam setiap bendera raja-raja Cirebon, Jawa Barat (Iqbal, 2006:118).
Kedatangan agama Islam dengan pola-pola baru dan anjuran agar tidak melukiskan segala bentuk manusiawi dan hewani, justru memperkaya imajinasi para seniman zaman dulu. Anjuran ini tidak selalu ditaati, tradisi kuno masih saja dipertahankan dan diperkaya dengan pola yang berciri Timur Tengah, Persia dan India. Sebagai contoh dapat disebut desain Singa Putih, suatu ragam hias yang berkali-kali muncul kembali, yang sebetulnya berasal dari harimau putih, tetapi yang lambat laun berubah menjadi Singa Persia, atau malah Singa Tiongkok. (http://cerbonan.wordpress.com).
Islam di Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16 Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar pulau (http://id.wikipedia.org). Kesultanan Cirebon didirikan oleh Pangeran Cakrabuana dan berjaya pada masa kepemimpinan Sunan Gunung Jati. Islam di Cirebon berkembang melalui daerah pesisiran. Perkembangan Islam sangat pesat karena Cirebon juga merupakan daerah pesisiran. Pada saat itu banyak kapal yang datang dari India Islam, Timur Tengah dan Cina Islam di Cirebon sedikit berbeda dengan Islam di Demak dan Mataram. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh budaya Hindu yang cenderung Hindu Sunda. Hal ini dapat terlihat pada lambang keraton yang berupa Harimau Putih (http://moroturu.blogspot.com).. Begitu pula dengan tingkatan Islamnya, di Cirebon laku kejawen tidak banyak dilakukan. Berbeda dengan Demak dan Mataram yang memang pengaruh Hindu Jawa nya sangat kuat sehingga banyak ditemukan laku kejawen.
Islam di Mataram dan Demak
Islam pada kedua kerajaan ini sangat dipengaruhi oleh Hindu Jawa. Hal ini dapat dilihat dari mitos, karya sastra maupun kesenian yang masih menyisakan budaya-budaya hindu. Misalnya pada menara masjid Kudus yang memiliki bentuk seperti candi-candi masa Majapahit. Selain itu juga pada masjid Demak yang beberapa kayunya berasal dari sisa keraton Majapahit. Hal ini juga terkait bahwa raja pertama Kesultanan Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit (susiyanto.wordpress.com). Sedangkan di Mataram, Sultan agung membagi islam kedalam 2 bagian yaitu Islam pesantren dan Islam keraton. Islam pesantren merupakan lingkungan Islam dengan budaya berbahasa Arab sedangkan Islam Keraton merupakan lingkungan budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat pada lingkungan istana kerajaan (Simuh, 2000:1)
Macan ali sebagai simbol perlawanan
Perkembangan kerajaan Islam di Indonesia tidak selamanya berjalan dengan mulus. Kadangkala terjadi perselisihan diantara kerajaan islam tersebut. Selain itu keislaman tidak saja menjadi hal pengikat namun dapat saja menjadi perenggang hubungan antar kerajaan. Hal ini bisa saja terkait karena perbedaann aliran keislaman ataupun pengaruh dari luar seperti perbedaan akulturasi dengan budaya setempat. Peristiwa ini dapat kita lihat pada masa Islam antara Kesultanan Cirebon dengan Mataram dan Demak. Pandangan secara umum hubungan antara kesultanan tersebut berjalan dengan baik. Namun jika dilihat lebih dalam terdapat beberapa hal yang justru bertentangan. Seperti misalnya pengaruh budaya, di Mataram budaya Hindu Jawa sangat mempengaruhi sedangkan di Cirebon sangat dipengaruhi oleh budaya Sunda.
Hal ini dapat kita lihat pada hiasan macan ali. Hiasan ini terletak pada panji atau bendera kesultanan. Bendera merupakan lambang kerajaan yang merupakan manifestasi filosofis suatu kerajaan. Sehingga bendera merupakan identitas suatu kerajaan didalam lingkupnya dengan kerajaan lainnya. Kesultanan Cirebon memiliki hiasan macan ali pada bendera kesultannnya. Hal ini tentunya memiliki tujuan-tujuan tertentu yang mengkomunikasikan simbol tersebut kepada masyarakatnya serta kerajaan lainnya. Namun simbol ini dapat saja dipahami secara berbeda oleh individu yang berbeda.
Hiasan macan ali yang berada pada bendera Kesultanan Cirebon mendapatkan pengaruh dari budaya Hindu Sunda yang seringkali menampilkan gambar Harimau putih dalam hiasan seninya. Kesultanan Cirebon terletak lebih dekat dengan wilayah Sunda daripada dengan wilayah Hindu Jawa. Hiasan Macan ali banyak ditemukan di wilayah yang beraliran syiah yang merupakan salah satu aliran islam yang pastinya merupakan aliran Islam murni yang tidak terpengaruh oleh budaya lokal. Kerajaan Cirebon dan Mataram sering berbenturan mengenai hal perbatasan wilayah serta budaya. Misalnya pada masa Panembahan Ratu, Kesultanan Mataram ingin memasukkan Cirebon kedalam daerah taklukan. Namun karena kekuatan dalam bidang keagamaan, Sultan Mataram menjadi merasa segan. Saat itu wilayah kesultanan Cirebon mencakup Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kabupaten dan Kotamadya Cirebon sekarang (http://cerbonan.wordpress.com).
Dari parameter diatas maka dapat disimpulkan bahwa hiasan macan ali pada panji atau bendera Kesultanan Cirebon memiliki simbol sebagai perlawanan Kesultanan Cirebon terhadap Mataram. Perlawanan tersebut dinilai dari dua segi yaitu budaya dan agama. Dari segi budaya, Kesultanan Cirebon tidak terikat oleh budaya jawa namun lebih terkait oleh budaya Sunda, hal ini dapat dilihat oleh penggambaran harimau yang seing ditemukan pada seni budaya Sunda. Budaya jawa seringkali lebih banyak menggambarkan burung dalam seni hiasnya. Yang kedua yaitu dari segi agama, Kesultanan Cirebon memiliki keislaman yang lebih murni daripada Mataram, hal ini dilihat dari penggambaran macan ali yang merupakan menifestasi semangat khalifah Ali as dalam peperangan. Semangat ini menjiwai keislaman mereka untuk lebih murni menjalankan islam. Selain itu karena pengaruh Timur Tengah yang sangat kuat pada daerah pesisir. Budaya agama sunda wiwitan tidak masuk hingga ke sendi-sendi keislaman namun hanya pada seni hias saja. Sedangkan pada Mataram, budaya Islam kejawen sangat popular.


Sumber:
Iqbal, Muhammad Zafar. 2006. Kafilah Budaya: Pengaruh Persia Terhadap kebudayaan Indonesia. Jakarta: Citra.
Simuh. 2000. Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa. Makalah Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa.
http://id.wikipedia.org, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Seni”, “Kesultanan Cirebon”.
http://cerbonan.wordpress.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Menyelami Kesenian Cirebon”.
http://moroturu.blogspot.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Perkembangan Kebudayaan islam di Cirebon”.
http://susiyanto.wordpress.com, diakses 4 Januari 2009 dengan judul “Kesultanan Demak , Pasca keruntuhan Majapahit”.

GENDER PADA KEHIDUPAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA

Gender ialah konstruksi sosial yang diciptakan oleh masyarakat untuk membandingkan suatu pekerjaan atau fenomena berdasarkan kelamin. Sehingga seringkali suatu pekerjaan atau fenomena tertentu didominasi oleh jenis kelamin tertentu. Padahal semestinya hal tersebut tidak terjadi karena setiap manusia memiliki hak yang sama atas suatu peran. Menurut Freeman (1970) yang saya kutip dari R. Cecep Eka Permana (2005:5) bahwa kondisi biologis sepanjang masa sebenarnya tetap sama yaitu terdiri atas pria dan wanita. Perbedaan biologis itu menjadi bermakna politis, ekonomis dan sosial manakala tatanan kultural dalam masyarakat mengenal pembagian kerja secara hirarkis antara pria dan wanita.
Pembagian tersebut kadangkala menjadikan wanita sebagai subordinasi pria. Hal ini dikarenakan stereotip wanita sebagai makhluk yang lemah, lembut dan sabar lebih cocok berada pada wilayah-wilayah domestik. Sedangkan laki-laki seringkali menguasai wilayah-wilayah yang agak kasar seperti wilayah publik. Pola-pola semacam ini banyak ditemukan pada budaya-budaya di Indonesia. Bahkan penafsiran terhadap kehidupan pada masa Paleolitik pun masih menggunakan pemahaman seperti itu.
Kampung Naga berada di Jawa Barat, terletak diantara kota Garut dan Tasikmalaya. Konon pada masa Kerajaan galunggung di abad 15-16, lembah Kampung Naga adalah tempat persembunyian Singaparana yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Naga (Padma, 2001:6). Keunikan Kampung Naga ialah masyarakatnya masih memegang konsep-konsep warisan leluhur mereka. Konsep warisan ini terwujud pada kehidupan bermukim berdasarkan aturan tertentu sehingga terbentuk pola-pola pada perkampungannya yang sarat dengan makna.
Kehidupan masyarakat Kampung Naga sangat sederhana. Dalam kehidupannya mereka memanfaatkan segala sumber daya alam. Dalam hal pengelolaan lingkungan, masyarakat ini telah memiliki kesadaran secara turun temurun. Seperti misalnya pembagian daerah bersih dan daerah kotor. Jika dilihat pola permukimannya seluruh bangunan di Kampung Naga ini memiliki arah hadap utara-selatan. Pemukiman dikelilingi pagar yang terbuat dari anyaman bambu rangkap dua dan menjadi batas tegas antara daerah permukiman dengan non permukiman. Batas fisik yang serupa juga ditemui pada daerah makam leluhur, Bumi Ageung, dan lahan bekas langgar (Padma, 2001:11).
Aktifitas yang terkait dengan ibadat pada masyarakat Kampung Naga ialah ritus Hajat Sasih. Yaitu upacara adat untuk menghormati dan meminta berkah leluhur sekaligus perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan (Padma, 2001:12). Ritus tersebut berkaitan antara budaya leluhur dengan budaya Islam sehingga akulturasi budaya tercipta pada kegiatan ini. Selain ristus tersebut ada juga peringatan tahapan perjalanan kehidupan manusia seperti khitanan, perkawinan, kematian dll.
Kondisi topografi wilayah Kampung Naga cenderung curam. Sehingga terjadi rawan longsor. Namun hal ini dapat di antisipasi oleh masyarakatnya dengan membuat sengkedan yang terbuat dari batu kali yang diambil dari sungai Ciwulan. Teknologi sederhana warisan leluhur berupa sengked batu tersebut menjadi cara untuk menjawab kondisi tersebut. Sistem sengkedan merupakan sistem yang cocok untuk tanah yang curam.
Wilayah Laki-laki dan Wilayah Perempuan
Rumah merupakan tempat yang paling vital bagi kelangsungsn hidup manusia. Kegiatan sehari-hari mulai dari fajar hingga malam banyak dilakukan di rumah. Rumah dalam masyarakat Kampung Naga mamiliki makna yang berharga dan menuntut perlakuan hati-hati. Misalnya jika mendirikan rumah harus dengan ritus-ritus tertentu. Serta aturan-aturan pembuatan rumah yang wajib dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Di dalam rumah pula dapat kita lihat dominasi atas ruang. Kegiatan-kegiatan tertentu tanpa disadari akan membentuk pola-pola yang statis dimana kegiatan tersebut berlangsung secara terus menerus pada suatu ruang. Dan keberlangsungan kegiatan tersebut biasanya dilakukan oleh jenis kelamin yang itu-itu saja. Hal inilah yang membentuk sebuah konstruksi pemikiran mengenai gender.
Pada masyarakat Kampung Naga kesehariannya para pria sering menghabiskan waktunya di sawah. Para ibu melakukan berbagai aktifitas seperti mencuci, menanak nasi dan menyiapkan lauk pauk untuk makan siang dan juga menyiapkan dan mengantar makanan ke sawah tempat para pria bekerja. Memasak khususnya menanak nasi, berhubungan erat dengan ritual wanita karena diasosiasikan dengan Dewi Sri. Menurut kepercayaan mereka, Nyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati adalah pengayom tanaman padi. Nyi Pohaci dalam masyarakat Baduy dinamakan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Permana, 2005:68). Penghormatan kepada Dewi Sri dapat terlihat dalam perletakan goah yang dianggap sebagai ruang utama sebuah rumah. Selain itu di Kampung Naga juga terdapat bangunan khusus wanita yaitu saung lisung. Saung lisung merupakan tempat para wanita menumbuk padi dan bersosialisasi. Aktifitas ini erring dilakukan di sela-sela kagiatan ritun mereka dirumah.
Di masyarakat Kampung Naga terdapat pembedaan ruang. pembedaan ruang ini ditentukan oleh nilai yang berlaku termasuk perbedaan peran penghuni yang secara tradisional dibedakan menurut gender, antara ibu (perempuan) dan laki-laki (ayah). Area depan seperti tepas bawah (teras) dan tepas atas (ruang tamu) adalah wilayah laki-laki sedang pawon (dapur) dan goah (gudang gabah) wilayah perempuan. Ruang-ruang umum seperti ruang-tengah bersifat netral karena merupakan ruang tempat berkumpul keluarga (www.mail-archive.com). Meskipun terjdi perubahan pada bentuk bangunan, kondisi pembagian ruang ini masih tampak, pada masyarakat Sunda ibu-ibu tetangga cenderung bertamu ke dapur, tidak ke ruang tamu. Kedekatan antar-ruang diatur menurut fungsinya. Seperti goah berdekatan dengan dapur, kamar tidur orangtua diletakkan di belakang kamar anak dengan maksud agar anak-anak dapat terawasi orangtua.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa peran pria dan wanita di Kampung Naga telah dibagi. Kaum pria lebih banyak melakukan kegiatan di luar seperti di sawah sedangkan kaum wanita lebih sering berada di ranah domestik seperti di dapur. Dalam tataran keruangan rumah tinggal, terdapat pembagian ruang antara ruang pria, wanita serta ruang netral. Di dalam masyarakat pun terdapat bangunan yang khusus digunakan untuk kaum wanita. Namun secara keseluruhan tidak ada dominasi diantara keduanya. Jika disimpulkan maka kesetaraan gender pada Kampung Naga ini kemungkinan berada pada tingkat non eqaliter rendah.



Tata ruang Imah Naga




Digambar oleh Ramanda Primawan berdasarkan sumber buku “Kampung Naga”

Daftar Pustaka
Permana, R. Cecep Eka. 2005. Kesetaraan Gender Dalam Adat Inti Jagad Baduy. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Padma, Adry (et al.). 2001. Kampung Naga: Permukiman Warisan Karuhun. Bandung: Architecture & Communication.
http://www.mail-archive.com/urangsunda@yahoogroups.com/msg37864.html, diakses 12 desember 2008 dengan judul “Artikel Imah Sunda Tea”.

Etika Peneliti Australia Dalam Publikasi Homo Floresiensis

Makalah ini ditulis sebagai reaksi terhadap artikel yang pernah saya baca di website Koran Kompas yang judulnya yaitu “Memburu Spesies Manusia Purba di Liang Bua”. Bagian yang paling saya soroti adalah mengenai publikasi penemuan manusia purba tersebut. Dari artikel Kompas tanggal 30 Oktober 2004 tersebut tertulis:
“Setelah melakukan serangkaian ekskavasi, September 2003, tim gabungan ini berhasil mendapatkan temuan menghebohkan itu: si hobbit dari Liang Bua! "Sebetulnya penelitian ini belum sepenuhnya usai. Kok, tiba- tiba saja hasilnya sudah diumumkan oleh pihak Australia. Apalagi ketika itu diumumkan tanpa didampingi oleh satu pun peneliti dari Indonesia. Saya tak tahu di mana etika penelitian dan etika kerja sama yang selama ini diagung-agungkan di dunia keilmuan," ujar Soejono.
Berdasarkan kutipan artikel tersebut dapat disarikan bahwa peneliti Australia telah melanggar etika penelitian, dalam hal ini yaitu publikasi penelitian. Berdasarkan artikel tersebut namun pada paragraf lainnya tertulis kegiatan penelitian itu adalah kerjasama antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Puslitarkenas dengan pihak Australia yang dipimpin oleh Mike Morwood. Berdasarkan kode etik profesi, untuk mempublikasikannya harus dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Pendapat dilontarkan Ketua Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia Ingrid HE Pojoh. "Saya tidak tahu bagaimana perjanjian di antara kedua belah pihak sehingga Australia dapat mengumumkan tanpa didampingi peneliti Indonesia. Kalau itu kerja sama, setiap langkah seharusnya dengan sepengetahuan kedua belah pihak serta dilakukan bersama," katanya Selain itu pula arkeolog Edi Sedyawati mengatakan, dalam setiap kerja sama, kedudukan kedua pihak harus sejajar mulai dari perencanaan hingga publikasi. "Ini harus dimengerti oleh para pejabat terkait dan peneliti karena pihak luar negeri pasti akan mencari celah-celah. Oleh karena itu, perlu kekompakan para peneliti," katanya (Kompas, 3 November 2004).
Sebelumnya kembali kepada pembahasan etika profesi. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos. Istilah etika dimaknai sebagai kebiasaan atau peraturan perilaku dalam masyarakat. Dalam filsafat sendiri, etika adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik terhadap diri sendiri maupun dengan masyarakat, alam dan Tuhan. Sedangkan etika dalam ranah penelitian lebih menunjuk pada prinsip-prinsip etis yang diterapkan dalam kegiatan penelitian Bagi ilmu pengetahuan, tanggung jawab itu meliputi dua hal yaitu tanggungjawab ilmiah dan tanggungjawab moral (Suhartono, 2004:165). Tanggung jawab ilmiah intelektual adalah tanggung jawab terhadap pendekatan, metode dan cara-cara untuk mencapai kebenaran obyektif. Sedangkan tanggungjawab moral adalah sejauh mana ilmu itu dapat dipublikasikan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, dalam hal ini juga terhadap sesama peneliti.
Dari pemaparan diatas kita ketahui bahwa peneliti-peneliti Australia entah seluruhnya atau hanya pemimpinnya dengan jelas memiliki etika yang sangat rendah. Perilaku profesi kurang dijunjung tinggi terlebih pada perilaku intelektual. Karena apa yang mereka capai untuk penguasaan bidang ilmu dan mencapai hal yang baru sejujurnya tidak didapat oleh mereka sendiri melainkan dibantu oleh rekan dari Indonesia. Selain itu juga termasuk kedalam rendahnya perilaku professional yang mana rasa kebersamaan dengan sejawat yang bersama meneliti namun tidak diakui, padahal mereka sesama arkeolog. Tidak ada lagi tanggungjawab moral yang dimiliki, yang hal itu berakar dari egoisme sekumpulan orang untuk mencapai ketenaran. Hal ini bisa saja sama seperti perilaku Binford yang mengagung-agungkan Procesessual Archaeology dan memandang remeh gagasan lainnya sehingga bisa dikatakan sebagai fanatisme keilmuan.
Sebenarnya hal itu tidak akan terjadi jika keduanya telah saling memahami tujuan penelitian tersebut serta tanggungjawab masing-masing. Arkeolog dari Indonesia harus memahami profesi yang ia geluti yaitu Arkeologi Indonesia agar posisi tawar peneliti tidak dipandang remeh oleh para peneliti Australia. Selain itu komitmen dan motivasi dalam penelitian sangat dibutuhkan untuk mengimbangi luasnya pengetahuan yang biasa dimiliki oleh peneliti asing. Jika keduanya saling memahami etika profesi maka hubungan keduanya baik interpersonal maupun komunal akan berjalan baik yang bermuara pada tegaknya ilmu arkeologi di Indonesia. Dan intinya bahwa hubungan antar peneliti harus berjalan baik untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga meningkatkan rasa tanggungjawab dan perilaku profesi. Dan untuk Arkeolog Indonesia tingkatkan etika profesi agar kita tidak dilecehkan oleh peneliti asing.

Referensi
Suhartono, S. 2004. Dasar-Dasar Filsafat. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
http://bondanriset.blogspot.com/2006/10/prinsip-prinsip-etika-penelitian.html (visited on 18 Juni 2008)
http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0410/30/humaniora/1355051.htm (visited on 10 Juni 2008)
http://www.kompas.com (visited on 2 Juni 2008)

SIMBOLISASI ROTI BUAYA PADA PERNIKAHAN ADAT BETAWI DI KAMPUNG DUKUH KOTA TANGERANG

Jakarta merupakan wilayah ibukota yang memiliki penduduk terpadat se-Indonesia. Wilayahnya dihuni oleh berbagai jenis suku bangsa yang mewakili berbagai budaya di Indonesia. Salah satu budaya yang melekat dengan kota Jakarta ialah Betawi. Sebutan “Betawi” merupakan kata lain dari nama “Batavia” yang dulunya merupakan nama kota Jakarta. Budaya Betawi merupakan asimilasi dari berbagai budaya yang pernah singgah di masa pembentukan kota Jakarta. Mulai dari budaya Sunda, Jawa, Bali, Cina, Arab, serta Portugis.
Orang Betawi sebagai penduduk pribumi sangat tertekan selama hidupnya pada masa Kolonial. Terutama oleh penguasa Belanda dan tuan-tuan tanah. Orang Betawi terus menerus mendapat tekanan dari orang asing, bahkan banyak harta dan tanahnya yang dirampas dengan sewenang-wenang oleh para penguasa bangsa asing itu, mereka terpaksa menyingkir ke daerah pinggiran (Budiaman,1979:17).
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi — dalam arti apapun juga — tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, 'suku' Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta (Wikipedia).
Kampung Dukuh terletak di Kelurahan Sudimara Selatan, Kecamatan Ciledug, Kotamadya Tangerang. Kampung ini terletak di sebelah barat DKI Jakarta. Pada mulanya daerah Ciledug merupakan wilayah persawahan yang kemudian hari disebabkan pesatnya pertumbuhan penduduk di Jakarta, maka daerah Ciledug menjadi padat penduduk. Begitu pula Kampung Dukuh yang dulunya merupakan rawa dan hutan saat ini menjadi padat penduduk. Penduduk asli Kampung Dukuh adalah orang Betawi yang menyingkir dari wilayah Jakarta. Yang pertama yaitu orang-orang yang menyingkir dari Jakarta pada masa Kolonial. Yang kedua yaitu orang-orang yang rumahnya terkena gusur oleh pembangunan kota Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin.
Saat ini Kampung Dukuh telah dihuni oleh berbagai etnis seperti Betawi, Batak, Jawa dan Sunda. Namun mayoritas masih merupakan etnis Betawi. Pola pemukiman warga Betawi disini cenderung mengelompok. Biasanya satu kelompok terdiri dari beberapa keluarga inti yang memiliki kekerabatan hingga taraf kakek. Sedangkan etnis lainnya seperti Jawa, Sunda dan Batak pemukimannya cenderung menyebar. Kepemilikan tanah di Kampung Dukuh didominasi oleh etnis Betawi. Tanah tersebut biasanya digunakan sebagai warisan untuk anak-anak mereka. Berdasarkan sebutannya, orang-orang betawi disini merupakan jenis “Betawi Ora”. Yaitu orang Betawi yang terdesak ke daerah pinggiran karena tidak mampu bertahan di Jakarta.
Roti buaya merupakan hantaran wajib pernikahan Betawi. Bentuknya yaitu roti yang menyerupai buaya, kadang memiliki ukuran yang sama dengan buaya aslinya. Biasanya terdiri dari dua roti yaitu roti buaya jantan dan betina. Untuk roti betina biasanya diatasnya terdapat buaya kecil, dimaksudkan itu adalah anaknya. Harga roti buaya berkisar 200-500 ribu rupiah per satu buah (http://ghiaarya.multiply.com). Harga yang lumayan mahal bagi warga betawi Kampung Dukuh yang tergolong sederhana. Yang menyerahkan roti buaya pada saat pernikahan ialah keluarga pengantin laki-laki. Roti ini dibawa saat pengantin laki-laki mulai datang ke rumah pengantin perempuan. Selanjutnya diserahkan kepada keluarga pengantin perempuan.
Contoh kasus yang saya gunakan adalah pada pernikahan antara Yudi Mahmud dengan Juraiha. Keduanya mewakili keluarga betawi yang berada di Kampung Dukuh. Yudi Mahmud merupakan anak dari Mahmud Bakri, Pria asal Tegal yang menikah dengan wanita Betawi dan tersingkir dari Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin. Sedangkan Juraiha merupakan anak dari alm. H. Arif, yaitu orang Betawi asli warga Kampung Dukuh. Dalam kehidupan sehari-hari, keluarga Mahmud Bakri menggunakan adat budaya Betawi. Namun terkadang masih terdapat unsur-unsur Jawa dalam percakapan. Sedangkan keluarga alm. H. Arif masih memegang erat adat budaya Betawi.
Menurut Kartini Kartono(dalam Muridan, 2007:1):
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang secara formal mempertemukan sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri di hadapan penghulu atau kepala agama tertentu, para saksi, dan sejumlah hadirin untuk kemudian disahkan secara resmi sebagai suami-istri dengan upacara-upacara atau ritus-ritus tertentu. Oleh karena itu, perkawinan menjadi sebuah perlambang yang sejak dulu dibatasi atau dijaga oleh berbagai ketentuan adat dan dibentengi oleh kekuatan hukum adat maupun kekuatan hukum agama.
Sehingga pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan penting dalam daur hidup manusia. Dan seringkali merupakan penyatu antara dua adat yang berbeda. Ketika dua adat bersatu dalam perkawinan harus ada yang menjadi minoritas dalam upacara perkawinan tersebut. Sehingga salah satu adat harus mengalah. Pernikahan kedua mempelai tersebut menggunakan adat betawi seperti saat pengantin laki-laki datang disambut petasan. Lalu syarat mempelai pria diperbolehkan masuk menemui orang tua mempelai wanita adalah prosesi ‘Buka Palang Pintu’. Yakni, dialog antara jagoan pria dan jagoan wanita, kemudian ditandai pertandingan silat serta dilantunkan tembang Zike atau lantunan ayat-ayat Alquran (http://www.weddingku.com). Namun pada pernikahan tersebut hanya terdapat balas pantun, tembang dan baca Alquran.
Dalam budaya betawi terdapat hantaran-hantaran yang harus dibawa oleh pengantin pria yaitu sirih, pala, kekudang, mas kawin, pesalinan dan petisie. Satu hal lagi yang penting ialah roti buaya. Biasanya masyarakat betawi hanya cukup membawa ke 6 hantaran saja tanpa roti buaya. Roti buaya digunakan oleh orang betawi yang memiliki uang serta memegang adat yang kuat.
ANALISIS
Keluarga Mahmud Bakri merupakan warga betawi pendatang. Mereka menempati daerah Kampung Dukuh mulai sekitar tahun 60-an disaat pembangunan kota Jakarta meningkat. Karena terdesak maka mereka pindah ke daerah pinggiran yaitu Kampung Dukuh. Kondisi ekonomi keluarga ini sangat berkecukupan, dapat dikatakan lebih mapan dari masyarakat sekitarnya. Namun dalam interaksi dalam masyarakat, mereka tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena di Kampung Dukuh, mereka yang dihormati dan memiliki pengaruh besar ialah warga betawi asli yang telah lama tinggal. Seperti misalnya keluarga Alm. H . Arif, keluarga besarnya menempati sebuah wilayah di sudut kampung yang mana wilayah tersebut lumayan luas dan ditempati oleh anak-anak dan sanak saudaranya. Keluarga beliau sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Untuk memperkuat status sebagai warga betawi asli dalam salah satu perkawinan anaknya digunakanlah pernikahan adat betawi. Hal ini disadari juga karena keluarga mempelai wanita merupakan keluarga betawi asli yang memiliki kedudukan informal yang besar di masyarakat. Yang disoroti dalam pernikahan ini adalah seserahan berupa roti buaya. Pada pernikahan tersebut, pihak keluarga Mahmud Bakri menyerahkan beberapa hantaran disertai dengan roti buaya. Roti buaya memiliki peran yang penting dalam pernikahan adat Betawi, selain memiliki makna yang sakral dalam pernikahan. Ternyata roti buaya dapat juga menjadi penanda yang khas bagi pihak laki-laki. Biasanya warga betawi Kampung Dukuh cukup hanya dengan membawa beberapa hantaran saja tanpa roti buaya. Sedangkan saat pernikahan mereka, keluarga laki-laki membawa roti buaya. Hal ini dapat menjelaskan bahwa mereka ingin mendapat nilai lebih dari pernikahan tersebut. Mereka menyanggupi seluruh syarat adat pernikahan betawi. Yang terutama adanya unsur roti buaya. Karena roti buaya menjadi stereotip penanda betawi. Keluarga Mahmud Bakri yang bukan orang Betawi asli mencoba untuk mengangkat derajat untuk diakui sebagai warga betawi asli dengan menggunakan roti buaya sebagai simbol tersebut.

Sumber
Budiaman. 1979. Folklor Betawi.Pustaka Jaya. Jakarta
Muridan. 2007. Islam dan Budaya Lokal, Kajian Makna Simbol dalam Perkawinan Adar Keraton. Jurnal Studi Islam dan Budaya. P3M STAIN Purwokerto.
http://ghiaarya.multiply.com/journal/item/17/17 diakses 28 Desember 2008
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi http://www.weddingku.com, diakses 28 Desember 2008.