27.11.09

STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD X-XI

Sebuah Makalah Persembahan Dari Rizal Dhani

A. Latar Belakang
Keadaan geografi pulau Jawa yang memiliki gunung-gunung api dan sungai membuat tanah menjadi subur. Potensi ini didukung oleh curah hujan yang rata-rata cukup banyak (±2000 mm per tahun), khususnya di Jawa dan Indonesia pada umumnya, menyebabkan rata-rata kelembaban udara yang cukup tinggi pula. (Sutikno:1993) Pada masa Jawa Kuna terdapat beberapa kerajaan seperti Kerajaan Mataram Kuna, Singasari dan Kadiri dan Majapahit. Mayoritas masyarakat kerajaan tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini didasari oleh tanah-tanah di pulau Jawa yang relatif subur. Hal ini karena banyaknya gunung-gunung api serta curah hujan yang tinggi. Kerajaan pada masa lalu sepertinya memperoleh pendapatan dari hasil pertanian. Pendapatannya kerajaan-kerajaan agraris diperoleh dari pengumpulan hasil bumi, upeti dari raja bawahan dan denda dari putusan peradilan dan pajak (Dwiyanto: 1993).

Akan tetapi karena curah hujannya relatif tinggi menyebabkan lahan pertanian penduduk dari masa jawa kuna bahkan sampai saat ini sering terjadi banjir. Kerugian yang diderita oleh petani sangat besar karena untuk mengolah sawah sangat menyita waktu dan tenaga. Karena para petani harus melewati tahapan dalam mengolah lahannya (Abu: 1990). Banjir yang terjadi tidak hanya berpengaruh terhadap pertanian saja, melainkan juga menyangkut bidang lain seperti perdagangan dan religi. Adanya banjir juga mengurangi pendapatan kerajaan dari sektor pajak (Djoko Dwiyanto: 1992). Dampak banjir dibidang perdagangan adalah macetnya jalur lalu lintas air, sehingga pedagang tidak dapat menjalankan aktivitasnya. Pada bidang religi adalah banyaknya tempat atau bangunan suci yang rusak dan hancur akibat terkena banjir.
B. Rumusan Masalah
Banjir merupakan fenomena yang terjadi dimana suatu wilayah atau sistem pengairan tidak mampu menampung limpahan air. Sawah atau lahan pertanian biasanya terletak di tepi sungai atau memiliki sungai sebagai pengairan. Sehingga jika sistem pengairan tidak mampu menampung air maka akan terjadi banjir dan sawah akan terkena dampaknya. Jika sebuah lahan pertanian terkena banjir maka segala tanaman akan basah dan layu sehingga akan mati. Dengan kondisi ini, maka petani akan dirugikan oleh adanya banjir. Sehingga akan menghambat pertanian. Selain itu dampak banjir juga berpengaruh pada bidang perdagangan, bidang religi bahkan pendapatan kerajaan dari sektor pajak juga ikut terpengaruh. Oleh karena itu para korban banjir pasti akan mencari solusi atau strategi untuk penanggulangan bahaya banjir. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai strategi penanggulangan banjir pada masyarakat jawa kuna. Adapun pertanyaan yang muncul untuk memecahkan permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Apa strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir yang terjadi pada masa Jawa Kuna abad V-XI?
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penalaran Induktif. Metode penalaran induktif merupakan pemecahan masalah dengan mendeskripsikan data dan diakhiri dengan kesimpulan tanpa menggunakan hipotesis. Langkah-langkah penelitian dalam makalah ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah mengumpulkan data. Data yang digunakan adalah prasasti dan data sekunder lainnya yang diperoleh dari skrisi, buku dan artikel. Tahap yang kedua adalah pengolahan dan analisis data-data yang telah diperoleh. Tahap yang ketiga atau tahap yang terakhir adalah penarikan kesimpulan.


STRATEGI PENANGGULANGAN BANJIR PADA MASA JAWA KUNA ABAD V-XI
(Kajian Terhadap Prasasti Tugu Abad 5 M, Bakalan 934 M, dan Kamalagyan 1037 M)
Meskipun air dari sungai mempunyai manfaat yang besar, baik untuk pertanian, lalu lintas dan kebutuhan manusia yang lain, akan tetapi keberadaan sungai itu sendiri perlu mendapatkan perhatian khusus didalam pengelolaannya. Pengelolan sungai disamping untuk memenuhi kebutuhan manusia juga dimaksudkan untuk menghindari adanya bahaya yang dapat ditimbulkan dari sungai tersebut, yaitu bahaya banjir. Banjir merupakan peristiwa alam yang terjadi akibat melimpahnya air yang ada dipermukaan. Sebab-sebab banjir dikarenakan tidak mempunyai sungai untuk menampung air, kurangnya tingkat peresapan tanah, dan lebih rendahnya permukaan daratan dari pada permukaan air. Selain pada masa kini ternyata banjir juga pernah terjadi pada masa Jawa Kuna. Berikut ini adalah prasasti-prasasti yang memuat informasi tentang penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna, diantaranya prasasti Tugu abad ke-5 M, prasasti Bakalan 934 M dan Prasati Kamalagyan 1037 M. Adapun kutipan dari masing-masing prasasti adalah sebagai berikut:
A. Prasasti Tugu yang dikeluarkan oleh raja Punawarman:
1. Pura rajadhirajena guruna pinabuna
2. Khata khyatam purim prapya candra bhagarnnavam yayau…
7. dvavincena nadi ramya gomati nirmaludaka
8. pitamahasya rajarser widaraya cibiravanim
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
1. Dulu raja yang mulia yang mempunyai lengan yang kuat
2. Menggali sungai bernama Candrabhaga buat mengalirkannya kelaut, setelah (kali ini) sampai di istana yang termasyur…

7. Menggali sungai Gomati permai dan berair jernih
8. Setelah sungai itu mengalir ditengah-tengah kediaman sang pendeta nenekda (Sang Purnawarman)
(Poerbatjaraka: 1951 dalam Wiwig Wimbo W: 1998)
Pembuatan saluran di Gomati dan Candrabhaga dapat diinterpretasikan sebagai usaha raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara didalam upaya mengendalikan aliran sungai dan mengatasi banjir yang disebabkan oleh meluapnya air di daerah tersebut sehingga perlu dibuat saluran untuk mencegah terjadinya banjir. Interpretasi ini didasarkan pada analogi dari isi prasasti yang menyebutkan penggalian saluran air yang dilaksanakan pada bulan Caitra yang merupakan bulan pertengahan Maret hingga pertengahan April. Bulan tersebut merupakan akhir dari musim hujan dan permulaan musim kemarau. (Ph. Subroto: 1985). penggalian ini kemungkinan untuk menanggulangi banjir sebagai akibat berdasarkan pengalaman banjir pada musim hujan, yang terjadi pada bulan-bulan sebelumnya.
B. Prasati Bakalan 934 M atau Prasasti Wulig
8. “…Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. Pagehaken ikang dawuhan katrini I halunan
10. I wuatan wulas I wuatan tamya
11. irikana dawuhan muang umajara kamu tepangu
12. pullakna dawuhan telyenu Ikana weluran
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Terjemahan:
8. “…Rarakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil
9. memerintahkan membuat bendungan di tiga tempat, yaitu di kahulunan
10. di Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya
11. di sana bendungan itu dan memberitahu (mereka) memegang teguh itu dari keinginan untuk
12. mengalirkan air dan menyatukan 3 bendungan disana
(J.L.A. Brandes:1913 dalam Wiwin Wimbo W: 1998)
Prasasti ini berisi perintah Rakaryan Binihaji Rakaryan Mangibil untuk membuat tiga bendungan di daerah Kapulungan , Wuatan wulas , dan Wuatan Tamya. Dalam prasati ini memang tidak disebutkan bahwa bendungan dibuat untuk penanggulangan banjir. Namun berdasarkan kondisi geografis di pulau Jawa memiliki curah hujan tinggi dimungkinkan salah satu fungsi dari pembangunan bendungan ini adalah untuk penanggulangan banjir
C. Prasasti Kamalagyan 1037 M yang dikeluarkan pada masa Raja Airlangga:
7. “… Sambandha, cri maharaja madamel dawuhan ring waringin sapta imahnikanganak ri kamala
8. gyan punyahatu tan swartha, kahaywaknaning thani sapasuk hilir lasun palinjwan. Sijanatyesan panjiganting talan. Dacapangkah. Pangkaja. Tka ring simarasirna. Kala, kalagyan, thani jumput. Wihara ca
9. Ia, kumulan, parahyanganm parapatan, makamukyabhuktyan. Sang hyang dharma ringicanabhawana mangaran I surapura, samangkana kwehnikang thani kawahan kededetan cariknya denikang kanten tmahan bangsawan amgat ri wa
10. ringinsapta, dumadyakan unanikang drabyhaji mwanghilang nikang carik kabeh, aphan dulabha kawnanganikatambakaning bangsawan amgat de parasamya makabeh, tan pisan nambak parasamya…”
13. “ring parapuhawang prabanyaga sangkaring dwipantara, samanunten ri hujung galuh ikang anak thani sakawahan kadedetan sawahnya, atnyanta sarwwasukha ni manahnya makantangka sawaha muwah sawahnya kabeh an pinunya
14. ri tambak hilinikang bangawan amgat rig waringin sapta de cri maharaja…”
(Brandes: 1913 dalam Wulandari: 2001)
Artinya:
7. “…(demikianlah) sebabnya Sri Maharaja membangun bendungan Waringin Sapta di desa Kamala
8. gyan untuk kesejahteraan desa Lasun, Palinjwan, Sijatatyesan, Panjiganting Talan, Dacapangkah, Pangkaja, hingga semua tempat (sima) itu musnah, kala, kalagyan, thani jumput, wihara, ca
9. Ia, kamulan, Parhyangan, Parapatan, tempat suci yang bernama Icanabhawana di Surapura, begitulah pemberian (pembuatan bendungan) yang berkali-kali terkoyak oleh bengawan yang bercabang di Wa
10 ringin sapta, tiba-tiba semua milik raja menjadi hancur, tidak hanya sekali pembuatan tnggul oleh pejabat setempat…”
13. yang menghubungkan antara pulau, berkumpul semua di Hujung Galuh, penduduk desa yang sawah tanahnya terkena banjir menjadi senag hatinya karena berakhirnya banjir itu sehingga hasil sawahnya dapat dimiliki dengan
14. ditanggulnya aliran sungai Waringin Sapta oleh Sri Maharaja…”
(Wulandari: 2001)
Banjir dalam prasasti Kamalagyan disebutkan terjadi berkali-kali. Maksudnya mungkin banjir tersebut terjadi setiap tahun atau setiap musim hujan. Didalam prasasti tertulis bahwa banjir tersebut memusnahkan tempat suci dan wilayah desa termasuk juga sawah. Dalam artian bahwa banjir tersebut benar-benar besar, hingga kemungkinan merusak lahan pertanian Jawa Kuna. Disebutkan pula sejumlah sima yang mengalami banjir yaitu Kala, Kalagyan, Thani Jhumput, Wihara Cala, kamulan, dan parapatan (Soekmono 1973). Sumber banjir itu adalah meluapnya Sungai (Bengawan), yang menurut Soebroto ialah sungai Brantas. Sungai Brantas merupakan salah satu sungai di Jawa Timur yang sistem setiap tahun menimbulkan ancaman bagi para petani karena selalu meluap pada musim hujan (Soebroto: 1985).
Melihat dari isi prasasti tersebut, prasasti kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga pada saat pembangunan Bendungan, yang dibangun untuk menanggulangi banjir. Dalam hal ini bendungan yang dibangun adalah bendungan di daerah Waringin Sapta aliran cabang dari sungai bengawan atau sungai Brantas. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang sering terjadi dan menghancurkan tanggul yang telah ada, sehingga banyak sawah yang rusak dan sungai tidak dapat dilewati perahu para pedagang.
Faktor penyebab banjir di wilayah Waringin Sapta disamping hujan yang cukup deras, juga karena peran sungai tehadap material gunung berapi. Material gunung berapi yang keluar akibat letusan gunung berapi yang ada disekitar aliran sungai Brantas, (misalnya gunung Wilis, gunung Welirang, Gcunung Kelud, dan gunung Anjasmoro) yang terendap oleh media sungai Brantas.
Dari prasasti kamalagyan juga dapat diketahui, bahwa banjir di Waringin Sapta telah sering ditanggulangi dengan pembuatan bendungan oleh masyarakat setempat. Namun tidak juga berhasil diatasi, bendungan yang dibuat ikut hancur diterjang banjir. Melihat permasalahan yang tidak juga selesai dan sangat merugikan ini, Maka Raja Airlangga berkenan turun tangan menangani bencana tersebut. Penanganan yang dilakukan oleh Raja Airlangga adalah pembuatan bendungan untuk memperbaiki tanggul yang selalu rusak. Pada intinya prasasti Kamalagyan dikeluarkan oleh Raja Airlangga untuk memperingati pembangunan bendungan di Waringin Sapta. Pembangunan bendungan dilakukan untuk menanggulangi banjir yang setiap tahun datang dan merusak tanggul yang telah ada, serta banyak merusak sawah, bangunan suci serta mengacaukan perdagangan.

KESIMPULAN
Dari hasil analisis terhadap tiga prasasti tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada masa jawa kuna sudah dikenal sistem pengelolaan air. Usaha-usaha untuk mengelola air, tampaknya menjadi pusat perhatian dari penguasa-penguasa kerajaan. Hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya beberapa prasasti yang menyebutkan tentang pengelolaan air, seperti pada prasasti yang menjadi kajian pada makalah ini. Dari isi ketiga prasasti tersebut dapat diketahui strategi penanggulangan banjir pada masa Jawa Kuna abad V sampai abad XI Masehi. Adapun strategi yang digunakan untuk menanggulangi banjir adalah sebagai berikut:
1. Pembuatan aliran sungai yang dialirkan ke laut. Air yang melimpah dapat mengalir kelaut sehingga dapat terhindar dari bahaya banjir.
2. Pembuatan bendungan. Air sungai yang meluap dapat tertahan oleh bendungan sehingga air tidak menggenangi sawah maupun pemukiman penduduk. Air sungai tersebut kemudian dialirkan ke sawah-sawah melalui jaringan irigasi.

DAFTAR PUSTAKA
Abu. Rifai, Dkk. 1990. Teknologi Pertanian Sebagai Tanggapan Terhadapa Lingkungan di Cianjur. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Soekmono. 1974. Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Universitas Indonesia. Jakarta.
Subroto, Ph. 1985. Sistem Pertanian Masyarakat Tradisional Pada Masyarakat Jawa Tinjauan Secara Arkeologis. Proyek Penelitian dan Pengajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Sutikno. 1993. Kondisi Geografis Keraton Majapahit. Dalam Prof. Sartono Kartodirjo “700 Tahun Majapahit (1293-1993) Suatu Bunga Rampai”. Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.
Wimbo Widayati. W. 1998. Upaya Pelestarian Pada Masyarakat Jawa Kuna Berdasarkan Prasasti Abad V-XV M. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Wulandari Naning. 2001. Upaya Peningkatan Hasil Pertanian Pada Masa Jawa Kuna Abad IX-XV. Skripsi Sarjana. Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

1 comment:

  1. Bung, lokasi Waringin Sapta itu di mana? Uraiannya bagus, lengkap dan ilmiah, Tapi satu kata nama tempat bendungan waringin sapta belum disebutkan.

    ReplyDelete